25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Terkait Kasus Pemerasan terhadap Eks Mentan Syahrul Yasin Limpo

Permohonan Praperadilan Firli Ditolak

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tidak menerima pengajuan gugatan praperadilan Ketua Nonaktif Firli Bahuri kemarin (19/12).

Putusan itu menjadikan Firli tetap sebagai tersangka pemerasan terhadap Eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Koalisi masyarakat sipil anti korupsi meminta Firli disegera ditahan.

Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak dapat diterima,” kata Hakim Tunggal Imelda Herawati membacakan putusan.

Ada beberapa pertimbangan yang menjadi pertimbangan hakim tak menerima permohonan pengajuan praperadilan Firli yang telah diajukan sejak 24 November lalu itu.

Di antaranya, dalil permohonan dan bukti yang diajukan telah masuk ke pokok perkara. Padahal, dalam pengajuan praperadilan hanya menilai aspek formal. Terkait sah tidaknya seseorang ditetapkan tersangka. Bukan masuk ke ranah materi pokok perkara, sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016.

Dalam putusan itu, hakim juga menilai permohonan Firli kabur dan tidak jelas atau obscuur libel. Hakim menyatakan bukti nomor P26 sampai P37 tidak relevan dengan sidang gugatan praperadilan. Rangkaian bukti itu terkait dengan dugaan kasus suap proyek rel kereta api yang ditangani KPK.

Firli dalam pengajuan praperadilan mengunggat Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto. Firli tak terima lantaran penetapan dirinya sebagai tersangka tak sesuai prosedur dalam KUHAP. Lantaran tidak melalui proses penyelidikan terlebih dahulu.

Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan bahwa setelah gugatan praperadilan yang diajukan Firli ditolak, maka seharusnya Polda Metro Jaya segera melakukan penahanan terhadap Firli. “Harus segera ditahan,” tegasnya.

Selama kasus dugaan korupsi berupa pemerasan itu, Firli sangat tidak kooperatif dengan sering mangkir pemeriksaan. Apalagi, ada kemungkinan Firlu mempengaruhi saksi. “Bisa saja menemui atau menyuruh orang lain agar saksi mencabut keterangan yang memberatkan,” ujarnya.

Hal itu diperkuat dengan Firli yang membawa-bawa dokumen terkait penyidikan kasus Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) saat praperadilan. “Inikan bisa obstruction of justice dan pasti melanggar kode etik,” terangnya.

Menurutnya, ada dua pihak yang diduga bersalah dalam langkah Firli membawa dokumen yang tidak terhubung dengan kasus korupsi berupa pemerasan. Yang memberikan dokumen dan Firli. Kalau dalam sidang praperadilan Alexander Marwata mengakui memberikan dokumen-dokumen untuk membantu Firli.

“Yang perlu dipastikan apakah benar dokumen itu diberikan KPK ke Firli. Harusnya hanya dokumen terkait pemerasan Syahrul Yasin Limpo, bukan kasus lain,” urainya.

Dia mengatakan, setidaknya Dewas KPK harus menangani kasus kebocoran dokumen terkait penyidikan kasus DJKA tersebut. Hal semacam itu berbahaya karena bisa digunakan untuk memeras. “Kalau ada orang lain, sudah keluar dari KPK dan membawa dokumen-dokumen. Bahaya sekali bisa untuk memeras orang,” ujarnya.

Pada kesempatan berbeda, Presiden Joko Widodo turut mengomentari proses hukum Firli. Dia menyebutkan semua pihak harus ikuti proses hukum yang ada. Jokowi tidak ingin berkomentar banyak sebab belum ada putusan dari kasus Ketua KPK itu.

“Semua menghormati proses hukum yang ada dan itu masih dalam proses jadi saya tidak mau komentar,” ujarnya kemarin seusai peresmian Jembatan Otista, Kota Bogor. (elo/idr/lyn/jpg/ila)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tidak menerima pengajuan gugatan praperadilan Ketua Nonaktif Firli Bahuri kemarin (19/12).

Putusan itu menjadikan Firli tetap sebagai tersangka pemerasan terhadap Eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Koalisi masyarakat sipil anti korupsi meminta Firli disegera ditahan.

Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak dapat diterima,” kata Hakim Tunggal Imelda Herawati membacakan putusan.

Ada beberapa pertimbangan yang menjadi pertimbangan hakim tak menerima permohonan pengajuan praperadilan Firli yang telah diajukan sejak 24 November lalu itu.

Di antaranya, dalil permohonan dan bukti yang diajukan telah masuk ke pokok perkara. Padahal, dalam pengajuan praperadilan hanya menilai aspek formal. Terkait sah tidaknya seseorang ditetapkan tersangka. Bukan masuk ke ranah materi pokok perkara, sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016.

Dalam putusan itu, hakim juga menilai permohonan Firli kabur dan tidak jelas atau obscuur libel. Hakim menyatakan bukti nomor P26 sampai P37 tidak relevan dengan sidang gugatan praperadilan. Rangkaian bukti itu terkait dengan dugaan kasus suap proyek rel kereta api yang ditangani KPK.

Firli dalam pengajuan praperadilan mengunggat Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto. Firli tak terima lantaran penetapan dirinya sebagai tersangka tak sesuai prosedur dalam KUHAP. Lantaran tidak melalui proses penyelidikan terlebih dahulu.

Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan bahwa setelah gugatan praperadilan yang diajukan Firli ditolak, maka seharusnya Polda Metro Jaya segera melakukan penahanan terhadap Firli. “Harus segera ditahan,” tegasnya.

Selama kasus dugaan korupsi berupa pemerasan itu, Firli sangat tidak kooperatif dengan sering mangkir pemeriksaan. Apalagi, ada kemungkinan Firlu mempengaruhi saksi. “Bisa saja menemui atau menyuruh orang lain agar saksi mencabut keterangan yang memberatkan,” ujarnya.

Hal itu diperkuat dengan Firli yang membawa-bawa dokumen terkait penyidikan kasus Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) saat praperadilan. “Inikan bisa obstruction of justice dan pasti melanggar kode etik,” terangnya.

Menurutnya, ada dua pihak yang diduga bersalah dalam langkah Firli membawa dokumen yang tidak terhubung dengan kasus korupsi berupa pemerasan. Yang memberikan dokumen dan Firli. Kalau dalam sidang praperadilan Alexander Marwata mengakui memberikan dokumen-dokumen untuk membantu Firli.

“Yang perlu dipastikan apakah benar dokumen itu diberikan KPK ke Firli. Harusnya hanya dokumen terkait pemerasan Syahrul Yasin Limpo, bukan kasus lain,” urainya.

Dia mengatakan, setidaknya Dewas KPK harus menangani kasus kebocoran dokumen terkait penyidikan kasus DJKA tersebut. Hal semacam itu berbahaya karena bisa digunakan untuk memeras. “Kalau ada orang lain, sudah keluar dari KPK dan membawa dokumen-dokumen. Bahaya sekali bisa untuk memeras orang,” ujarnya.

Pada kesempatan berbeda, Presiden Joko Widodo turut mengomentari proses hukum Firli. Dia menyebutkan semua pihak harus ikuti proses hukum yang ada. Jokowi tidak ingin berkomentar banyak sebab belum ada putusan dari kasus Ketua KPK itu.

“Semua menghormati proses hukum yang ada dan itu masih dalam proses jadi saya tidak mau komentar,” ujarnya kemarin seusai peresmian Jembatan Otista, Kota Bogor. (elo/idr/lyn/jpg/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/