JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tujuh daerah berpotensi akan mengajukan gugatan perselisihan hasil pilkada 2017 di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, secara syarat administrasi, kemenangan paslon di tujuh daerah itu memiliki selisih yang tipis, yakni kurang dari 2 persen. Syarat selisih gugatan tersebut diatur melalui Peraturan MK No 4 Tahun 2015 tentang Pedoman dalam Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada.
Tujuh daerah penyelenggara pilkada dengan selisih kemenangan suara sangat tipis itu adalah Kota Salatiga (1,4 persen); Kota Jogjakarta (0,6 persen); Kabupaten Takalar (1,16 persen); Kabupaten Bombana (1,56 persen); Kabupaten Gayo Lues (1,44 persen) Provinsi Aceh; Provinsi Sulbar (0,75 persen); dan Provinsi Banten (0,14 persen).
Fajar Laksono, juru bicara MK, menyatakan bahwa pihaknya saat ini sudah siap menerima permohonan gugatan. “Berapa pun perkara yang masuk, kami siap. Setelah KPU umumkan, sejak saat itu pula juga kami stand by 3 x 24 jam,” ujarnya kepada Jawa Pos (Group Sumut Pos), Senin (20/2).
Dia menjelaskan, secara kepaniteraan, MK menerima semua aduan yang masuk. Terlepas aduan itu memenuhi syarat ataupun tidak. Namun, bisa atau tidaknya aduan tersebut berlanjut dalam sidang merupakan kewenangan hakim.
Sebagaimana diketahui, pada sengketa perselisihan hasil pilkada 2015, MK sebenarnya menerima 147 gugatan. Tetapi, dalam prosesnya, hanya sembilan gugatan yang masuk ke sidang karena syarat batas perselisihan tidak terpenuhi.
Disinggung mengenai upaya MK mengembalikan kepercayaan publik setelah kasus Patrialis Akbar, Fajar meminta pengadu tidak perlu ragu melayangkan gugatan. Sebab, pengawasan nanti tidak hanya dilakukan Dewan Etik MK, tetapi juga lembaga eksternal lainnya. “Ketua sudah sampaikan bahwa MK bekerja sama dengan KPK khusus dalam rangka pilkada serentak ini. Siapa pun kan boleh mengawasi MK, tidak harus dewan etik,” tuturnya.
Sementara itu, pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti memperkirakan jumlah sengketa yang masuk tidak sebanyak pada 2015. Sebab, gugurnya mayoritas gugatan akibat tidak terpenuhinya syarat selisih suara bisa jadi membuat penggugat kapok. “Dengan melihat itu, tampaknya tak bakal ada lonjakan sengketa ke MK,” katanya saat dihubungi.
Ray menyayangkan sikap tersebut. Menurut dia, menggugurkan aduan hanya karena syarat selisih tidak terpenuhi bukanlah hal yang bijak. Sebab, dapat dipastikan ada potensi pelanggaran yang diabaikan hanya lantaran syarat administrasi tidak terpenuhi. “Paslon pun akan berlomba memenangi pilkada dengan selisih lebih dari 2 persen melalui cara apa pun. Toh, tidak diproses di MK ini,” ungkapnya.
Padahal, lanjut Ray, potensi adanya kecurangan dalam pilkada 2017 sangat terbuka. Merujuk pada hasil pengawasan Bawaslu saja, setidaknya ditemukan lebih dari 600 laporan dugaan money politic. Karena itu, sidang di MK semestinya bisa menjadi medium untuk mengoreksi proses tersebut.
Namun, jika MK tetap bersikukuh dengan syarat selisih, dia menilai potensi adanya kecurangan yang masif guna memenangi pilkada dengan selisih lebih dari 2 persen sangat mungkin terjadi. “Ini ancaman untuk demokrasi kita ke depannya,” cetusnya. (far/c14/fat/yaa)