JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dugaan pelanggaran etik oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menyidangkan kasus sengketa informasi arsip Munir resmi dilaporkan kemarin (21/2). Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melaporkan hakim itu ke Komisi Yudisial (KY). Dalam waktu 60 hari, KY akan memutuskan ada pelanggaran atau tidak.
Koordinator KontraS Yati Andriyani menuturkan dugaan pelanggaran itu berkaitan dengan prosedur pemeriksaan. Sebab, setelah mendaftarkan jawaban keberatan pada 29 November 2016, KontraS tidak pernah diperiksa secara langsung oleh hakim PTUN. Tindakan itu dianggap bertentangan dengan pasal 8 ayat (2) Perma 2/2011 tetnang tata cara penyelesaian sengketa informasi publik di pengadilan.
“Pemeriksaan keberatan itu dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum kecuali untuk pemeriksaan dokumen yang berisi informasi yang dikecualikan,” ujar Yati yang baru terpilih sebagai Koordinator KontraS pada Sabtu (18/2) lalu.
Selain itu, latar belakang hakim yang menyidangkan kasus tersebut juga dipertanyakan. Lantaran diduga tidak memahami urgensi pembukaan dokumen Munir kepada publik yang juga tertera dalam Keputusan Presiden (Kepres) 111/2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Munir. Bila alasan dokumen hilang, juga sudah ada salinan dokumen yang diserahkan oleh mantan menteri sekretaris negara Sudi Silalahi.
“Kalau hakim yang menyidangkan itu tidak punya kualitas mumpuni dalam sengketa informasi maka itu juga menyalahi aturan,” ujar Yati.
Ketua Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia menambahkan keterbukaan informasi publik menjadi semangat reformasi ternyata malah mentok di PTUN. Ada banyak kelompok sipil masyarakat yang menang di Komisi Informasi Pusat (KIP). Tapi, akhirnya malah mentok di PTUN.
“Terakhir semuanya dibatalkan di PTUN. Walaupun di KIP dinyatakan terbuka untuk publik,” katanya.
Mantan koordinator KontraS Haris Azhar menambahkan KY harus memeriksa berita acara persidangan. Kalau PTUN tidak punya berita acara meskipun tertutup makin menunjukan para hakim itu tidak profesional. “Maka KY harus memeriksa mereka sampai dalam konteks apa kegiatan mereka dalam proses pasca menerima gugatan setneg itu,” ujar Haris.
Selain itu, perlu pula ditelusuri pula para hakim itu bertemu dengan siapa saja. Lantaran, hakim tentu tidak boleh bertemu dengan para pihak yang sedang menggugat. “Bila perlu periksa CCTV di pengadilan dan jadwal agenda juga,” imbuhnya.
Wakil Ketua KY Sukma Violetta menuturkan bahwa perlu diperjelas terlebih dahulu posisi KY yang hanya mengurusi tentang perilaku hakim. Bukan pada teknis yudisial yang bisa ditempuh dengan jalur hukum lanjutan. “Sedangkan KY fokus pada misconduct (perilaku buruk, Red). KY akan melihat majelis hakim bertemu siapa yang kiranya akan pengaruhi keputusan ini,” ungkap dia.
KY akan menganalisis dokumen seperti berita acara. Selain itu juga akan memeriksa pelapor dengan dibuat berita acara pemeriksaan. KY juga berharap pelapor punya bukti-bukti pendahuluhan seperti foto atau rekaman.
“Akan fokus apakah ada pelanggaran etika dan apakah penanganan perkara secara profesional atau tidak,” imbuh dia.
Kepala Biro Pengawasan Hakim Kemas Roni menambahkan KY punya waktu 60 hari untuk memproses laporan tersebut. Mereka diantaranya akan memeriksa bukti dan saksi ahli untuk menentukan ada pelanggaran atau tidak. “Laporan 60 hari. Dulu 90 hari. Terhitung saat register ini,” ujar Kemas. (jun/jpg/yaa)