24 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Hutan Adat Harus Dikeluarkan dari Konsesi PT TPL

JAKARTA -Langkah puluhan warga Dusun Naga Hulambu, Nagori Pondok Bulu, Kecamatan Dolok Panribuan, Simalungun yang melawan PT Toba Pub Lestari (TPL) karena menanami dan membuka lahan baru di area hutan adat, mendapat dukungan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Deputi Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Iwan Nurdin, menyebut, langkah warga itu sesuai dengan bunyi putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada 16 Mei 2013.

“Salah satu bunyi putusan itu adalah hutan adat bukan bagian dari hutan negara,” ujar Iwan Nurdin kepada koran ini di Jakarta, kemarin (22/6).
Iwan menyalahkan pihak PT TPL yang mengklaim bahwa area hutan yang ditanami pohon eukaliptus merupakan bagian dari area konsesi yang diberikan ke perusahaan.

Iwan mengatakan, setelah keluar putusan MK itu, maka pemberian area-area hutan adat yang masuk bagian dari area konsesi ke perusahaan, harus ditinjau ulang.

Bagaimana langkahnya? Iwan menjelaskan, masyarakat adat bersama Pemkab Simalungun harus melakukan pemetaan ulang, area hutan adat mana saja yang masuk area konsesi PT TPL.

Termasuk, membuat keterangan yang jelas bahwa area hutan adat itu telah dikelola sekian lama oleh masyarakat adat yang masih eksis.
“Selanjutnya, setelah pemetaannya jelas, maka harus segera mengusulkan ke menteri kehutanan agar area hutan adat itu dikeluarkan dari konsesi PT TPL,” saran Iwan.

Seperti diberitakan, salah seorang warga, Jahotman Nainggolan (35), memastikan area yang disengketakan itu merupakan area hutan adat.
“Ini jelas hutan adat yang sudah turun temurun difungsikan warga sebagai penopang hidup. Kan sudah jelas dari putusan Mahkamah Konsitusi itu. Sebaiknya pihak TPL jangan arogan bertindak,” kata Jahotman Nainggolan.

Terpisah, Asisten Kepala PT TPL, Janter Siahaan yang ditemui di Aek Nauli membantah pihaknya menyerobot atau merusak tanaman warga Naga Hulambu. Karena kawasan itu merupakan lahan yang termasuk ijin Konsesi TPL seluas 18.275 Ha di Kabupaten Simalungun.

“Karena itu termasuk lahan konsesi, kita tetap menanam pohon Eukaliptus dan pembukaan lahan barupun termasuk dalam ijin konsesi,” kata Siahaan.
Mengenai putusan MK dimaksud, Janter mengaku belum tahu. “Tidak ada kami tambahin dan kami kurangi. Putusan MK itu tidak kami ketahui,” kata Janter lagi.

Putusn MK dimaksud terkait uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu.

Alhasil, berdasar putusan MK itu, puluhan juta hektar hutan adat yang tadinya diklaim sebagai hutan negara diakui keberadaannya dan dapat dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya.

Dalam putusannya, MK membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat dalam UU Kehutanan itu. Misalnya, MK menghapus kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
MK juga menafsirkan bersyarat Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat” dan menghapus frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3).

“Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,’” ucap Ketua Majelis MK M. Akil Mochtar saat membacakan putusannya di Gedung MK, 16 Mei 203.

Mahkamah berpendapat harus ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara.(sam)

JAKARTA -Langkah puluhan warga Dusun Naga Hulambu, Nagori Pondok Bulu, Kecamatan Dolok Panribuan, Simalungun yang melawan PT Toba Pub Lestari (TPL) karena menanami dan membuka lahan baru di area hutan adat, mendapat dukungan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Deputi Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Iwan Nurdin, menyebut, langkah warga itu sesuai dengan bunyi putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada 16 Mei 2013.

“Salah satu bunyi putusan itu adalah hutan adat bukan bagian dari hutan negara,” ujar Iwan Nurdin kepada koran ini di Jakarta, kemarin (22/6).
Iwan menyalahkan pihak PT TPL yang mengklaim bahwa area hutan yang ditanami pohon eukaliptus merupakan bagian dari area konsesi yang diberikan ke perusahaan.

Iwan mengatakan, setelah keluar putusan MK itu, maka pemberian area-area hutan adat yang masuk bagian dari area konsesi ke perusahaan, harus ditinjau ulang.

Bagaimana langkahnya? Iwan menjelaskan, masyarakat adat bersama Pemkab Simalungun harus melakukan pemetaan ulang, area hutan adat mana saja yang masuk area konsesi PT TPL.

Termasuk, membuat keterangan yang jelas bahwa area hutan adat itu telah dikelola sekian lama oleh masyarakat adat yang masih eksis.
“Selanjutnya, setelah pemetaannya jelas, maka harus segera mengusulkan ke menteri kehutanan agar area hutan adat itu dikeluarkan dari konsesi PT TPL,” saran Iwan.

Seperti diberitakan, salah seorang warga, Jahotman Nainggolan (35), memastikan area yang disengketakan itu merupakan area hutan adat.
“Ini jelas hutan adat yang sudah turun temurun difungsikan warga sebagai penopang hidup. Kan sudah jelas dari putusan Mahkamah Konsitusi itu. Sebaiknya pihak TPL jangan arogan bertindak,” kata Jahotman Nainggolan.

Terpisah, Asisten Kepala PT TPL, Janter Siahaan yang ditemui di Aek Nauli membantah pihaknya menyerobot atau merusak tanaman warga Naga Hulambu. Karena kawasan itu merupakan lahan yang termasuk ijin Konsesi TPL seluas 18.275 Ha di Kabupaten Simalungun.

“Karena itu termasuk lahan konsesi, kita tetap menanam pohon Eukaliptus dan pembukaan lahan barupun termasuk dalam ijin konsesi,” kata Siahaan.
Mengenai putusan MK dimaksud, Janter mengaku belum tahu. “Tidak ada kami tambahin dan kami kurangi. Putusan MK itu tidak kami ketahui,” kata Janter lagi.

Putusn MK dimaksud terkait uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu.

Alhasil, berdasar putusan MK itu, puluhan juta hektar hutan adat yang tadinya diklaim sebagai hutan negara diakui keberadaannya dan dapat dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya.

Dalam putusannya, MK membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat dalam UU Kehutanan itu. Misalnya, MK menghapus kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
MK juga menafsirkan bersyarat Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat” dan menghapus frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3).

“Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,’” ucap Ketua Majelis MK M. Akil Mochtar saat membacakan putusannya di Gedung MK, 16 Mei 203.

Mahkamah berpendapat harus ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara.(sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/