Â
Apa karena lahan yang tersedia (untuk rusun) jauh dari yang akan dipindah?
Sebenarnya tidak perlu dipindah. Konsepnya bebasin di sini, bangun bertingkat. Jadi yang boleh dibangun 30 persen, 70 persen sisa lahan untuk fasilitas umum. Hanya itu caranya seperti di Singapura, di Bangkok, apalagi di China.
Saat ini, Surabaya atau Malang belum begitu padat. Tapi, dalam sepuluh tahun kedepan bisa sangat padat. Namun, belum ada effort yang benar-benar terlihat dari Pemda untuk membangun superblok untuk masyarakat kurang mampu. Bagaimana tanggapan pemerintah pusat?
Sebenarnya kan kita sudah subsidi (untuk masyarakat kurang mampu). Jadi kredit perumahan sudah disubsidi dan ada skema untuk membayarkan uang mukanya.
Kesulitannya itu kan di Pemda yang harus siapkan lahannya dan juga membangun. Menteri PU (kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) sudah membangun banyak. Selama ada lahan, kita siap bangun.
Terkait isu nasionalisme. Pengajarannya kurang, misal di mata pelajaran sekolah. Selain itu, radio atau televisi juga tidak lagi seperti dulu yang sering memperdengarkan lagu-lagu kebangsaan. Bagaimana menurut Bapak?
Nasionalisme itu banyak unsurnya, tidak hanya menyanyi. Bukan hanya Indonesia Raya, bukan hanya soal bendera. Kita juga tidak bisa kembali seperti dulu dengan doktrin-doktrin. Dulu setiap orang ikut P4, (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), tapi begitu ekonomi jatuh, protes juga semua orang, Soeharto jatuh. Jadi bukan hanya itu, tapi, keseluruhan termasuk kemajuan, keadilan. Nasionalisme itu, selalu unsur yang paling penting adalah keadilan. Itu kuncinya.
Sekarang ini ada sekolah tertentu yang tidak mengajarkan kewarganegaraan. Apa itu berpengaruh?
Saya kira tidak juga. Dia mengajarkan bukan hanya khusus. Tapi masuk dalam macam-macam mata pelajaran. Apakah masuk sejarah. Apakah masuk di pelajaran yang lain. Tidak seratus persen (dalam bentuk mata pelajaran kewarganegaraan). Kita juga tahu mata pelajaran di sekolah dulu terlalu banyak mata pelajaran pesanan. Kalau menterinya suka koperasi, ada pelajaran koperasi. Kalau menterinya suka sejarah, ada sejarah kebangsaan. Ada macam-macam P4. Akhirnya mata pelajaran kita hampir 20 jenis. Padahal, di negara lain hanya 8. Akhirnya bingung lah anak-anak kita.
Terkait Pilkada 2017 nanti, situasi politik saat ini sudah menghangat. Bagaimana Bapak melihat ancaman naiknya tensi politik saat Pilkada Februari (2017) nanti?
Pengalaman kita selama ini Pilkada sudah sangat soft. Soft arti kata dibandingkan dengan jaman dulu. Tidak ada baliho-baliho, tidak ada lagi iklan di televisi yang bertubi-tubi. Jadi sangat soft. Kemudian pengalaman tahun lalu, dari 204 Pilkada tidak ada apa-apa. Aman-aman saja.
Bagaimana dengan situasi politik di Jakarta yang lebih panas?
Di Jakarta lain lagi, bukan masalah Pilkadanya. Kalau kita hubungkan dengan demo besar-besaran, itu kaitannya dengan dugaan penistaan agama. Itu karena omongan Ahok. Jadi, ada Pilkada atau tidak ada Pilkada, akan tetap seperti itu kan (demo).
Atau karena ada Pilkada, maka situasi makin panas?
Ya pasti ada hubungannya juga dengan itu. Tapi Pilkada dimana-mana aman-aman saja. Kenapa aman? Karena tidak ada poros politik. Misal di satu kota, partai ABCD berkoalisi. Tapi di kota lain, bisa jadi koalisinya partai ABFG. Jadi ndak ada yang satu koalisi yang tetap. Gabung-gabungan dimana-mana. Tidak ada ideologis lagi. Karena itu tidak pernah ada apa-apa di Pilkada.Yang terjadi tahun lalu hanya konflik setelah perhitungan, itu hanya terjadi di Kalimantan Utara.
Selain itu, yang kampanye juga calon-calon itu sendiri. Partai politik tidak ada yang benar-benar berkampanye. Jadi begitu dia teken (mengusung calon kada), sudah begitu dilepas saja (calonnya), terserah kalian lah, silahkan berangkat sendiri. Umumnya begitu. Jadi, Pilkada kita relatif lebih aman. (jun/jpg)