JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kualitas data daftar pemilih tetap (DPT) untuk kaum penyandang disabilitas (difabel) yang ditetapkan KPU menjadi sorotan. Sebab, terjadi perbedaan signifikan antara jumlah difabel yang masuk DPT dan realitasnya saat dilakukan pemungutan suara di TPS 15 Februari lalu.
Di Provinsi Aceh, misalnya, data KPU hanya mencatat pemilih difabel 2.842 orang. Namun, di TPS angkanya mencapai 27.516 pemilih. Yang terjadi di Kabupaten Sorong lebih parah. Ada 2.181 pemilih difabel di TPS, tapi dalam DPT hanya 17.
Peneliti Jaringan Pemilu Akses bagi Penyandang Disabilitas (Agenda) Muhammad Afifuddin menyatakan, kontrasnya data tersebut menunjukkan bahwa proses identifikasi pemilih difabel tidak dilakukan secara cermat oleh petugas di lapangan. Akibatnya, banyak difabel yang masuk kategori umum atau bahkan daftar pemilih tambahan. ”Kita harus ingatkan petugas apakah pemilih itu difabel atau tidak,” ujarnya dalam diskusi di kantor KPU, Jakarta, kemarin (24/2).
Afifuddin menjelaskan, meski pada praktiknya kalangan difabel tetap bisa memilih (dengan keterangan pemilih umum), keterangan mereka sangat penting untuk diidentifikasi. Pasalnya, hal tersebut sangat berkaitan langsung dengan ketersediaan alat bantu maupun desain TPS-nya. ”Kalau di TPS ini sudah diidentifikasi berapa pemilih difabelnya, kan bisa dipersiapkan segala kebutuhannya. Kalau tidak, bisa menimbulkan kesulitan akses,” imbuhnya.
Hal itu terbukti berbanding lurus dengan hasil kajiannya di lapangan. Dari 1.227 TPS yang diteliti, hanya 22 persen yang memberikan akses yang baik bagi para pemilih difabel. Sebanyak 78 persen atau 960 TPS lainnya kurang mudah untuk diakses. Kekurangannya pun beragam. Ada yang masalah lokasi, pintu masuk TPS, meja coblosan, hingga jumlah alat bantu.
JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kualitas data daftar pemilih tetap (DPT) untuk kaum penyandang disabilitas (difabel) yang ditetapkan KPU menjadi sorotan. Sebab, terjadi perbedaan signifikan antara jumlah difabel yang masuk DPT dan realitasnya saat dilakukan pemungutan suara di TPS 15 Februari lalu.
Di Provinsi Aceh, misalnya, data KPU hanya mencatat pemilih difabel 2.842 orang. Namun, di TPS angkanya mencapai 27.516 pemilih. Yang terjadi di Kabupaten Sorong lebih parah. Ada 2.181 pemilih difabel di TPS, tapi dalam DPT hanya 17.
Peneliti Jaringan Pemilu Akses bagi Penyandang Disabilitas (Agenda) Muhammad Afifuddin menyatakan, kontrasnya data tersebut menunjukkan bahwa proses identifikasi pemilih difabel tidak dilakukan secara cermat oleh petugas di lapangan. Akibatnya, banyak difabel yang masuk kategori umum atau bahkan daftar pemilih tambahan. ”Kita harus ingatkan petugas apakah pemilih itu difabel atau tidak,” ujarnya dalam diskusi di kantor KPU, Jakarta, kemarin (24/2).
Afifuddin menjelaskan, meski pada praktiknya kalangan difabel tetap bisa memilih (dengan keterangan pemilih umum), keterangan mereka sangat penting untuk diidentifikasi. Pasalnya, hal tersebut sangat berkaitan langsung dengan ketersediaan alat bantu maupun desain TPS-nya. ”Kalau di TPS ini sudah diidentifikasi berapa pemilih difabelnya, kan bisa dipersiapkan segala kebutuhannya. Kalau tidak, bisa menimbulkan kesulitan akses,” imbuhnya.
Hal itu terbukti berbanding lurus dengan hasil kajiannya di lapangan. Dari 1.227 TPS yang diteliti, hanya 22 persen yang memberikan akses yang baik bagi para pemilih difabel. Sebanyak 78 persen atau 960 TPS lainnya kurang mudah untuk diakses. Kekurangannya pun beragam. Ada yang masalah lokasi, pintu masuk TPS, meja coblosan, hingga jumlah alat bantu.