JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Bareskrim Polri membongkar pabrik pembuat pupuk palsu di Majalengka, Jawa Barat, kemarin (24/2). Dalam sebulan, sindikat tersebut bisa membuat pupuk palsu seberat 300 ton, yang hanya merupakan campuran kapur, perwarna, dan tanah. Dan ternyata selama ini telah didistribusikan ke Jawa Barat, Kalimantan dan bahkan Aceh.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Brigjen Agung Setya menuturkan, pabrik pupuk palsu itu terbongkar setelah adanya keluhan petani yang pernah membeli pupuk palsu tersebut. Keluhan itu berisi tentang tidak berdampaknya khasiat pupuk tersebut.
“Dalam dua bulan kami telusuri, akhirnya ketemui dengan distributornya berinisial M,” kata Agung Setya saat ditemui di gedung Bareskrim Kementerian Kelautan dan Perikanan, kemarin.
Pupuk tersebut kemudian diuji di laboratorium. Hasilnya, ternyata pupuk tersebut hanya terdiri dari tanah, kapur, dan pewarna. Laboratorium memastikan pupuk tersebut palsu. “Sama sekali tidak berguna untuk tanaman,” paparnya.
Dalam penelusuran itu, diketahui distributor M mendapatkan pupuk dari E, ML dan R. Ketiganya berkerjasama membuat pabrik pupuk palsu. “Yang miris, E ternyata merupakan residivis dengan kasus yang sama, pemalsuan pupuk,” ungkapnya.
Pemalsuan itu dilakukan dengan mengoplos kapur, tanah, dan pewarna yang kemudian diracik dalam sebuah mesin sehingga bentuknya sama dengan pupuk. “Mereka juga membuat karungnya sendiri dan mengemasnya,” tuturnya.
Jenis pupuk yang dipalsukan hampir semuanya. Seperti pupuk NPK, berlian merah, berlian biru dan TS. Keempat pelaku telah tertangkap dan ditahan untuk melakukan pengembangan. “Sebab, sindikat ini cukup besar. Pupuk palsu ini telah didistribusikan ke sejumlah daerah, diantaranya Jawa Barat, Aceh, dan Kalimantan. Dengan kapasitas produksi setiap bulannya mencapai 300 ton.” ujarnya.
Wajar, keuntungannya begitu besar. Ongkos produksinya saja hanya Rp12 ribu per karung, lalu dijual Rp50 ribu ke distributor. Selanjutnya distributor menjualnya Rp120 ribu ke petani. “Keuntungannya bisa mencapai Rp 3,6 miliar setahun,” jelasnya.