25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

DPR-Pemerintah Sepakati RKUHP, Tujuh Substansi Berubah, Pasal Penghinaan Tetap Diatur

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi III DPR RI dan pemerintah menuntaskan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Melalui pembahasan sekitar tujuh jam, eksekutif dan legislatif sepakat membawa RKUHP ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang (UU).

Keputusan itu diambil dalam rapat kerja (raker) komisi III dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di komplek parlemen, Jakarta, kemarin (24/11). Rapat tersebut dipimpin Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir. Hadir Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej. Rapat tersebut dimulai sekitar pukul 10.00 dan baru berakhir pada 17.30.

Sebelum diambil keputusan, terjadi pembahasan terkait sejumlah pasal-pasal krusial. Adies meminta Kemenkumham memberikan penjelasan lebih detail soal pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara. Apakah frasa penghinaan tersebut termasuk pencemaran, fitnah, atau merendahkan martabat nama baik. “Pasal itu dinilai membatasi kebebasan berekspresi dan demokrasi,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.

Anggota Komisi III Taufik Basari meminta agar pasal penghinaan dihapus dari draf RKUHP. Menurutnya, pasal itu berpotensi akan disalahgunakan dan bakal mengancam demokrasi di tanah air. Namun, jika tidak dihapus, dia meminta agar delik penghinaan diubah menjadi delik fitnah. “Karena makna penghinaan itu sangat luas dan multitafsir,” papar politikus Partai Nasdem itu.

Eddy, sapaan akrab Edward Omar Sharif Hiariej menanggapi dengan mengusulkan perubahan pada tujuh substansi dalam RKUHP. “Setelah mendengarkan masukan, pemerintah mengusulkan perubahan,” ucapnya.

Pertama, kata Eddy, reformulasi penjelasan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law. Kedua, penyesuaian definisi makar menjadi niat untuk melakukan serangan. Ketiga, mengadopsi ketentuan mengenai rekayasa kasus dalam bab tindak pidana terhadap proses peradilan. Yakni bagian penyesatan proses peradilan.

Keempat, perubahan jangka waktu berlakunya KUHP dari dua tahun menjadi tiga tahun setelah diundangkan. Kelima, reformulasi pasal mengenai penghinaan terhadap lembaga negara dibatasi pada lembaga kepresidenan, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), MPR, DPR, dan DPD RI.

Selanjutnya, keenam, pengecualian penganiayaan hewan dalam hal dilakukan untuk budaya atau adat istiadat, dan ketujuh, harmonisasi pertanggungjawaban korporasi dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 13 tahun 2016.

Eddy menegaskan bahwa pasal penghinaan terhadap pemerintah tetap dipertahankan dalam RKUHP. Namun, pasal tersebut hanya bisa dilakukan melalui aduan sendiri secara tertulis. Setelah dilakukan pembahasan dan lobi, RKUHP akhirnya disepakati untuk dibawa ke rapat paripurna terdekat.

 

Jadi Ancaman Masyarakat Sipil

Kritik terhadap pengesahan RKUHP terus disuarakan masyarakat sipil. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH Kantor se-Indonesia meminta pengesahan RKUHP ditunda jika masih ada pasal-pasal bermasalah didalamnya.

Dalam keterangannya, YLBHI dan 18 LBH Kantor meminta Presiden dan DPR untuk mendengarkan dan menerima masukan masyarakat sipil terkait penghapusan pasal-pasal anti demokrasi. Selain itu, mereka juga meminta proses pembahasan RKUHP dilakukan secara transparan dan partisipatif.

“Sampai tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang diakomodir didalamnya (RKUHP, Red),” kata Ketua YLBHI M Isnur. Menurut YLBHI dan LBH Kantor, RKUHP yang disusun pemerintah tersebut akan memunculkan masalah besar di kemudian hari.

Pasal mengenai ancaman pidana terhadap penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 218 sampai Pasal 220 merupakan salah satu yang disorot YLBHI dan LBH Kantor. Pasal lain yang menjadi sorotan adalah pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah dan pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 349-351).

Menurut Isnur, pasal-pasal tersebut menjadi contoh konkret betapa besar ancaman pembungkaman masyarakat sipil. Suara-suara kritis masyarakat kepada penyelenggaraan negara sangat mungkin dibalas dengan pemidanaan dan kriminalisasi menggunakan pasal tersebut. (lum/tyo/bay/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi III DPR RI dan pemerintah menuntaskan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Melalui pembahasan sekitar tujuh jam, eksekutif dan legislatif sepakat membawa RKUHP ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang (UU).

Keputusan itu diambil dalam rapat kerja (raker) komisi III dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di komplek parlemen, Jakarta, kemarin (24/11). Rapat tersebut dipimpin Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir. Hadir Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej. Rapat tersebut dimulai sekitar pukul 10.00 dan baru berakhir pada 17.30.

Sebelum diambil keputusan, terjadi pembahasan terkait sejumlah pasal-pasal krusial. Adies meminta Kemenkumham memberikan penjelasan lebih detail soal pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara. Apakah frasa penghinaan tersebut termasuk pencemaran, fitnah, atau merendahkan martabat nama baik. “Pasal itu dinilai membatasi kebebasan berekspresi dan demokrasi,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.

Anggota Komisi III Taufik Basari meminta agar pasal penghinaan dihapus dari draf RKUHP. Menurutnya, pasal itu berpotensi akan disalahgunakan dan bakal mengancam demokrasi di tanah air. Namun, jika tidak dihapus, dia meminta agar delik penghinaan diubah menjadi delik fitnah. “Karena makna penghinaan itu sangat luas dan multitafsir,” papar politikus Partai Nasdem itu.

Eddy, sapaan akrab Edward Omar Sharif Hiariej menanggapi dengan mengusulkan perubahan pada tujuh substansi dalam RKUHP. “Setelah mendengarkan masukan, pemerintah mengusulkan perubahan,” ucapnya.

Pertama, kata Eddy, reformulasi penjelasan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law. Kedua, penyesuaian definisi makar menjadi niat untuk melakukan serangan. Ketiga, mengadopsi ketentuan mengenai rekayasa kasus dalam bab tindak pidana terhadap proses peradilan. Yakni bagian penyesatan proses peradilan.

Keempat, perubahan jangka waktu berlakunya KUHP dari dua tahun menjadi tiga tahun setelah diundangkan. Kelima, reformulasi pasal mengenai penghinaan terhadap lembaga negara dibatasi pada lembaga kepresidenan, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), MPR, DPR, dan DPD RI.

Selanjutnya, keenam, pengecualian penganiayaan hewan dalam hal dilakukan untuk budaya atau adat istiadat, dan ketujuh, harmonisasi pertanggungjawaban korporasi dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 13 tahun 2016.

Eddy menegaskan bahwa pasal penghinaan terhadap pemerintah tetap dipertahankan dalam RKUHP. Namun, pasal tersebut hanya bisa dilakukan melalui aduan sendiri secara tertulis. Setelah dilakukan pembahasan dan lobi, RKUHP akhirnya disepakati untuk dibawa ke rapat paripurna terdekat.

 

Jadi Ancaman Masyarakat Sipil

Kritik terhadap pengesahan RKUHP terus disuarakan masyarakat sipil. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH Kantor se-Indonesia meminta pengesahan RKUHP ditunda jika masih ada pasal-pasal bermasalah didalamnya.

Dalam keterangannya, YLBHI dan 18 LBH Kantor meminta Presiden dan DPR untuk mendengarkan dan menerima masukan masyarakat sipil terkait penghapusan pasal-pasal anti demokrasi. Selain itu, mereka juga meminta proses pembahasan RKUHP dilakukan secara transparan dan partisipatif.

“Sampai tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang diakomodir didalamnya (RKUHP, Red),” kata Ketua YLBHI M Isnur. Menurut YLBHI dan LBH Kantor, RKUHP yang disusun pemerintah tersebut akan memunculkan masalah besar di kemudian hari.

Pasal mengenai ancaman pidana terhadap penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 218 sampai Pasal 220 merupakan salah satu yang disorot YLBHI dan LBH Kantor. Pasal lain yang menjadi sorotan adalah pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah dan pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 349-351).

Menurut Isnur, pasal-pasal tersebut menjadi contoh konkret betapa besar ancaman pembungkaman masyarakat sipil. Suara-suara kritis masyarakat kepada penyelenggaraan negara sangat mungkin dibalas dengan pemidanaan dan kriminalisasi menggunakan pasal tersebut. (lum/tyo/bay/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/