JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan grasi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran kembali memancing reaksi pemerintah Australia. Elit politik yang beberapa hari terakhir sedikit tenang kembali menyentuh isu eksekusi mati duo Bali Nine di Indonesia. Salah satunya, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop.
Dalam beberapa wawancara, Julie merasa kecewa terhadap putusan sidang PTUN. Namun, dia mengaku masih mengandalkan masa pertimbangan naik banding selama 14 hari. Selama masa itu, pihaknya mengatakan akan terus melobi kepada pemerintah Indonesia.
“Kami akan terus meminta kemurahan hati Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan grasi mereka. Semoga dia dan rakyat Indonesia bisa memaafkan Chan dan Sukumaran, sehingga terhindar dari eksekusi mati selamanya. Saya tetap percaya bahwa dua orang tersebut tak pantas untuk dihukum mati,” ungkapnya saat wawancara doorstop dikutip dari situs resmi pemerintah kemarin (25/2).
Terkait pengumpulan koin untuk Australia, dia mengaku hal tersebut memang sempat menjadi kekhawatiran pemerintah Australia. Karena itulah, Julie sudah mengklarifkasi hal tersebut kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurutnya, apa yang dinyatakan oleh Perdana Menteri Australia Tony Abbott hanyalah menunjukkan kedekatan antara dua negara.
“Itu adalah dampak dari berita yang dibuat oleh media Indonesia. Tapi, kami tegaskan bahwa kami adalah tetangga yang telah bekerja sama di banyak sektor. Rencana kerja sama tersebut juga akan berlanjut. Namun, saat ini kami hanya meminta agar Joko Widodo memaafkan dua warga negara kami. Faktanya, mereka juga sudah berkontribusi terhadap sistem penjara di Indonesia,” ungkapnya.
Dia menambahkan, komitmennya untuk membebaskan duo Bali Nine dari hukuman mati bukanlah hal yang bisa dikompromikan. Menurutnya, dia sendiri sudah berkomunikasi dengan keluarga terpidana. Pertemuan tersebut diakui membuatnya lebih berusaha keras dalam melakukan upaya yang bisa dilakukan.
“Saya sudah bicara dengan dua orang itu lewat telepon. Tapi, momen bertemu dengan keluarga adalah yang membuat saya sepert ini. Nyonya Sukuraman sempat memeluk keras saya sampai saya sulit bernapas. Dia meminta saya melakukan segala upaya penyelamatan. Tak akan ada orang yang tak tersentuh dengan permintaan itu,” ungkapnya.
Di sisi lain, respons pemerintah Australia dinilai tak etis dilakukan. Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, pernyataan kecewa tak keluar dari mulut Bishop. Sebab, hal tersebut secara tersirat mendiskreditkan hukum di Indonesia. Padahal, sudah jelas diatur dalam konvensi Wina bahwa kedaulatan hukum suatu negara harus dihormati.
“Dia menyatakan kecewa kan karena protes mereka digagalkan. Tapi, memang keputusan penolakan grasi bukan objek PTUN. Hanya karena tidak berpihak terhadap penyelamatan Australia malah menyatakan kecewa. Itu secara tidak langsung mengkritik sistem hukum di negara lain,” terangnya.
Dia pun menyoroti Julie yang terus menyebut nama Jokowi dalam pernyataan. Padahal, hal tersebut sudah tak lagi berhubungan. Menurutnya, proses hukum yang ada merupakan kewenangan dari lembaga judikatif. Sehingga, Jokowi sebagai pimpinan eksekutif tak boleh mengintervensi proses yang ada. “Hal ini tidak bisa ditimpakan ke Jokowi saja,” terangnya.
Namun, dia tetap meminta agar masyarakat dan pemerintah tak mengeluarkan reaksi keras atas hal tersebut. Langkah yang perlu dilakukan adalah memastikan kedaulatan hukum dengan meneruskan proses eksekusi. “Indonesia jangan terlalu berlebihan dalam merespons. Soalnya, ini bisa terjadi kalau proses hukum sudah masuk injury time. Apalagi, rezim pemerintah Australia sekarang juga belum aman,” terangnya.
Hal tersebut juga didukung inisiator pengumpulan koin untuk Australia Andi Sinulingga. Menurutnya, dasar permintaan Australia untuk penolakan saat ini tak konsisten. Dia mencatat Mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd memberikan dukungan terhadap eksekusi mati almarhum Amrozi pada 2003.
“Perlu diingat sewaktu kasus Amrozi pemerintah Australia sama sekali tak menyebutkan HAM. Mereka menggunakan dasar hukum Indonesia yang memang memperbolehkan hukuman mati. Tapi, sewaktu warga negara mereka yang dieksekusi, mereka tiba-tiba bilang soal kemanusiaan,” ujar jubir Poros Muda Golkar itu. (bil/end/jpnn/azw)
Apakah Bandar Narkoba berbeda dengan teroris” Mereka sama-sama membunuh banyak orang,” ujar pria yang juga menjadi juru bicara Poros Muda Golkar itu.
Dia pun mengkritisi sikap publik internasional yang terlalu menekan Indonesia. Saat ini, lanjut dia, ada 14 negara bagian di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang masih menjalankan regulasi hukuman mati. Namun, tak ada yang mengatakan hal tersebut. “Contoh saja AS yang yang menyerang Iraq dengan asumsi ada senjata pemusnah masal. Dan itu sampai sekarang tidak terbukti. Kenapa malah dibiarkan?” terangnya.