29.3 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Bisnis Perkara “Yang Mulia”

Lembaga peradilan kembali digemparkan dengan pemberitaan seputar perilaku hakim yang sangat kontras dengan kehormatan dan kemuliaan yang melekat pada institusi yang satu ini.

Kali ini, perilaku buruk yang dipertontonkan sang pemegang palu keadilan itu adalah terkait dengan penangkapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Setyabudi Tejocahyono oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, 22/03 lalu.

Dugaan suap yang terendus dalam operasi tangkap tangan KPK itu diduga terkait dengan kasus Bantuan Sosial (Bansos) Pemerintah Kota Bandung yang diperkirakan telah merugikan negara hingga 66,558 miliar rupiah. Penangkapan sang hakim dilakukan sesaat setelah terjadinya transaksi suap antara pemegang palu keadilan itu dengan seorang pengusaha di ruang kerjanya. Sementara berdasarkan catatan Mahkamah Agung, hakim yang satu ini diduga terbelit dalam sejumlah masalah, khususnya dalam menangani sejumlah kasus. Bahkan sejumlah laporan telah melayang ke MA terkait pelanggaran kode etik dan unprofessional conduct yang pernah dilakoni hakim Setyabudi.

Berdasarkan catatan terkait track record hakim Setyabudi Tejocahyono, khususnya dalam satu tahun terakhir, posisinya mendapat kepercayaan dalam menangani sejumlah perkara tindak pidana korupsi di Bandung. Namun sederet kasus perkara tipikor yang ditanganinya justru berakhir dengan “penganugerahan” sejumlah vonis ringan. Paling tidak ada empat perkara tipikor yang divonis ringan oleh hakim yang satu ini.

Pertama, perkara korupsi dana Bansos Pemkot Bandung yang pada akhirnya berujung malapetaka terbesar bagi Setyabudi. Kasus yang diputus pada 17 Desember 2012 lalu itu memvonis tujuh terdakwa, mulai dari mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung, Rohman, Kepala Bagian Tata Usaha, Uus R, ajudan Wali Kota Bandung, Yanos Septadi, ajudan Sekda, Luthfan Barkah, staf Keuangan, Firman Himawan serta kuasa Bendahara Umum, Havid Kurnia dan Ahmad Mulyana. Keseluruhan terdakwa divonis 1 tahun penjara denda 50 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan. Padahal, jaksa mengajukan tuntutan 3 sampai 4 tahun.

Kedua adalah kasus korupsi dana rapat Pansus yang terindikasi mark up dengan terdakwa Ebet hidayat, mantan Sekretaris DPRD Kota Bandung yang kemudian menjabat sebagai Kadis Pemuda dan Olahraga Kota Bandung. Perkara ini dituntut 1,5 tahun penjara dan berakhir dengan vonis 1 tahun penjara. Ketiga adalah kasus korupsi dengan dengan terdakwa dua anak buah Bupati Cianjur, Edi Iriana dan Heri Khaeruman yang sebelumnya dituntut 3 tahun penjara, namun lagi-lagi dianugerahi diskon putusan dengan vonis 2 tahun dan 1 tahun 8 bulan penjara oleh majelis hakim yang diketuai Setyabudi pada 7/02 lalu.

Keempat adalah perkara penyuapan pada Kepala Kantor Pajak Pratama (KPP) Bogor Anggrah Suryo dengan terdakwa Endang Dyah. Lagi-lagi sikap bermurah hati Setyabudi melalui vonis kembali dipertontonkan dengan menjatuhkan vonis 8 bulan 10 hari penjara. Padahal, sebelumnya JPU telah mengajukan tuntutan selama 2 tahun penjara. Tidak hanya itu, selama kiprahnya di PN Bandung, Setyabudi juga pernah menjatuhkan vonis bebas terhadap Inggrid Gunawan, terdakwa perkara penembakan bos sekuriti Red Guard, Husein Komara pada 5/02/2012 lalu.

Deretan putusan mencengangkan itu pada akhirnya menimbulkan kecurigaan mendalam bagi publik akan kiprah hakim yang satu ini. Maka kemudian tidak mengerankan bila belakangan diketahui bahwa MA sendiri sudah begitu banyak menerima laporan terkait sepak terjang dan sejumlah keganjilan yang menyelimuti karier hakim Setyabudi. Atas dasar itu pula, MA menggandeng KPK guna melakukan pengawasan dan penelusuran mendalam terhadap hakim yang satu ini dan hasilnyapun membuahkan fakta menyedihkan.

Apa yang terjadi dalam kasus yang melibatkan oknum hakim Setyabudi bukanlah kasus pertama terkait dengan keterlibatan oknum-oknum pengadilan dalam berbagai bentuk perbuatan yang berseberangan dengan ketentuan hukum yang ada. Hanya saja, dalam perjalanan kasus yang ada selama ini, sederet perkara yang berhasil diungkap ke permukaan lebih didominasi persoalan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Kasus yang lebih menonjol adalah terkait dengan keterlibatan oknum pengadilan dalam memuluskan sejumlah perkara yang sedang ditanganinya.

Perilaku Kontras

Selain dalam perkara suap, lembaga peradilan juga pernah digemparkan dengan pemberitaan seputar perilaku hakim yang sangat kontras dengan kehormatan dan kemuliaan yang melekat pada institusi yang satu ini. Publik tentu masih ingat dengan sang hakim, Puji Wijayanto (PW) yang sehari-harinya bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi ditangkap oleh petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Selasa, 26/10/2012 di Illegal Hotel&Club di Hayam Wuruk Jakarta Pusat. PW ditangkap bersama enam rekannya yang turut meramaikan pesta narkoba dimaksud.

Tragedi memilukan ini kian menambah daftar panjang maraknya peredaran narkoba di tanah air. Barang haram yang sudah lama didengung-dengungkan sebagai musuh bersama oleh seluruh elemen bangsa ternyata oleh sebagian kalangan, termasuk sejumlah pejabat Negara seperti PW justru menjadikannya sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Kasus narkoba yang satu inipun kian terasa ironis ketika pelakunya ternyata seorang hakim yang semestinya berperan sebagai penegak hukum bagi mereka-mereka yang tersandung dalam kasus narkoba.

Mencuatnya sejumlah perkara hukum, baik kasus suap maupun narkoba yang melibatkan sederet nama dari lembaga peradilan juga akan membawa implikasi buruk terhadap tingkat kepercayaan public atas kinerja lembaga peradilan selama ini. Oleh sebab itu, maka sudah saatnya para pendekar hukum yang bernaung di balik jubah kemuliaan hakim segera mengumandangkan revolusi perilaku dan mental agar tidak terseret dalam lubang kehancuran yang semakin dalam.

Para hakim harus mampu menjaga wibawa dan nama baik institusinya. Gelar kehormatan hakim sebagai “Yang Mulia” seyogianya sejalan dengan perilaku yang dipertontonkan kepada publik. Ketika hakim justru terjerat dalam bisnis perkara, maka kepercayaan publik akan pudar dengan sendirinya. Sejumlah kasus suap yang melibatkan “Yang Mulia” belakangan ini justru akan mengundang reaksi keras masyarakat luas terhadap proses penegakan hukum yang sarat dengan praktik konkalikong para punggawa keadilan itu. Kalau tragedi semacam ini masih saja berkelanjutan di kemudian hari, maka jangan salahkan rakyat bila kemudian tidak mempercayai lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan, karena lembaga peradilan sudah dikotori dengan praktik bisnis perkara oleh “Yang Mulia”.

Penulis; Pengajar di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen; Peserta Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

Lembaga peradilan kembali digemparkan dengan pemberitaan seputar perilaku hakim yang sangat kontras dengan kehormatan dan kemuliaan yang melekat pada institusi yang satu ini.

Kali ini, perilaku buruk yang dipertontonkan sang pemegang palu keadilan itu adalah terkait dengan penangkapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Setyabudi Tejocahyono oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, 22/03 lalu.

Dugaan suap yang terendus dalam operasi tangkap tangan KPK itu diduga terkait dengan kasus Bantuan Sosial (Bansos) Pemerintah Kota Bandung yang diperkirakan telah merugikan negara hingga 66,558 miliar rupiah. Penangkapan sang hakim dilakukan sesaat setelah terjadinya transaksi suap antara pemegang palu keadilan itu dengan seorang pengusaha di ruang kerjanya. Sementara berdasarkan catatan Mahkamah Agung, hakim yang satu ini diduga terbelit dalam sejumlah masalah, khususnya dalam menangani sejumlah kasus. Bahkan sejumlah laporan telah melayang ke MA terkait pelanggaran kode etik dan unprofessional conduct yang pernah dilakoni hakim Setyabudi.

Berdasarkan catatan terkait track record hakim Setyabudi Tejocahyono, khususnya dalam satu tahun terakhir, posisinya mendapat kepercayaan dalam menangani sejumlah perkara tindak pidana korupsi di Bandung. Namun sederet kasus perkara tipikor yang ditanganinya justru berakhir dengan “penganugerahan” sejumlah vonis ringan. Paling tidak ada empat perkara tipikor yang divonis ringan oleh hakim yang satu ini.

Pertama, perkara korupsi dana Bansos Pemkot Bandung yang pada akhirnya berujung malapetaka terbesar bagi Setyabudi. Kasus yang diputus pada 17 Desember 2012 lalu itu memvonis tujuh terdakwa, mulai dari mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung, Rohman, Kepala Bagian Tata Usaha, Uus R, ajudan Wali Kota Bandung, Yanos Septadi, ajudan Sekda, Luthfan Barkah, staf Keuangan, Firman Himawan serta kuasa Bendahara Umum, Havid Kurnia dan Ahmad Mulyana. Keseluruhan terdakwa divonis 1 tahun penjara denda 50 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan. Padahal, jaksa mengajukan tuntutan 3 sampai 4 tahun.

Kedua adalah kasus korupsi dana rapat Pansus yang terindikasi mark up dengan terdakwa Ebet hidayat, mantan Sekretaris DPRD Kota Bandung yang kemudian menjabat sebagai Kadis Pemuda dan Olahraga Kota Bandung. Perkara ini dituntut 1,5 tahun penjara dan berakhir dengan vonis 1 tahun penjara. Ketiga adalah kasus korupsi dengan dengan terdakwa dua anak buah Bupati Cianjur, Edi Iriana dan Heri Khaeruman yang sebelumnya dituntut 3 tahun penjara, namun lagi-lagi dianugerahi diskon putusan dengan vonis 2 tahun dan 1 tahun 8 bulan penjara oleh majelis hakim yang diketuai Setyabudi pada 7/02 lalu.

Keempat adalah perkara penyuapan pada Kepala Kantor Pajak Pratama (KPP) Bogor Anggrah Suryo dengan terdakwa Endang Dyah. Lagi-lagi sikap bermurah hati Setyabudi melalui vonis kembali dipertontonkan dengan menjatuhkan vonis 8 bulan 10 hari penjara. Padahal, sebelumnya JPU telah mengajukan tuntutan selama 2 tahun penjara. Tidak hanya itu, selama kiprahnya di PN Bandung, Setyabudi juga pernah menjatuhkan vonis bebas terhadap Inggrid Gunawan, terdakwa perkara penembakan bos sekuriti Red Guard, Husein Komara pada 5/02/2012 lalu.

Deretan putusan mencengangkan itu pada akhirnya menimbulkan kecurigaan mendalam bagi publik akan kiprah hakim yang satu ini. Maka kemudian tidak mengerankan bila belakangan diketahui bahwa MA sendiri sudah begitu banyak menerima laporan terkait sepak terjang dan sejumlah keganjilan yang menyelimuti karier hakim Setyabudi. Atas dasar itu pula, MA menggandeng KPK guna melakukan pengawasan dan penelusuran mendalam terhadap hakim yang satu ini dan hasilnyapun membuahkan fakta menyedihkan.

Apa yang terjadi dalam kasus yang melibatkan oknum hakim Setyabudi bukanlah kasus pertama terkait dengan keterlibatan oknum-oknum pengadilan dalam berbagai bentuk perbuatan yang berseberangan dengan ketentuan hukum yang ada. Hanya saja, dalam perjalanan kasus yang ada selama ini, sederet perkara yang berhasil diungkap ke permukaan lebih didominasi persoalan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Kasus yang lebih menonjol adalah terkait dengan keterlibatan oknum pengadilan dalam memuluskan sejumlah perkara yang sedang ditanganinya.

Perilaku Kontras

Selain dalam perkara suap, lembaga peradilan juga pernah digemparkan dengan pemberitaan seputar perilaku hakim yang sangat kontras dengan kehormatan dan kemuliaan yang melekat pada institusi yang satu ini. Publik tentu masih ingat dengan sang hakim, Puji Wijayanto (PW) yang sehari-harinya bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi ditangkap oleh petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Selasa, 26/10/2012 di Illegal Hotel&Club di Hayam Wuruk Jakarta Pusat. PW ditangkap bersama enam rekannya yang turut meramaikan pesta narkoba dimaksud.

Tragedi memilukan ini kian menambah daftar panjang maraknya peredaran narkoba di tanah air. Barang haram yang sudah lama didengung-dengungkan sebagai musuh bersama oleh seluruh elemen bangsa ternyata oleh sebagian kalangan, termasuk sejumlah pejabat Negara seperti PW justru menjadikannya sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Kasus narkoba yang satu inipun kian terasa ironis ketika pelakunya ternyata seorang hakim yang semestinya berperan sebagai penegak hukum bagi mereka-mereka yang tersandung dalam kasus narkoba.

Mencuatnya sejumlah perkara hukum, baik kasus suap maupun narkoba yang melibatkan sederet nama dari lembaga peradilan juga akan membawa implikasi buruk terhadap tingkat kepercayaan public atas kinerja lembaga peradilan selama ini. Oleh sebab itu, maka sudah saatnya para pendekar hukum yang bernaung di balik jubah kemuliaan hakim segera mengumandangkan revolusi perilaku dan mental agar tidak terseret dalam lubang kehancuran yang semakin dalam.

Para hakim harus mampu menjaga wibawa dan nama baik institusinya. Gelar kehormatan hakim sebagai “Yang Mulia” seyogianya sejalan dengan perilaku yang dipertontonkan kepada publik. Ketika hakim justru terjerat dalam bisnis perkara, maka kepercayaan publik akan pudar dengan sendirinya. Sejumlah kasus suap yang melibatkan “Yang Mulia” belakangan ini justru akan mengundang reaksi keras masyarakat luas terhadap proses penegakan hukum yang sarat dengan praktik konkalikong para punggawa keadilan itu. Kalau tragedi semacam ini masih saja berkelanjutan di kemudian hari, maka jangan salahkan rakyat bila kemudian tidak mempercayai lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan, karena lembaga peradilan sudah dikotori dengan praktik bisnis perkara oleh “Yang Mulia”.

Penulis; Pengajar di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen; Peserta Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/