Menurut Moqowam, mengingat jabatan publik politik adalah menjadi ruang publik politisi, seharusnya sepanjang masyarakat masih memilih dalam pemilihan umum tidak ada halangan, apalagi mundur misalnya. Sebaliknya jika politisi mau jadi Polisi, Tentara atau ASN maka harus mundur dari jabatan publik politik.
“Ketentuan UU 10/2016 menentukan bahwa anggota DPR, DPD, dan DPD harus mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah bersifat diskriminatif karena memperlakuan berbeda antara anggota DPR, DPD, dan DPRD yang berkapasitas sebagai pejabat publik politik dengan kepala daerah (incumbent) yang juga berkapasitas sebagai pejabat publik politik karena sama sama dipilih dalam pemilihan (election),” ujarnya.
Dikatakan Moqowam, bagi kepala daerah yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya tidak wajib mundur. Sedangkan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya, harus mengundurkan diri.
“Di sinilah letak diskriminasi tersebut.dalam kapasitas yang sama diperlakukan berbeda,” tegasnya.
Karena itu mereka sebagai pemohon kepada MK agar ketentuan anggota DPR, DPD, dan DPRD harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai anggota DPR, DPD, dan DPRD mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah apabila mencalonkan diri di luar daerah pemilihannya.(net/azw)