27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Tunggu Lampu Hijau Komisi XI DPR

JAKARTA – Rencana penandatanganan pengakhiran kontrak kerjasama dengan konsorsium perusahaan Jepang (NAA) dalam pengelolaan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Kamis (25/9), batal dilakukan. Penundaan pengakhiran kontrak itu lantaran pemerintah masih menunggu persetujuan dari Komisi XI DPR yang membidangi masalah keuangan.

‘’Hingga kemarin, Komisi XI DPR masih membahas masalah ini. Menteri Keuangan Chatib Basri pun terus melakukan komunikasi dengan Komisi XI DPR untuk mendapatkan persetujuan secepatnya terhadap pengambilalihan PT Inalum,’’ ungkap Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat di Jakarta, Jumat (25/10).

Yang jelas, kata Hidayat, tandatangan pengakhiran kontrak kerja dengan Jepang harus dapat direalisasikan sebelum tanggal 1 November 2013.

“Kan waktu itu sudah disetujui di Komisi VI dan Komisi VII, saya mendengar dari Pak Chatib Basri, dia sedang mengusahakan hari ini (persetujuan dari Komisi XI DPR) bisa dilakukan. Kalau tidak katanya tanggal 30 Oktober,” ucapnya.
Hidayat mengaku tak terlalu risau mengenai molornya pengakhiran kontrak ini. Baginya, yang terpenting soal kesepakatan harga beli saham sudah didapatkan. “Yang penting kepastian atau kesepakatan mengenai harga sudah disetujui,” ujarnya.

Hidayat juga menambahkan setelah PT Inalum sah menjadi milik Indonesia maka akan jatuh di bawah naungan Kementerian BUMN dan jajaran direksi sebelumnya akan dirombak.

“Inalum nanti jadi di bawah naungan Kementerian BUMN, Direksi Jepangnya akan diganti,” katanya.
Sebelumnya, dalam rapat di Komisi VI DPR pada Selasa (22/10) malam, Hidayat mengatakan, rencananya penandatanganan pengakhiran kontrak kerjasama dengan NAA akan dilakukan pada 25 Oktober 2013.

Pengakhiran kontrak itu dilakukan setelah kedua pihak sepakat dengan pengajuan perhitungan baru nilai buku pengambilalihan 58,87 persen saham Inalum, sebesar 558 juta dolar AS.

Setelah kontrak resmi diputusan, lanjut Hidayat, Kementerian Keuangan akan mentransfer dana sebesar 558 juta dolar AS ke rekening NAA. “Karena dalam master agreement (MA), sebelum 1 November 2013 dana transfer sudah harus masuk di bank yang ditentukan di Tokyo,” terang Hidayat.

Pemerintah saat ini kata Hidayat telah mengalokasikan dana sebesar Rp7 triliun untuk mengambilalih saham Inalum. Hidayat juga menegaskan bahwa sisa dana ini nanti akan dikembalikan pada negara.

Di lain pihak, urusan pemberian saham Inalum ke Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota di sekitar Danau Toba, yang dipatok maksimal 30 persen, dianggap salah satu titik rawan kesepakatan pengambilalihan Inalum.

Jika tidak hati-hati dan gegabah menggandeng pihak swasta, ke depan nantinya bukan masyarakat Sumut yang ikut menikmati keberadaan Inalum, melainkan pihak swasta itu.

Bukan hanya kalangan DPR yang mengingatkan hal itu. Untuk kesekian kalinya, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mewanti-wanti Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota yang ada di sekitar Danau Toba, untuk tidak menggandeng swasta.

Marwan mengaku tak tertarik untuk bicara jatah 30 persen saham dimaksud. Mau berapa persen angkanya, kata dia, kalau diambil sendiri oleh pemda, maka hasilnya pasti akan bisa dinikmati rakyat Sumut. Misal mendapat jatah besar tapi pemda menggandeng swasta dengan porsi yang lebih besar, maka percuma saja.

Dia menyoroti langkah Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota, yang awal-awalnya terlihat ngotot minta jatah saham 58,87 persen, tapi tidak siap dana. “Minta tapi tak ada uang. Bisanya langsung menggandeng swasta. Kalau seperti itu, itu nasibnya mirip NTB nantinya (PT Newmont Nusa Tenggara, Red), swasta yang mendapat lebih banyak karena punya dana besar dibanding pemdanya,” terang Marwan kepada Sumut Pos di Jakarta, Kamis (25/10).

Padahal, lanjut mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu, Pemprov Sumut dan 10 Pemkab/Pemko bisa langsung bekerjasama dengan pemerintah pusat. “Korsorsium BUMD bisa langsung ke pusat, minta tolong carikan pinjaman,” lanjutnya.

Saat rapat dengan Komisi VI DPR pada 17 Oktober 2013 silam, sejumlah anggota Dewan juga menyoroti rencana Pemda menggandeng swasta. Setelah mendengar paparan Gubsu Gatot Pujo Nugroho, saat itu anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Daniel Tobing menyatakan ketidaksetujuan Pemda di Sumut menggandeng PT Toba Sejahtera.

“Dari materi yang ada, Pemprov Sumut dan sepuluh pemerintah kabupaten/kota di Sumut lainnya, kurang lebih menyiapkan dana Rp400 miliar,” kata Tobing saat itu.

“Kalau dari skema yang ada, dengan rencana pelibatan pihak swasta yang begitu besar, Inalum bukan dikelola BUMD maupun BUMN, tapi swasta nasional. Hanya 11 persen buat daerah. Kalau setuju begitu, kenapa nggak minta saja langsung (minta 11 persen sesuai kemampuan dana, Red) dan Inalum tetap di bawah pemerintah pusat?” sergah Tobing.

Sebelumnya, Bupati Samosir Mangindar Simbolon selaku juru bicara 10 bupati/walikota, menjelaskan saham 30 persen itu akan dipecah menjadi dua, yakni 20 persen dan 10 persen. Nah, yang 20 persen itu, Pemda di Sumut minta pemerintah pusat memberikannya secara cuma-cuma alias gratis, atau biasa disebut golden share.

“Yang 20 persen itu semacam golden share untuk Pemda. Yang 10 persen saham lagi dibeli secara penuh,” ujar bupati yang pernah dikirim kuliah singkat ke Harvard University itu.

Dalam estimasi Sumut Pos, saham 10 persen yang akan dibeli itu sama dengan nilai uang Rp960 miliar. Jika dana itu ditanggung Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota dengan beban yang sama, masing-masing pihak harus siap mengucurkan dana sekitar Rp87,3 miliar.

Mangindar sendiri belum memutuskan apakah kelak menggandeng swasta atau tidak untuk membeli 10 persen saham tersebut jika tawaran 20 persen saham golden share itu diterima olh pemerintah pusat.

Diakui dia, pembicaraan dengan dua pihak swasta, yakni PT Toba Sejahtera milik Jenderal TNI (Purn) Luhut Panjaitan dan Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) terpaksa dilakukan ulang karena muncul angka 30 persen yang disepakati di Senayan, Selasa (22/10) malam.

“Karena konsep awal kita saat bicara dengan dua pihak swasta itu 58,87 persen, bukan 30 persen. Jadi masih perlu dibicarakan lagi,” ujar Mangindar.

Secara terang-terangan, Mangindar mengatakan, jika pun pihak swasta dilibatka, porsinya akan cukup minim. Yang dominan tetap Pemda. Hal ini, lanjutnya, berdasarkan sinyal dari pihak pemerintah dan DPR yang tidak menyukai keterlibatan swasta dalam pengelolaan Inalum ke depan.

“Pusat tampaknya tidak begitu happy jika ada pihak ketiga. Maunya pusat dan daerah, swasta jangan dominan,” terang Mangindar. (sam)

JAKARTA – Rencana penandatanganan pengakhiran kontrak kerjasama dengan konsorsium perusahaan Jepang (NAA) dalam pengelolaan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Kamis (25/9), batal dilakukan. Penundaan pengakhiran kontrak itu lantaran pemerintah masih menunggu persetujuan dari Komisi XI DPR yang membidangi masalah keuangan.

‘’Hingga kemarin, Komisi XI DPR masih membahas masalah ini. Menteri Keuangan Chatib Basri pun terus melakukan komunikasi dengan Komisi XI DPR untuk mendapatkan persetujuan secepatnya terhadap pengambilalihan PT Inalum,’’ ungkap Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat di Jakarta, Jumat (25/10).

Yang jelas, kata Hidayat, tandatangan pengakhiran kontrak kerja dengan Jepang harus dapat direalisasikan sebelum tanggal 1 November 2013.

“Kan waktu itu sudah disetujui di Komisi VI dan Komisi VII, saya mendengar dari Pak Chatib Basri, dia sedang mengusahakan hari ini (persetujuan dari Komisi XI DPR) bisa dilakukan. Kalau tidak katanya tanggal 30 Oktober,” ucapnya.
Hidayat mengaku tak terlalu risau mengenai molornya pengakhiran kontrak ini. Baginya, yang terpenting soal kesepakatan harga beli saham sudah didapatkan. “Yang penting kepastian atau kesepakatan mengenai harga sudah disetujui,” ujarnya.

Hidayat juga menambahkan setelah PT Inalum sah menjadi milik Indonesia maka akan jatuh di bawah naungan Kementerian BUMN dan jajaran direksi sebelumnya akan dirombak.

“Inalum nanti jadi di bawah naungan Kementerian BUMN, Direksi Jepangnya akan diganti,” katanya.
Sebelumnya, dalam rapat di Komisi VI DPR pada Selasa (22/10) malam, Hidayat mengatakan, rencananya penandatanganan pengakhiran kontrak kerjasama dengan NAA akan dilakukan pada 25 Oktober 2013.

Pengakhiran kontrak itu dilakukan setelah kedua pihak sepakat dengan pengajuan perhitungan baru nilai buku pengambilalihan 58,87 persen saham Inalum, sebesar 558 juta dolar AS.

Setelah kontrak resmi diputusan, lanjut Hidayat, Kementerian Keuangan akan mentransfer dana sebesar 558 juta dolar AS ke rekening NAA. “Karena dalam master agreement (MA), sebelum 1 November 2013 dana transfer sudah harus masuk di bank yang ditentukan di Tokyo,” terang Hidayat.

Pemerintah saat ini kata Hidayat telah mengalokasikan dana sebesar Rp7 triliun untuk mengambilalih saham Inalum. Hidayat juga menegaskan bahwa sisa dana ini nanti akan dikembalikan pada negara.

Di lain pihak, urusan pemberian saham Inalum ke Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota di sekitar Danau Toba, yang dipatok maksimal 30 persen, dianggap salah satu titik rawan kesepakatan pengambilalihan Inalum.

Jika tidak hati-hati dan gegabah menggandeng pihak swasta, ke depan nantinya bukan masyarakat Sumut yang ikut menikmati keberadaan Inalum, melainkan pihak swasta itu.

Bukan hanya kalangan DPR yang mengingatkan hal itu. Untuk kesekian kalinya, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mewanti-wanti Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota yang ada di sekitar Danau Toba, untuk tidak menggandeng swasta.

Marwan mengaku tak tertarik untuk bicara jatah 30 persen saham dimaksud. Mau berapa persen angkanya, kata dia, kalau diambil sendiri oleh pemda, maka hasilnya pasti akan bisa dinikmati rakyat Sumut. Misal mendapat jatah besar tapi pemda menggandeng swasta dengan porsi yang lebih besar, maka percuma saja.

Dia menyoroti langkah Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota, yang awal-awalnya terlihat ngotot minta jatah saham 58,87 persen, tapi tidak siap dana. “Minta tapi tak ada uang. Bisanya langsung menggandeng swasta. Kalau seperti itu, itu nasibnya mirip NTB nantinya (PT Newmont Nusa Tenggara, Red), swasta yang mendapat lebih banyak karena punya dana besar dibanding pemdanya,” terang Marwan kepada Sumut Pos di Jakarta, Kamis (25/10).

Padahal, lanjut mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu, Pemprov Sumut dan 10 Pemkab/Pemko bisa langsung bekerjasama dengan pemerintah pusat. “Korsorsium BUMD bisa langsung ke pusat, minta tolong carikan pinjaman,” lanjutnya.

Saat rapat dengan Komisi VI DPR pada 17 Oktober 2013 silam, sejumlah anggota Dewan juga menyoroti rencana Pemda menggandeng swasta. Setelah mendengar paparan Gubsu Gatot Pujo Nugroho, saat itu anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Daniel Tobing menyatakan ketidaksetujuan Pemda di Sumut menggandeng PT Toba Sejahtera.

“Dari materi yang ada, Pemprov Sumut dan sepuluh pemerintah kabupaten/kota di Sumut lainnya, kurang lebih menyiapkan dana Rp400 miliar,” kata Tobing saat itu.

“Kalau dari skema yang ada, dengan rencana pelibatan pihak swasta yang begitu besar, Inalum bukan dikelola BUMD maupun BUMN, tapi swasta nasional. Hanya 11 persen buat daerah. Kalau setuju begitu, kenapa nggak minta saja langsung (minta 11 persen sesuai kemampuan dana, Red) dan Inalum tetap di bawah pemerintah pusat?” sergah Tobing.

Sebelumnya, Bupati Samosir Mangindar Simbolon selaku juru bicara 10 bupati/walikota, menjelaskan saham 30 persen itu akan dipecah menjadi dua, yakni 20 persen dan 10 persen. Nah, yang 20 persen itu, Pemda di Sumut minta pemerintah pusat memberikannya secara cuma-cuma alias gratis, atau biasa disebut golden share.

“Yang 20 persen itu semacam golden share untuk Pemda. Yang 10 persen saham lagi dibeli secara penuh,” ujar bupati yang pernah dikirim kuliah singkat ke Harvard University itu.

Dalam estimasi Sumut Pos, saham 10 persen yang akan dibeli itu sama dengan nilai uang Rp960 miliar. Jika dana itu ditanggung Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota dengan beban yang sama, masing-masing pihak harus siap mengucurkan dana sekitar Rp87,3 miliar.

Mangindar sendiri belum memutuskan apakah kelak menggandeng swasta atau tidak untuk membeli 10 persen saham tersebut jika tawaran 20 persen saham golden share itu diterima olh pemerintah pusat.

Diakui dia, pembicaraan dengan dua pihak swasta, yakni PT Toba Sejahtera milik Jenderal TNI (Purn) Luhut Panjaitan dan Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) terpaksa dilakukan ulang karena muncul angka 30 persen yang disepakati di Senayan, Selasa (22/10) malam.

“Karena konsep awal kita saat bicara dengan dua pihak swasta itu 58,87 persen, bukan 30 persen. Jadi masih perlu dibicarakan lagi,” ujar Mangindar.

Secara terang-terangan, Mangindar mengatakan, jika pun pihak swasta dilibatka, porsinya akan cukup minim. Yang dominan tetap Pemda. Hal ini, lanjutnya, berdasarkan sinyal dari pihak pemerintah dan DPR yang tidak menyukai keterlibatan swasta dalam pengelolaan Inalum ke depan.

“Pusat tampaknya tidak begitu happy jika ada pihak ketiga. Maunya pusat dan daerah, swasta jangan dominan,” terang Mangindar. (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/