32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Pengamat Desak Regenerasi Mega

042642-505813-jokowi-dan-megawatiSUMUTPOS.CO- Kemenangan PDIP dalam Pemilu dan Pilpres 2014 tak dipungkiri buah tangan kader-kader yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang kuat. Megawati berhasil melakukan regenerasi kader, tapi belum berhasil membuat mereka menggantikan dia. Para pengamat mendesak regenerasi harus cepat dilakukan jika partai moncong putih ini tak ingin menjadi parpol kuno. Sebab parpol modern mensyaratkan adanya dinamisasi dalam kepemimpinan organisasi.      

“KITA akui proses kaderisasi di tubuh PDIP berjalan dengan baik. Maka tak heran, kini banyak kader-kader muda PDIP yang tampil ke publik dengan kesan kapasitas dan kapabilitas yang kuat,” kata pengajar politik dari Universitas Parahyangan, Bandung, Prof Asep Warlan Yusuf, Kamis (26/3).

 

Menurutnya, kini tinggal selangkah lagi bagi PDIP menjadi partai modern. Yaitu partai meritokratik dengan melepaskan diri dari kultur individu yang bisa menghambat pengkaderan.

 

“Sudah saatnya ada peralihan ketua umum. Bu Mega harus ditempatkan dalam posisi yang terhormat, dengan tidak lagi sibuk dengan urusan eksekutif partai. Bu Mega bisa ditempatkan sebagai semacam Dewan Pembina atau Dewan Pertimbangan yang menjadi alat pemersatu dan simbol ideologi,” jelas Asep.

 

Dengan posisi itu, Asep yakin, PDIP akan tetap solid, dan di saat yang sama menjadi partai modern yang ideologis. Peran dan fungsi Megawati bisa mengontrol kebijakan eksekutif partai. Sementara jabatan ketua umum bisa diserahkan kepada anak-anak muda.

 

“Bisa kepada Pramono Anung, Ganjar Pranowo, atau Tjahjo Kumolo. Mereka adalah kader-kader yang sudah terbukti dan teruji, serta mampu berkomunikasi dengan partai lain. Bu Mega ditempatkan secara terhormat sebagai mentor ketua umum nanti, siapapun di antara mereka,” tukas Asep.

 

Terkait survei Poltracking yang tak lagi menjagokan Megawati sebagai bos PDIP, pakar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk mengatakan, itu disebabkan kenyataan bahwa publik tidak menyukai dinasti kuasai partai politik.

 

“Kalau orang ini (trah Soekarno) cukup peka suara publik. Ternyata publik tidak menyukai dinasti. Capek kita melihat dinasti politik ini. Karena publik melihat dinasti lebih banyak mudarat daripara manfaat,” katanya kepada wartawan.

 

Psikis publik terhadap dinasti politik itu muncul, kata Hamdi, disebakan fakta bahwa dinasti politik selama ini seperti yang terjadi di Banten dan Bangkalan, Madura, hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat yang dipimpinnya dengan mengayakan kroni dan keluarganya sendiri.

 

Meskipun di luar negeri seperti trah Nehru di India dan trah Kennedy di Amerika Serikut berbeda dengan keluarga elit politik di Indonesia, di mana kompetensi keturunan keluarga itu tidak begitu jauh berbeda, sebab kematangan politik dan mentoring.

 

“Di Indonesia kondisinya berbeda, substansinya, masyarakat tidak happy dengan generasi politik,” imbuhnya.

 

Namun, Hamdi menjelaskan, dinasti politik tidak hanya terjadi pada PDIP, tetapi juga partai lain seperti Demokrat. Dia mengatakan, dengan keadaan tersebut, antara realitas politik dan harapan publik mengalami diskrepansu yag jauh.

 

“Publik berharap adanya regenerasi, tapi yang terjadi justru degenerasi atau gerontokrasi (pembusukan parpol),” tambahnya.

 

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati justru melihat mayoritas kader PDIP masih nyaman dengan tipe kepemimpinan ‘solidarity maker’ atau perekat solidaritas seperti yang dimiliki Megawati.

 

“Saya kira belum ada kader di PDIP yang memiliki level yang menyamai Megawati dalam konteks ‘solidarity maker’,” kata Mada, kemarin.

 

Menurut dia, model kepemimpinan yang mengutamakan solidaritas itu membuat faksi-faksi yang ada di partai berlambang moncong putih ini tidak terpecah.

 

“Jangan dikira di PDIP tidak ada faksi, ada sama seperti di Partai Golkar, namun faksionalisme itu bisa disatukan di bawah kepemimpinan ‘solidarity maker’,” katanya.

 

Selain itu, menurut dia, kekuatan ideologi juga menjadi salah satu faktor penting yang membedakan partai tersebut dengan partai lainnya. Ideologi itu rekat dengan sosok Soekarno yang juga tidak terpisahkan dari sosok Megawati.

 

Kendati demikian, menurut Mada, PDIP ke depan perlu menepis anggapan yang mencitrakan PDIP sebagai partai yang terlalu bergantung dengan sosok Megawati. Proses regenerasi, menurut dia, tetap diperlukan sebagai kebutuhan mendasar setiap organisasi politik.

 

“Untuk memunculkan penyegaran serta gebrakan baru, saya kira bisa dilakukan dengan regenerasi kepemimpinan,” kata dia.

 

Sehingga, menurut dia, meskipun pada Kongres PDIP ke-IV di Bali pada 9 April mendatang Megawati besar kemungkinan tetap akan didaulat kembali sebagai ketua umum periode 2015-2020, pada periode selanjutnya sebaiknya perlu dipersiapkan regenerasi yang matang.

 

“Saya kira jika pada Kongres IV Megawati kembali terpilih, pada periode berikutnya sebaiknya Megawati bisa legowo dengan mempersiapkan regenerasi secara matang,” katanya.

Menanggapi pertanyaan terkait hajatan besar lima tahunannya 8-12 April 2015, Ketua Steering Committee Kongres PDIP Eva Kusuma Sundari memastikan tidak akan ada pemilihan ketua umum, karena Megawati Soekarnoputri telah dipastikan akan kembali menjabatnya.

 

“Kami tidak mungkin anulir bu Mega dari ketum. Itu keputusan Rakernas PDIP 2014, kalo kami anulir lucu jadinya,” kata Eva, Kamis (26/3) pagi.

Menurut Eva, dalam agenda kongres mendatang, Megawati akan mengawali kepengurusan baru, termasuk memilih Sekretaris Jenderal. Dipastikan, kata Eva, tidak ada nama Puan Maharani di bursa Sekjen PDIP.

 

“Dalam rapat itu (posisi sekjen) jadi pembicaraan, masa kayak partai sebelah sih?” Sekjen sendiri beberapa kandidat masuk dalam radar pencarian, yaitu Hasto Kristyanto yang kini menjadi Plt Sekjen menggantikan Tjahjo Kumolo yang menjadi Menteri Dalam Negeri dan Wakil Sekjen PDIP Eriko Soratduga.

 

Eva pun menegaskan terkait pilihan untuk kembali menjadikan Megawati sebagai ketum adalah kewenangan internal partai, “Masyarakat harus tahu itu, selain ketua umum harus juga tahu bagaimana sikap politik PDIP saat ini.”

 

Lebih jauh, kongres di Bali adalah untuk menegaskan posisi partai sebagai partai pemerintah yang mendukung kepemimpinan saat ini. Namun, meski memberikan dukungan, kata Eva, PDIP akan tetap memberikan kritik keras terhadap pemerintah menyangkut kebijakan bagi rakyat.

 

“Semua di kongres akan melakukan penataan internal dan posisi partai disesuaikan dengan program pemerintah. Sesuai putusan politik, nawacita, dan Pancasila dengan basis trisakti,” ungkap Eva.

 

Sumut Komit ke Mega

 

Sementara itu, PDIP di Sumatera Utara menyampaikan komitmen untuk mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai satu-satunya calon Ketua Umum (Ketum) untuk lima tahun ke depan. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Sumut Japorman Saragih menyatakan komitmen mereka untuk Megawati, sesuai hasil keputusan rapat pimpinan nasional (Rapimnas) lalu.

“Kita tetap komitmen untuk Ibu Megawati, sesuai hasil putusan Rapimnas lalu dan sudah di deklarasikan bahwa untuk melanjutkan kepemimpinan ini, kita tetap konsisten kepada Ibu Megawati,” ujar Japorman, Kamis (26/3).

Dirinya pun mengklaim seluruh pengurus dan kader di kabupaten/kota se-Sumut juga sudah menyatakan komitmennya kembali mengusung Megawati. Sedangkan untuk wacana nama lain yakni Jokowi yang tidak lain adalah presiden RI saat ini, sebagai tokoh yang kemudian disebut memiliki kans untuk menjadi Ketum, Japorman membantah tegas hal itu.

“Itu tidak ada, itu kan hanya segelintir orang. Artinya mengapa berbicara soal kepemimpinan lagi. Padahal kan sudah jelas dideklarasikan di Semarang, bahwa untuk ketum, tetap Ibu Megawati, lima tahun ke depan,” sebutnya.

Menanggapi adanya wacana operasi senyap (silent operation) yang bisa menggoyang soliditas partai, Japorman juga ingin memastikan bahwa tidak ada komitmen lain selain untuk Megawati. Meskipun sejumlah partai lain, sedang didera konflik.

“Nggak-nggak, saya pikir nggak. Artinya kader tetap komit untuk Ibu megawati,” katanya.

Menurut Pengamat Politik Rudi Rajali Samosir, PDIP masih identik dengan ‘rohnya’ Soekarno yang kemudian dianggap turunannya adalah Megawati. Sehingga pola pandangnya tetap mengacu pada keluarga atau keturunan presiden RI pertama.

“Sehingga pola pandangnya masih harus keturunan,” sebutnya.

Sementara untuk popularitas Jokowi yang disebut bisa menyaingi Megawati. Status Jokowi di partai masih sebatas kader dan tidak menduduki posisi strategis untuk bisa menjadi pemimpin partai.

“Kalau di internal partai, Jokowi masih hanya sebatas kader. Tetapi mungkin transisinya di periode ini, tidak tahu bagaimana berikutnya. Bisa jadi wacana Soekarnois tidak lagi dipahami hanya sebatas keturunan oleh basis PDIP, melainkan pemikiran dan paham politik,” pungkasnya. (bbs/bal/val/rbb)

042642-505813-jokowi-dan-megawatiSUMUTPOS.CO- Kemenangan PDIP dalam Pemilu dan Pilpres 2014 tak dipungkiri buah tangan kader-kader yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang kuat. Megawati berhasil melakukan regenerasi kader, tapi belum berhasil membuat mereka menggantikan dia. Para pengamat mendesak regenerasi harus cepat dilakukan jika partai moncong putih ini tak ingin menjadi parpol kuno. Sebab parpol modern mensyaratkan adanya dinamisasi dalam kepemimpinan organisasi.      

“KITA akui proses kaderisasi di tubuh PDIP berjalan dengan baik. Maka tak heran, kini banyak kader-kader muda PDIP yang tampil ke publik dengan kesan kapasitas dan kapabilitas yang kuat,” kata pengajar politik dari Universitas Parahyangan, Bandung, Prof Asep Warlan Yusuf, Kamis (26/3).

 

Menurutnya, kini tinggal selangkah lagi bagi PDIP menjadi partai modern. Yaitu partai meritokratik dengan melepaskan diri dari kultur individu yang bisa menghambat pengkaderan.

 

“Sudah saatnya ada peralihan ketua umum. Bu Mega harus ditempatkan dalam posisi yang terhormat, dengan tidak lagi sibuk dengan urusan eksekutif partai. Bu Mega bisa ditempatkan sebagai semacam Dewan Pembina atau Dewan Pertimbangan yang menjadi alat pemersatu dan simbol ideologi,” jelas Asep.

 

Dengan posisi itu, Asep yakin, PDIP akan tetap solid, dan di saat yang sama menjadi partai modern yang ideologis. Peran dan fungsi Megawati bisa mengontrol kebijakan eksekutif partai. Sementara jabatan ketua umum bisa diserahkan kepada anak-anak muda.

 

“Bisa kepada Pramono Anung, Ganjar Pranowo, atau Tjahjo Kumolo. Mereka adalah kader-kader yang sudah terbukti dan teruji, serta mampu berkomunikasi dengan partai lain. Bu Mega ditempatkan secara terhormat sebagai mentor ketua umum nanti, siapapun di antara mereka,” tukas Asep.

 

Terkait survei Poltracking yang tak lagi menjagokan Megawati sebagai bos PDIP, pakar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk mengatakan, itu disebabkan kenyataan bahwa publik tidak menyukai dinasti kuasai partai politik.

 

“Kalau orang ini (trah Soekarno) cukup peka suara publik. Ternyata publik tidak menyukai dinasti. Capek kita melihat dinasti politik ini. Karena publik melihat dinasti lebih banyak mudarat daripara manfaat,” katanya kepada wartawan.

 

Psikis publik terhadap dinasti politik itu muncul, kata Hamdi, disebakan fakta bahwa dinasti politik selama ini seperti yang terjadi di Banten dan Bangkalan, Madura, hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat yang dipimpinnya dengan mengayakan kroni dan keluarganya sendiri.

 

Meskipun di luar negeri seperti trah Nehru di India dan trah Kennedy di Amerika Serikut berbeda dengan keluarga elit politik di Indonesia, di mana kompetensi keturunan keluarga itu tidak begitu jauh berbeda, sebab kematangan politik dan mentoring.

 

“Di Indonesia kondisinya berbeda, substansinya, masyarakat tidak happy dengan generasi politik,” imbuhnya.

 

Namun, Hamdi menjelaskan, dinasti politik tidak hanya terjadi pada PDIP, tetapi juga partai lain seperti Demokrat. Dia mengatakan, dengan keadaan tersebut, antara realitas politik dan harapan publik mengalami diskrepansu yag jauh.

 

“Publik berharap adanya regenerasi, tapi yang terjadi justru degenerasi atau gerontokrasi (pembusukan parpol),” tambahnya.

 

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati justru melihat mayoritas kader PDIP masih nyaman dengan tipe kepemimpinan ‘solidarity maker’ atau perekat solidaritas seperti yang dimiliki Megawati.

 

“Saya kira belum ada kader di PDIP yang memiliki level yang menyamai Megawati dalam konteks ‘solidarity maker’,” kata Mada, kemarin.

 

Menurut dia, model kepemimpinan yang mengutamakan solidaritas itu membuat faksi-faksi yang ada di partai berlambang moncong putih ini tidak terpecah.

 

“Jangan dikira di PDIP tidak ada faksi, ada sama seperti di Partai Golkar, namun faksionalisme itu bisa disatukan di bawah kepemimpinan ‘solidarity maker’,” katanya.

 

Selain itu, menurut dia, kekuatan ideologi juga menjadi salah satu faktor penting yang membedakan partai tersebut dengan partai lainnya. Ideologi itu rekat dengan sosok Soekarno yang juga tidak terpisahkan dari sosok Megawati.

 

Kendati demikian, menurut Mada, PDIP ke depan perlu menepis anggapan yang mencitrakan PDIP sebagai partai yang terlalu bergantung dengan sosok Megawati. Proses regenerasi, menurut dia, tetap diperlukan sebagai kebutuhan mendasar setiap organisasi politik.

 

“Untuk memunculkan penyegaran serta gebrakan baru, saya kira bisa dilakukan dengan regenerasi kepemimpinan,” kata dia.

 

Sehingga, menurut dia, meskipun pada Kongres PDIP ke-IV di Bali pada 9 April mendatang Megawati besar kemungkinan tetap akan didaulat kembali sebagai ketua umum periode 2015-2020, pada periode selanjutnya sebaiknya perlu dipersiapkan regenerasi yang matang.

 

“Saya kira jika pada Kongres IV Megawati kembali terpilih, pada periode berikutnya sebaiknya Megawati bisa legowo dengan mempersiapkan regenerasi secara matang,” katanya.

Menanggapi pertanyaan terkait hajatan besar lima tahunannya 8-12 April 2015, Ketua Steering Committee Kongres PDIP Eva Kusuma Sundari memastikan tidak akan ada pemilihan ketua umum, karena Megawati Soekarnoputri telah dipastikan akan kembali menjabatnya.

 

“Kami tidak mungkin anulir bu Mega dari ketum. Itu keputusan Rakernas PDIP 2014, kalo kami anulir lucu jadinya,” kata Eva, Kamis (26/3) pagi.

Menurut Eva, dalam agenda kongres mendatang, Megawati akan mengawali kepengurusan baru, termasuk memilih Sekretaris Jenderal. Dipastikan, kata Eva, tidak ada nama Puan Maharani di bursa Sekjen PDIP.

 

“Dalam rapat itu (posisi sekjen) jadi pembicaraan, masa kayak partai sebelah sih?” Sekjen sendiri beberapa kandidat masuk dalam radar pencarian, yaitu Hasto Kristyanto yang kini menjadi Plt Sekjen menggantikan Tjahjo Kumolo yang menjadi Menteri Dalam Negeri dan Wakil Sekjen PDIP Eriko Soratduga.

 

Eva pun menegaskan terkait pilihan untuk kembali menjadikan Megawati sebagai ketum adalah kewenangan internal partai, “Masyarakat harus tahu itu, selain ketua umum harus juga tahu bagaimana sikap politik PDIP saat ini.”

 

Lebih jauh, kongres di Bali adalah untuk menegaskan posisi partai sebagai partai pemerintah yang mendukung kepemimpinan saat ini. Namun, meski memberikan dukungan, kata Eva, PDIP akan tetap memberikan kritik keras terhadap pemerintah menyangkut kebijakan bagi rakyat.

 

“Semua di kongres akan melakukan penataan internal dan posisi partai disesuaikan dengan program pemerintah. Sesuai putusan politik, nawacita, dan Pancasila dengan basis trisakti,” ungkap Eva.

 

Sumut Komit ke Mega

 

Sementara itu, PDIP di Sumatera Utara menyampaikan komitmen untuk mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai satu-satunya calon Ketua Umum (Ketum) untuk lima tahun ke depan. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Sumut Japorman Saragih menyatakan komitmen mereka untuk Megawati, sesuai hasil keputusan rapat pimpinan nasional (Rapimnas) lalu.

“Kita tetap komitmen untuk Ibu Megawati, sesuai hasil putusan Rapimnas lalu dan sudah di deklarasikan bahwa untuk melanjutkan kepemimpinan ini, kita tetap konsisten kepada Ibu Megawati,” ujar Japorman, Kamis (26/3).

Dirinya pun mengklaim seluruh pengurus dan kader di kabupaten/kota se-Sumut juga sudah menyatakan komitmennya kembali mengusung Megawati. Sedangkan untuk wacana nama lain yakni Jokowi yang tidak lain adalah presiden RI saat ini, sebagai tokoh yang kemudian disebut memiliki kans untuk menjadi Ketum, Japorman membantah tegas hal itu.

“Itu tidak ada, itu kan hanya segelintir orang. Artinya mengapa berbicara soal kepemimpinan lagi. Padahal kan sudah jelas dideklarasikan di Semarang, bahwa untuk ketum, tetap Ibu Megawati, lima tahun ke depan,” sebutnya.

Menanggapi adanya wacana operasi senyap (silent operation) yang bisa menggoyang soliditas partai, Japorman juga ingin memastikan bahwa tidak ada komitmen lain selain untuk Megawati. Meskipun sejumlah partai lain, sedang didera konflik.

“Nggak-nggak, saya pikir nggak. Artinya kader tetap komit untuk Ibu megawati,” katanya.

Menurut Pengamat Politik Rudi Rajali Samosir, PDIP masih identik dengan ‘rohnya’ Soekarno yang kemudian dianggap turunannya adalah Megawati. Sehingga pola pandangnya tetap mengacu pada keluarga atau keturunan presiden RI pertama.

“Sehingga pola pandangnya masih harus keturunan,” sebutnya.

Sementara untuk popularitas Jokowi yang disebut bisa menyaingi Megawati. Status Jokowi di partai masih sebatas kader dan tidak menduduki posisi strategis untuk bisa menjadi pemimpin partai.

“Kalau di internal partai, Jokowi masih hanya sebatas kader. Tetapi mungkin transisinya di periode ini, tidak tahu bagaimana berikutnya. Bisa jadi wacana Soekarnois tidak lagi dipahami hanya sebatas keturunan oleh basis PDIP, melainkan pemikiran dan paham politik,” pungkasnya. (bbs/bal/val/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/