JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) M Mahfud MD buka suara setelah polemik penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah muncul.
Dia menyatakan, perwira TNI dan Polri aktif memiliki landasan untuk menjadi Pj Kepada awak media, Mahfud menyatakan, penugasan perwira TNI dan Polri aktif di luar induk institusi mereka telah diatur dalam undang-undang (UU). Mereka diperbolehkan bertugas di 10 kementerian dan lembaga (k/l). Termasuk Kemenko Polhukam dan Badan Intelijen Negara (BIN). “Itu boleh TNI bekerja di sana,” jelas Mahfud, kemarin (25/5).
Aturan tersebut lantas diperkuat dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal 20 menyebutkan bahwa anggota TNI dan Polri boleh masuk birokrasi sipil asal diberi jabatan struktural yang setara dengan tugasnya. Tidak sampai di situ, pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 11 Tahun 2017. “Di situ disebutkan TNI-Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dan diberi jabatan struktural yang setara,” tambahnya.
Mahfud tidak menampik soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, kata Mahfud, putusan itu sering kali disalahpahami. Menurut dia, putusan MK menyatakan dua hal. Pertama, TNI dan Polri aktif tidak boleh bekerja di institusi sipil, kecuali pada 10 k/l yang telah diatur UU. “Lalu kata MK, sepanjang anggota TNI dan Polri itu sudah diberi jabatan tinggi madya atau pratama, boleh, boleh menjadi penjabat kepala daerah,” tegas dia.
Mantan ketua MK itu meminta semua pihak membaca ulang putusan tersebut. “Coba dibaca putusannya dengan jernih,” imbuhnya. Karena itu, penunjukan Kepala BIN Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra As’adudin sebagai Pj bupati Seram Bagian Barat tidak perlu dipersoalkan.
Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana juga menegaskan, penetapan perwira tinggi (Pati) TNI aktif sebagai penjabat (Pj) Kepala Daerah dibenarkan secara regulasi. “UU Pilkada menyebutkan kriteria Pj. Gubernur adalah JPT Madya dan Pj. Bupati/Wali Kota adalah JPT Pratama. Jadi siapapun yang menduduki jabatan JPT Madya atau Pratama memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai Pj Gubernur atau Pj Bupati/Wali Kota,” jelas Bima dikutip dalam keterangan tertulis, Kamis (26/5).
Ia menjabarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 20 mengatur anggota TNI dan Polri boleh menduduki jabatan ASN. Pengisian Jabatan ASN oleh Anggota TNI/Polri diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Anggota Polri aktif juga dapat menjabat sebagai JPT Madya di instansi pemerintah sejauh bidang tugasnya berkesesuaian dengan bidang tugas di Polri dan mengikuti seleksi terbuka. Sedangkan untuk anggota TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan JPT Madya pada instansi di mana anggota TNI tersebut diperbolehkan,” terang Bima.
Anggota TNI dan Polri aktif, lanjutnya, juga berhak atas jabatan JPT Pratama di institusi yang diperbolehkan secara regulasi. Total ada 10 institusi yang diperbolehkan untuk diisi oleh Anggota TNI/Polri aktif. Dijelaskan Bima, Putusan MK menyatakan Anggota TNI dan Polri aktif yang menjabat sebagai JPT Madya atau JPT Pratama di luar institusi TNI/Polri pada sepuluh institusi Kementerian/Lembaga, misalnya di Kemenko Polhukam, di BIN, di BNN, di BNPT, dan lain-lain, diperbolehkan menjadi Pj. gubernur dan Pj. bupati/wali kota. “Kemudian ini disusul oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 di mana di situ disebutkan TNI-Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dan diberi jabatan struktural yang setara,” papar Bima.
Bima menambahkan, Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan, dalam Putusan MK tersebut ada dua hal yang disampaikan, salah satunya soal anggota TNI/Polri yang diberi jabatan madya atau pratama di luar induk institusinya boleh menjadi penjabat kepala daerah. “Dalam Putusan MK itu mengatakan dua hal, satu, TNI dan Polri tidak boleh bekerja di institusi sipil, terkecuali di dalam sepuluh institusi kementerian/lembaga yang selama ini sudah diatur. Lalu kata MK sepanjang anggota TNI dan Polri itu sudah diberi jabatan tinggi madya atau pratama boleh menjadi penjabat kepala daerah. Itu sudah putusan MK Nomor 15/2022,” jelas Bima mengutip penjelasan Mahfud.
“Sebenarnya realitanya aturan-aturan tersebut sudah digunakan sejak tahun 2017 untuk menetapkan penjabat kepala daerah yang daerah-daerahnya melaksanakan pilkada. Aturan tersebut sudah lama dijalankan,” sambung Bima.
Lebih lanjut, keputusan Mendagri Tito Karnavian menunjuk Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Pj, ditegaskan Bima tidak menyalahi aturan. Ia menyebut posisi Brigjen Andi sebagai Kepala BIN Daerah (Kabinda) Sulteng adalah JPT Pratama, dan ini sudah sesuai pasal 201 UU Pilkada.
“Meskipun Pj. Kepala Daerah adalah TNI/Polri aktif, tetapi terdapat pengaturan dan pengecualian bagi pejabat dimaksud karena menjabat pada instansi pemerintah yang dapat diduduki oleh TNI/Polri dalam Jabatan Pimpinan Tinggi,” ungkap Bima.
“Jadi dari kacamata manajemen ASN, tidak ada aturan yang dilanggar,” ujarnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan, dilantiknya Pj bupati berlatar belakang TNI aktif menambah preseden buruk. Hal tersebut menunjukkan tidak hormatnya pemerintah pada MK. “Kepatuhan penyelenggara negara pada putusan MK lemah,” ujarnya kemarin.
Feri mengakui, putusan MK mungkin tidak memuaskan bagi pemerintah. Namun, semestinya tidak menjadi pembenaran untuk mengakali putusan tersebut. Masyarakat sipil umumnya juga kerap tidak senang dengan putusan MK. Namun, apa pun harus dihormati. Menurut Feri, pembenaran yang disampaikan pemerintah hanya upaya berkilah.
Peneliti Pusako Universitas Andalas itu menegaskan, putusan MK sudah klir bahwa TNI dan Polri aktif bisa duduk di jabatan sipil dengan syarat mengundurkan diri. Syarat itu penting bukan hanya bagian dari supremasi sipil, melainkan juga sesuai UU TNI dan UUD 1945. Yakni, fungsi TNI dan Polri ada di keamanan dan pertahanan.
Kalaupun ada kesempatan ditugaskan di luar institusi TNI, terbatas pada 10 k/l lembaga yang diatur dalam pasal 47 UU TNI. Antara lain, kantor yang membidangi politik dan keamanan, intelijen negara, sandi negara, narkotika nasional, hingga SAR nasional. “Kalau penjabat kepala daerah tegas benderang dilarang,” tegasnya. (far/syn/c7/bay/jpc/dtc)