26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Heboh Isu "Geng Solo" Kuasai Polri, Betulkah?

Kapolda NTB, Irjen Pol Drs Nana Sudjana bersama mantan Kapolri, Jendral Pol M Tito Karavian.

SUMUTPOS.CO – Isu “Geng Solo” berembus sekaitan dengan penempatan personel di jabatan strategis Kepolsian Republik Indonesia. Isu tersebut awalnya diembuskan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane. Diketahui, “Geng Solo” yang dimaksud adalah para perwira Polri yang pernah bertugas dan menjabat di Solo, Jawa Tengah.

Berdasarkan rotasi anggota Polri dalam Surat Telegram 3330/XII/KEP./2019 tanggal 20 Desember 2019, yang ditanda tangani Kapolri. Dalam surat tersebut, Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono diangkat sebagai Wakapolri. Sedangkan posisi Kapolda Metro Jaya yang ditinggalkan Gatot diisi Kapolda NTB Irjen Nana Sunjana. Neta menyebut, selama ini, karir Nana terbilang biasa saja. Namun, Nana adalah Kapolresta Solo saat Joko Widodo menjabat Wali Kota Solo.

Dasar lain Neta adalah Irjen Sigit Listyo Prabowo yang pernah juga menjabat Kapolresta Solo, kini menjabat sebagai Kabareskrim. Selain nama tersebut, juga ada nama Wakapolda Jateng Brigjen Ahmad Lutfi yang juga pernah menjadi Kapolresta Solo.

Menanggapi hal tersebut, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menganggap tudingan Neta bukan saja berlebihan tapi juga harus diuji kevalidannya. Komisioner Kompolnas Andrea Poeloengan menegaskan, untuk bisa menduduki kursi Kapolda, seorang perwira Polri harus melalui sejumlah tahapan tidak mudah.“Untuk menjadi Kapolda harus melalui Wanjakti yang dipimpin oleh Wakapolri,” tuturnya, Senin (23/12).

Dalam penentuannya, Wanjakti juga tidak akan ceroboh dan tanpa memiliki pertimbangan dalam menunjuk seseorang. “Jadi ada pertimbangan yang matan memilih Irjen Nana jadi Kapolda Metro Jaya,” tegasnya.

Soal Nana yang pernah bersanding dengan Jokowi di Solo, menurutnya adalah hal yang wajar jika keduanya menjadi cukup dekat.

Sebaliknya, kedekatan Jokowi dan Nana itu menjadi bukti bahwa Forum Komunikasi Daerah (Forkominda) di Surakarta memang berjalan dengan sangat baik. Pun demikian pula dengan era Sigit Listyo Prabowo

“Pak Nana menjadi Kapolres, pada saat itu bisa bekerjasama dengan baik bersama wali kotanya. Itulah prestasi yang luar biasa yang jarang dinilai oleh banyak orang,” jelas Andrea.

Keterpaduan yang Berlanjut itu Wajar

Dalam perkembangannya, Polri juga dituntut bisa menyesuaikan tuntutan zaman. Seorang polisi, bukan saja harus piawai dalam menangani dan mengungkap kasus.

Kini, Polri juga dituntut menguasai dan bisa memanfaatkan secara maksimal teknologi yang ada agar menjadi polisi modern.

Akan tetapi, Polri juga dituntut tetap bisa menjalin kemitraan dan keterpaduan dengan berbagai pihak, bukan saja dengan mitra kerjanya.

Karena itu, ia menilai, dengan tetap menjaga keterpaduan dengan lembaga, instansi dan institusi lain, bisa menjadikan polisi modern guna mengakomodir harapan, kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

Polisi seperti itu pula yang sejak dua dekade silam sudah dikembangkan dan diterapkan di negara-negara maju.

“Di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat (AS), perspektif polisi modern sudah seperti itu,” ulas Andrea.

Menilik pada sejarah sinergitas Jokowi dan Nana saat di Solo, maka wajar pula jika kemudian Jokowi yang kini menjadi presiden melanjutkan sinergitas tersebut.

“Adalah hal yang wajar jika sekarang Nana dipercaya mantan wali kotanya, yang kebetulan sebagai presiden, untuk mengemban amanah strategis dalam tubuh Polri,” papar Andrea.

Sebaliknya, pihaknya mempertanyakan ucapan Neta soal ‘Geng Solo’ yang ia nilai cenderung diskriminatif. Hal itu bertentangan dengan Pasal 3 UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

“Membangun pemikiran pengkotak-kotakan tersebut berbahaya, dapat memecah belah NKRI,” tegasnya.

Diksi ‘Geng Solo’ Neta itu, patut diduga menunjukkan kebencian kepada orang yang berdasar pada ras dan etnis tertentu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf b UU Nomor 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dalam Pasal 16 disebutkan, bahwa sanksi yang bisa dijatuhkan adalah penjara lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.

Tiga Hal Penting

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menganalogikan isu ‘Geng Solo’ ini saat dirinya menjadi Panglima TNI.

Saat ia menjadi panglima, dirinya cederung memilih orang-orang yang dulu pernah bekerja bersamanya dan tentunya memiliki prestasi yang baik.

Orang-orang itu, kemudian ditempatkannya pada posisi yang memang dibutuhkannya.

“Saat jadi panglima, mereka-mereka ini bisa saya tunjuk sebagai asisten saya. Analoginya seperti itulah kira-kira,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/12).

Adalah sebuah hal yang mustahil apabila jabatan strategis, termasuk di Polri, diberikan kepada orang yang sembarangan.

Tentu saja, ada berbagai pertimbangan matang serta kalkulasi, bukan saja untuk mengetahui apakah calon tersebut memiliki kapasitas untuk mengemban tugas besar.

“Apakah memiliki loyalitas untuk bekerja, baik loyalitas kepada atasannya maupun kepada organisasi dan kepada negara. Yang ketiga adalah memiliki integritas” tuturnya.

Hal itulah yang kemudian menjadi perhatian dan pertimbangan seorang pemimpin untuk memilih pembantunya.

“Nggak mungkin sebuah jabatan yang sangat penting dipertaruhkan dengan cara-cara mendapatkan seseorang yang tidak terbukti hebat di lapangan,” tegasnya.

Ada Mekanismenya

Kadiv Humas Polri, Irjen Muhammad Iqbal pun tak ketinggalan angkat bicara terkait isu ‘Geng Solo’.

Mantan Wakapolda Jatim ini menegaskan, mutasi jabatan di tubuh korp baju coklat itu tidak dilakukan sembarangan, melainkan ada mekanisme yang berlaku.

“Dilihat rekam jejak dan lewat (pertimbangan) Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi),” kata Iqbal saat dihubungi, Rabu (25/12).

Seolah membalas Neta, Iqbal pun tegas membantah bahwa ada faksi-faksi di dalam tubuh Polri.

“Sama sekali tidak ada geng-gengan,” katanya.

Rekam Jejak Memang Tidak Populer

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir mengakui, Irjen Nana Sudjana memang bukan sosok perwira Polri yang namanya populer.

Akan tetapi, Adies meyakini, sosok pendiam tapi matang dan kaya pengalaman itu mampu menjalankan amanat sebagai Kapolda Metro Jaya.

Hal itu menilik pada rekam jejak Nana yang ikut terlibat langsung dalam mengamankan Ibu Kota di masa gejolak politik 1998 sampai pasca reformasi.

“Beliau bertangan dingin dan matang karena menjadi pelaku langsung yang mengawal ibu kota (Jakarta) di tengah dinamika politik yang sangat berisik,” kata Adies di Jakarta, Rabu (25/12).

Adies menambahkan, memang Nana bukan sosok polisi populer. Sebab, polisi asal Cirebon, Jawa Barat itu lama berkarier sebagai intel.

Namun, justru itulah yang membuat Nana matang di bidang intelijen. Nana merupakan kepala Satuan Intelijen Keamanan (Intelkam) Polda Metro Jaya pada masa reformasi. Pascareformasi, Nana dipercaya menjabat direktur Intelkam Polda Metro Jaya. Nana juga pernah menjadi Analis Utama Tingkat III Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri.

Selanjutnya Nana dipercaya memimpin Direktorat Intelkam Polda Jateng. Setelah itu dia ditarik ke Jakarta menjadi Analis Utama Tingkat I Baintelkam Polri.

Karier Nana berlanjut sebagai Analis Kebijakan Madya Bidang Ekonomi Baintelkam Polri. Pada 2014 Nana kembali ke daerah menjadi direktur Intelkam Polda Jatim.

Pada 2016 Nana memimpin Direktorat Politik Baintelkam Polri. Karier Nana menanjak dan dipercaya menjadi Kapolda NTB pada 2019.

Hingga akhirnya Nana secara resmi pada 20 Desember 2019 memimpin Polda Metro Jaya.

Dengan rekam jejak tersebut, politisi Partai Golkar ini yakin Nana adalah figur tepat untuk menjaga stabilitas dan iklim investasi di DKI dan sekitarnya.

“Saya berharap Kapolda Metro yang baru ini dapat bekerja lebih baik lagi untuk menjaga keamanan dan kenyamanan seluruh warga Kota Jakarta tanpa pandang bulu,” ujarnya.

Anggap saja Angin

Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menilai, isu ‘Geng Solo’ sejatinya tak usah digubris. Pasalnya, penunjukan Irjen Nana Sudjana sebagai kapolda Metro Jaya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“(Geng Solo) Tidak usah dibesar-besarkan, tidak usah direspons. Anggap saja itu angin biasa di alam politik,” kata Margarito kepada wartawan, Kamis (26/12).

Dia menjelaskan, setiap keputusan Kapolri pasti dibuat melalui prosedur yang sah. Termasuk soal rotasi jabatan di internal Polri.

Setiap pejabat yang diangkat oleh kapolri diasumsikan sudah memenuhi syarat hukum dan kualifikasi teknis untuk jabatan tersebut.

“Saya tahu dan dapat memahami dinamika setiap pengangkatan seseorang menduduki jabatan, itu dinamika sangat biasa,” ujarnya.

“Tapi secara hukum itu tidak penting, karena tidak ada isu yang dalam dinamika itu tidak dapat diverifikasi secara empiris,” jelasnya.

Margarito meyakini, Wanjakti dan Kapolri Jenderal Idham Azis pasti memiliki catatan positif untuk menunjuk Irjen Nana menjadi kapolda Metro Jaya.

Maka, Nana harus bisa memastikan Jakarta menjadi nyaman bagi semua orang.

Hanya saja, ia mengingatkan Nana agar jangan bertindak aneh-aneh selama menjadi kapolda di Jakarta.

Sebab, Jakarta adalah tempat Indonesia menyelengarakan pemerintahan, termasuk dunia menempatkan diplomatnya.

“Jakarta juga barometer sejumlah soal dalam kehidupan nasional. Nana harus dapat secara nyata tunjukan dan pastikan dia kapabel untuk semua pihak,” pungkasnya. (bbs)

Kapolda NTB, Irjen Pol Drs Nana Sudjana bersama mantan Kapolri, Jendral Pol M Tito Karavian.

SUMUTPOS.CO – Isu “Geng Solo” berembus sekaitan dengan penempatan personel di jabatan strategis Kepolsian Republik Indonesia. Isu tersebut awalnya diembuskan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane. Diketahui, “Geng Solo” yang dimaksud adalah para perwira Polri yang pernah bertugas dan menjabat di Solo, Jawa Tengah.

Berdasarkan rotasi anggota Polri dalam Surat Telegram 3330/XII/KEP./2019 tanggal 20 Desember 2019, yang ditanda tangani Kapolri. Dalam surat tersebut, Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono diangkat sebagai Wakapolri. Sedangkan posisi Kapolda Metro Jaya yang ditinggalkan Gatot diisi Kapolda NTB Irjen Nana Sunjana. Neta menyebut, selama ini, karir Nana terbilang biasa saja. Namun, Nana adalah Kapolresta Solo saat Joko Widodo menjabat Wali Kota Solo.

Dasar lain Neta adalah Irjen Sigit Listyo Prabowo yang pernah juga menjabat Kapolresta Solo, kini menjabat sebagai Kabareskrim. Selain nama tersebut, juga ada nama Wakapolda Jateng Brigjen Ahmad Lutfi yang juga pernah menjadi Kapolresta Solo.

Menanggapi hal tersebut, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menganggap tudingan Neta bukan saja berlebihan tapi juga harus diuji kevalidannya. Komisioner Kompolnas Andrea Poeloengan menegaskan, untuk bisa menduduki kursi Kapolda, seorang perwira Polri harus melalui sejumlah tahapan tidak mudah.“Untuk menjadi Kapolda harus melalui Wanjakti yang dipimpin oleh Wakapolri,” tuturnya, Senin (23/12).

Dalam penentuannya, Wanjakti juga tidak akan ceroboh dan tanpa memiliki pertimbangan dalam menunjuk seseorang. “Jadi ada pertimbangan yang matan memilih Irjen Nana jadi Kapolda Metro Jaya,” tegasnya.

Soal Nana yang pernah bersanding dengan Jokowi di Solo, menurutnya adalah hal yang wajar jika keduanya menjadi cukup dekat.

Sebaliknya, kedekatan Jokowi dan Nana itu menjadi bukti bahwa Forum Komunikasi Daerah (Forkominda) di Surakarta memang berjalan dengan sangat baik. Pun demikian pula dengan era Sigit Listyo Prabowo

“Pak Nana menjadi Kapolres, pada saat itu bisa bekerjasama dengan baik bersama wali kotanya. Itulah prestasi yang luar biasa yang jarang dinilai oleh banyak orang,” jelas Andrea.

Keterpaduan yang Berlanjut itu Wajar

Dalam perkembangannya, Polri juga dituntut bisa menyesuaikan tuntutan zaman. Seorang polisi, bukan saja harus piawai dalam menangani dan mengungkap kasus.

Kini, Polri juga dituntut menguasai dan bisa memanfaatkan secara maksimal teknologi yang ada agar menjadi polisi modern.

Akan tetapi, Polri juga dituntut tetap bisa menjalin kemitraan dan keterpaduan dengan berbagai pihak, bukan saja dengan mitra kerjanya.

Karena itu, ia menilai, dengan tetap menjaga keterpaduan dengan lembaga, instansi dan institusi lain, bisa menjadikan polisi modern guna mengakomodir harapan, kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

Polisi seperti itu pula yang sejak dua dekade silam sudah dikembangkan dan diterapkan di negara-negara maju.

“Di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat (AS), perspektif polisi modern sudah seperti itu,” ulas Andrea.

Menilik pada sejarah sinergitas Jokowi dan Nana saat di Solo, maka wajar pula jika kemudian Jokowi yang kini menjadi presiden melanjutkan sinergitas tersebut.

“Adalah hal yang wajar jika sekarang Nana dipercaya mantan wali kotanya, yang kebetulan sebagai presiden, untuk mengemban amanah strategis dalam tubuh Polri,” papar Andrea.

Sebaliknya, pihaknya mempertanyakan ucapan Neta soal ‘Geng Solo’ yang ia nilai cenderung diskriminatif. Hal itu bertentangan dengan Pasal 3 UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

“Membangun pemikiran pengkotak-kotakan tersebut berbahaya, dapat memecah belah NKRI,” tegasnya.

Diksi ‘Geng Solo’ Neta itu, patut diduga menunjukkan kebencian kepada orang yang berdasar pada ras dan etnis tertentu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf b UU Nomor 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dalam Pasal 16 disebutkan, bahwa sanksi yang bisa dijatuhkan adalah penjara lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.

Tiga Hal Penting

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menganalogikan isu ‘Geng Solo’ ini saat dirinya menjadi Panglima TNI.

Saat ia menjadi panglima, dirinya cederung memilih orang-orang yang dulu pernah bekerja bersamanya dan tentunya memiliki prestasi yang baik.

Orang-orang itu, kemudian ditempatkannya pada posisi yang memang dibutuhkannya.

“Saat jadi panglima, mereka-mereka ini bisa saya tunjuk sebagai asisten saya. Analoginya seperti itulah kira-kira,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/12).

Adalah sebuah hal yang mustahil apabila jabatan strategis, termasuk di Polri, diberikan kepada orang yang sembarangan.

Tentu saja, ada berbagai pertimbangan matang serta kalkulasi, bukan saja untuk mengetahui apakah calon tersebut memiliki kapasitas untuk mengemban tugas besar.

“Apakah memiliki loyalitas untuk bekerja, baik loyalitas kepada atasannya maupun kepada organisasi dan kepada negara. Yang ketiga adalah memiliki integritas” tuturnya.

Hal itulah yang kemudian menjadi perhatian dan pertimbangan seorang pemimpin untuk memilih pembantunya.

“Nggak mungkin sebuah jabatan yang sangat penting dipertaruhkan dengan cara-cara mendapatkan seseorang yang tidak terbukti hebat di lapangan,” tegasnya.

Ada Mekanismenya

Kadiv Humas Polri, Irjen Muhammad Iqbal pun tak ketinggalan angkat bicara terkait isu ‘Geng Solo’.

Mantan Wakapolda Jatim ini menegaskan, mutasi jabatan di tubuh korp baju coklat itu tidak dilakukan sembarangan, melainkan ada mekanisme yang berlaku.

“Dilihat rekam jejak dan lewat (pertimbangan) Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi),” kata Iqbal saat dihubungi, Rabu (25/12).

Seolah membalas Neta, Iqbal pun tegas membantah bahwa ada faksi-faksi di dalam tubuh Polri.

“Sama sekali tidak ada geng-gengan,” katanya.

Rekam Jejak Memang Tidak Populer

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir mengakui, Irjen Nana Sudjana memang bukan sosok perwira Polri yang namanya populer.

Akan tetapi, Adies meyakini, sosok pendiam tapi matang dan kaya pengalaman itu mampu menjalankan amanat sebagai Kapolda Metro Jaya.

Hal itu menilik pada rekam jejak Nana yang ikut terlibat langsung dalam mengamankan Ibu Kota di masa gejolak politik 1998 sampai pasca reformasi.

“Beliau bertangan dingin dan matang karena menjadi pelaku langsung yang mengawal ibu kota (Jakarta) di tengah dinamika politik yang sangat berisik,” kata Adies di Jakarta, Rabu (25/12).

Adies menambahkan, memang Nana bukan sosok polisi populer. Sebab, polisi asal Cirebon, Jawa Barat itu lama berkarier sebagai intel.

Namun, justru itulah yang membuat Nana matang di bidang intelijen. Nana merupakan kepala Satuan Intelijen Keamanan (Intelkam) Polda Metro Jaya pada masa reformasi. Pascareformasi, Nana dipercaya menjabat direktur Intelkam Polda Metro Jaya. Nana juga pernah menjadi Analis Utama Tingkat III Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri.

Selanjutnya Nana dipercaya memimpin Direktorat Intelkam Polda Jateng. Setelah itu dia ditarik ke Jakarta menjadi Analis Utama Tingkat I Baintelkam Polri.

Karier Nana berlanjut sebagai Analis Kebijakan Madya Bidang Ekonomi Baintelkam Polri. Pada 2014 Nana kembali ke daerah menjadi direktur Intelkam Polda Jatim.

Pada 2016 Nana memimpin Direktorat Politik Baintelkam Polri. Karier Nana menanjak dan dipercaya menjadi Kapolda NTB pada 2019.

Hingga akhirnya Nana secara resmi pada 20 Desember 2019 memimpin Polda Metro Jaya.

Dengan rekam jejak tersebut, politisi Partai Golkar ini yakin Nana adalah figur tepat untuk menjaga stabilitas dan iklim investasi di DKI dan sekitarnya.

“Saya berharap Kapolda Metro yang baru ini dapat bekerja lebih baik lagi untuk menjaga keamanan dan kenyamanan seluruh warga Kota Jakarta tanpa pandang bulu,” ujarnya.

Anggap saja Angin

Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menilai, isu ‘Geng Solo’ sejatinya tak usah digubris. Pasalnya, penunjukan Irjen Nana Sudjana sebagai kapolda Metro Jaya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“(Geng Solo) Tidak usah dibesar-besarkan, tidak usah direspons. Anggap saja itu angin biasa di alam politik,” kata Margarito kepada wartawan, Kamis (26/12).

Dia menjelaskan, setiap keputusan Kapolri pasti dibuat melalui prosedur yang sah. Termasuk soal rotasi jabatan di internal Polri.

Setiap pejabat yang diangkat oleh kapolri diasumsikan sudah memenuhi syarat hukum dan kualifikasi teknis untuk jabatan tersebut.

“Saya tahu dan dapat memahami dinamika setiap pengangkatan seseorang menduduki jabatan, itu dinamika sangat biasa,” ujarnya.

“Tapi secara hukum itu tidak penting, karena tidak ada isu yang dalam dinamika itu tidak dapat diverifikasi secara empiris,” jelasnya.

Margarito meyakini, Wanjakti dan Kapolri Jenderal Idham Azis pasti memiliki catatan positif untuk menunjuk Irjen Nana menjadi kapolda Metro Jaya.

Maka, Nana harus bisa memastikan Jakarta menjadi nyaman bagi semua orang.

Hanya saja, ia mengingatkan Nana agar jangan bertindak aneh-aneh selama menjadi kapolda di Jakarta.

Sebab, Jakarta adalah tempat Indonesia menyelengarakan pemerintahan, termasuk dunia menempatkan diplomatnya.

“Jakarta juga barometer sejumlah soal dalam kehidupan nasional. Nana harus dapat secara nyata tunjukan dan pastikan dia kapabel untuk semua pihak,” pungkasnya. (bbs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/