26.7 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

Bebas Rayakan Tahun Baru, Tidak Ada Pembatasan Kerumunan pada Malam Pergantian Tahun

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan khusus untuk mengantisipasi kerumunan pada malam Tahun Baru 2023, seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan agar tidak ada pembatasan bagi masyarakat saat merayakan Natal 2022 dan Tahun Baru 2023. Karenanya, masyarakat boleh merayakan malam pergantian tahun secara normal.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy memastikan, tak ada aturan khusus dalam perayaan Tahun Baru 2023. “Enggak ada. Kebijakannya bergembiralah di tempat wisata,” kata Muhadjir ditemui usai Rapat Tingkat Menteri Penyusunan Perpres tentang Penguatan Pendampingan Pembangunan di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, kemarin (27/12).

Kendati demikian, Muhadjir meminta masyarakat untuk tetap hati-hati dan mengikuti protokol kesehatan (prokes). Mengingat, masih dalam masa pandemi Covid-19.

Menurutnya, pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah untuk menghadapi malam perayaan Tahun Baru 2023. Sehingga harapannya, perayaan malam Tahun Baru 2023 dapat berjalan lancar seperti perayaan Natal lalu. “Alhamdulilah ini kan Natal sudah kita lalui, alhamdulilah berjalan lancar, hanya ada gangguan alam yang itu memang tidak bisa kita hindari. Tapi secara umum kan baik. Mudah-mudahan untuk Tahun Baru semakin baik,” pungkas Mantan Mendikbud tersebut.

Sementara, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta pemerintah daerah (pemda) mengantisipasi agar tragedi malam Halloween yang terjadi di Itaewon, Korea Selatan, tak terjadi di Tanah Air. Terutama, saat perayaan tahun baru nanti. Tito mengatakan, momen selama Natal dan tahun baru memiliki kerawanan. Baik dari sisi keamanan maupun stabilitas ekonomi. ‘’Perlu dilakukan langkah-langkah untuk menjaga Natal dan Tahun Baru itu aman, nyaman, damai, dan terkendali,’’ ujarnya, kemarin (26/12).

Mendagri melanjutkan, kegiatan masyarakat di tempat-tempat keramaian harus menjadi fokus utama. Hal ini untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. Misalnya peristiwa Itaewon yang menyebabkan 158 korban jiwa.

Untuk itu, dia memerintahkan stakeholder terkait melakukan indentifikasi dan inventarisasi daerah rawan tersebut. Sehingga kerumunan bisa terkendali. ‘’Kita sudah lama tidak kumpul-kumpul, terutama yang anak-anak muda. Jadi jangan sampai terjadi (korban jiwa),’’ ucapnya.

Bahkan, mantan Kapolri itu menyarankan larangan penggunaan petasan. Khusunya yang berpotensi menimbulkan ledakan besar. Sebab rawan kebakaran yang bisa menimbulkan korban manusia maupun barang. ‘’Kami kira petasan lebih baik kita larang, kembang api boleh tapi terbatas, jangan sampai jor-joran, kemudian terjadi kebakaran,’’ tambahnya.

PPKM Bakal Dicabut Pekan Depan

Sementara, antisipasi penyebaran pandemi yang dilakukan lewat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) masih dilakukan hingga hari ini. Rencananya, pemerintah bakal mencabut program itu minggu depan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, PPKM bakal dicabut minggu depan atau awal 2023. Salah satu pertimbangannya, karena kasus Covid-19 di Indonesia mulai melandai. “Berbagai kota sudah masuk kategori PPKM level 1 atau kategori penyebaran Covid-19 terendah. Sebentar lagi nggak ada PPKM karena di Indonesia hampir semuanya level 1. Mungkin (diterapkan) awal Januari,” tutur Mahfud MD saat ditemui di Surabaya, Selasa (27/12). Meski demikian, Mahfud MD belum bisa memastikan kapan dan bagaimana teknis pencabutannya. Sebab sejauh ini, pihaknya masih belum melakukan kajian pemberhentian PPKM. “Saya (kajian pemberhentian dari segi) politiknya saja,” ungkap Mahfud MD.

Menyikapi rencana penghentian PPKM, epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menilai, hal tersebut memang dimungkinkan. Namun, Dicky meminta agar keputusan pencabutan PPKM diambil dengan melihat kondisi setelah Natal dan Tahun Baru (Nataru), serta mempertimbangkan kondisi penyebaran Covid-19 di negara lain. “Dicabutnya (PPKM) nanti setelah Nataru, itu pun jika situasi di Tiongkok tidak semakin buruk dan tidak ada varian baru yang berbahaya,” kata Dicky.

Dicky juga menyampaikan, bila nantinya kebijakan PPKM dicabut, bukan berarti status pandemi Covid-19 akan berubah menjadi endemi. Bahkan berkaca dari kasus virus H1N1, butuh waktu hingga dua dekade untuk mengubah status H1N1 dari pandemi menjadi endemi. “Artinya memang tidak bisa terlalu cepat juga (menjadi endemi) karena ini bicara virus yang baru, terus bermutasi, punya kemampuan menginfeksi dan menginfeksi lagi, menurunkan antibodi juga. Ini yang membuat dia terus bermutasi, menurunkan proteksi yang ada di masyarakat. Artinya kematian terus ada,” ujarnya.

Endemi sendiri secara sederhana didefinisikan sebagai situasi yang stabil dan bisa diprediksi. Dalam konteks Covid-19, menurut Dicky syarat tersebut belum terpenuhi. Bahkan di Tiongkok, kasus covid saat ini masih menjadi “tsunami”. “Tetapi itu bukan berarti bahwa status pandemi akan terus lama, enggak juga. Karena kan yang penting itu statusnya sudah bisa dikatakan relatif tidak membebani fasilitas kesehatan, relatif bisa dikendalikan. Kesakitan dan kematian tetap ada, tetapi kecil. Nah, itu artinya sebetulnya bisa mengarah pada pencabutan status public health emergency international concern-nya. Tetapi nanti kalau bicara PPKM berakhir, ya tidak otomatis menjadi endemi. Endemi itu tidak ikut statusnya pemerintah,” kata Dicky.

Menurutnya, endemi tidak hanya terkait dengan intervensinya, tetapi juga karakter dari virusnya. “Kalau bicara ciri khas dari suatu penyakit dari yang tadinya pandemi kemudian menjadi endemi, itu umumnya tidak otomatis. Ada jeda 5, 10 sampai 20 tahun. Kalau dalam konteks Covid-19, saya kira ini bisa menyamai H1N1 yang dua dekade kurang lebih,” kata Dicky.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, Indonesia akan segera mengakhiri kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Menurut Jokowi, diperkirakan kebijakan tersebut akan diakhiri pada akhir tahun ini.

Presiden mengatakan, saat ini penanganan kasus pandemi Covid-19 di Indonesia sudah dapat dikendalikan dengan baik. Terbukti kasus positif dari yang jumlahnya mencapai puluhan ribu dan terakhir hanya di angka 1.200 per hari. “Hari ini, kemarin, kasus harian kita berada di angka 1.200 dan mungkin nanti akhir tahun kita akan menyatakan berhenti PSBB, PPKM kita,” kata Jokowi dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023, Rabu (21/12) lalu. (jpc/far/bay/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan khusus untuk mengantisipasi kerumunan pada malam Tahun Baru 2023, seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan agar tidak ada pembatasan bagi masyarakat saat merayakan Natal 2022 dan Tahun Baru 2023. Karenanya, masyarakat boleh merayakan malam pergantian tahun secara normal.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy memastikan, tak ada aturan khusus dalam perayaan Tahun Baru 2023. “Enggak ada. Kebijakannya bergembiralah di tempat wisata,” kata Muhadjir ditemui usai Rapat Tingkat Menteri Penyusunan Perpres tentang Penguatan Pendampingan Pembangunan di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, kemarin (27/12).

Kendati demikian, Muhadjir meminta masyarakat untuk tetap hati-hati dan mengikuti protokol kesehatan (prokes). Mengingat, masih dalam masa pandemi Covid-19.

Menurutnya, pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah untuk menghadapi malam perayaan Tahun Baru 2023. Sehingga harapannya, perayaan malam Tahun Baru 2023 dapat berjalan lancar seperti perayaan Natal lalu. “Alhamdulilah ini kan Natal sudah kita lalui, alhamdulilah berjalan lancar, hanya ada gangguan alam yang itu memang tidak bisa kita hindari. Tapi secara umum kan baik. Mudah-mudahan untuk Tahun Baru semakin baik,” pungkas Mantan Mendikbud tersebut.

Sementara, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta pemerintah daerah (pemda) mengantisipasi agar tragedi malam Halloween yang terjadi di Itaewon, Korea Selatan, tak terjadi di Tanah Air. Terutama, saat perayaan tahun baru nanti. Tito mengatakan, momen selama Natal dan tahun baru memiliki kerawanan. Baik dari sisi keamanan maupun stabilitas ekonomi. ‘’Perlu dilakukan langkah-langkah untuk menjaga Natal dan Tahun Baru itu aman, nyaman, damai, dan terkendali,’’ ujarnya, kemarin (26/12).

Mendagri melanjutkan, kegiatan masyarakat di tempat-tempat keramaian harus menjadi fokus utama. Hal ini untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. Misalnya peristiwa Itaewon yang menyebabkan 158 korban jiwa.

Untuk itu, dia memerintahkan stakeholder terkait melakukan indentifikasi dan inventarisasi daerah rawan tersebut. Sehingga kerumunan bisa terkendali. ‘’Kita sudah lama tidak kumpul-kumpul, terutama yang anak-anak muda. Jadi jangan sampai terjadi (korban jiwa),’’ ucapnya.

Bahkan, mantan Kapolri itu menyarankan larangan penggunaan petasan. Khusunya yang berpotensi menimbulkan ledakan besar. Sebab rawan kebakaran yang bisa menimbulkan korban manusia maupun barang. ‘’Kami kira petasan lebih baik kita larang, kembang api boleh tapi terbatas, jangan sampai jor-joran, kemudian terjadi kebakaran,’’ tambahnya.

PPKM Bakal Dicabut Pekan Depan

Sementara, antisipasi penyebaran pandemi yang dilakukan lewat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) masih dilakukan hingga hari ini. Rencananya, pemerintah bakal mencabut program itu minggu depan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, PPKM bakal dicabut minggu depan atau awal 2023. Salah satu pertimbangannya, karena kasus Covid-19 di Indonesia mulai melandai. “Berbagai kota sudah masuk kategori PPKM level 1 atau kategori penyebaran Covid-19 terendah. Sebentar lagi nggak ada PPKM karena di Indonesia hampir semuanya level 1. Mungkin (diterapkan) awal Januari,” tutur Mahfud MD saat ditemui di Surabaya, Selasa (27/12). Meski demikian, Mahfud MD belum bisa memastikan kapan dan bagaimana teknis pencabutannya. Sebab sejauh ini, pihaknya masih belum melakukan kajian pemberhentian PPKM. “Saya (kajian pemberhentian dari segi) politiknya saja,” ungkap Mahfud MD.

Menyikapi rencana penghentian PPKM, epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menilai, hal tersebut memang dimungkinkan. Namun, Dicky meminta agar keputusan pencabutan PPKM diambil dengan melihat kondisi setelah Natal dan Tahun Baru (Nataru), serta mempertimbangkan kondisi penyebaran Covid-19 di negara lain. “Dicabutnya (PPKM) nanti setelah Nataru, itu pun jika situasi di Tiongkok tidak semakin buruk dan tidak ada varian baru yang berbahaya,” kata Dicky.

Dicky juga menyampaikan, bila nantinya kebijakan PPKM dicabut, bukan berarti status pandemi Covid-19 akan berubah menjadi endemi. Bahkan berkaca dari kasus virus H1N1, butuh waktu hingga dua dekade untuk mengubah status H1N1 dari pandemi menjadi endemi. “Artinya memang tidak bisa terlalu cepat juga (menjadi endemi) karena ini bicara virus yang baru, terus bermutasi, punya kemampuan menginfeksi dan menginfeksi lagi, menurunkan antibodi juga. Ini yang membuat dia terus bermutasi, menurunkan proteksi yang ada di masyarakat. Artinya kematian terus ada,” ujarnya.

Endemi sendiri secara sederhana didefinisikan sebagai situasi yang stabil dan bisa diprediksi. Dalam konteks Covid-19, menurut Dicky syarat tersebut belum terpenuhi. Bahkan di Tiongkok, kasus covid saat ini masih menjadi “tsunami”. “Tetapi itu bukan berarti bahwa status pandemi akan terus lama, enggak juga. Karena kan yang penting itu statusnya sudah bisa dikatakan relatif tidak membebani fasilitas kesehatan, relatif bisa dikendalikan. Kesakitan dan kematian tetap ada, tetapi kecil. Nah, itu artinya sebetulnya bisa mengarah pada pencabutan status public health emergency international concern-nya. Tetapi nanti kalau bicara PPKM berakhir, ya tidak otomatis menjadi endemi. Endemi itu tidak ikut statusnya pemerintah,” kata Dicky.

Menurutnya, endemi tidak hanya terkait dengan intervensinya, tetapi juga karakter dari virusnya. “Kalau bicara ciri khas dari suatu penyakit dari yang tadinya pandemi kemudian menjadi endemi, itu umumnya tidak otomatis. Ada jeda 5, 10 sampai 20 tahun. Kalau dalam konteks Covid-19, saya kira ini bisa menyamai H1N1 yang dua dekade kurang lebih,” kata Dicky.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, Indonesia akan segera mengakhiri kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Menurut Jokowi, diperkirakan kebijakan tersebut akan diakhiri pada akhir tahun ini.

Presiden mengatakan, saat ini penanganan kasus pandemi Covid-19 di Indonesia sudah dapat dikendalikan dengan baik. Terbukti kasus positif dari yang jumlahnya mencapai puluhan ribu dan terakhir hanya di angka 1.200 per hari. “Hari ini, kemarin, kasus harian kita berada di angka 1.200 dan mungkin nanti akhir tahun kita akan menyatakan berhenti PSBB, PPKM kita,” kata Jokowi dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023, Rabu (21/12) lalu. (jpc/far/bay/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/