JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Anton Medan menyampaikan sejumlah kritikan terhadap razia yang belakangan gencar dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) daerah di sejumlah lembaga pemasyarakatan (Lapas), yang di beberapa diantaranya diwarnai kericuhan. Bahkan, di Rutan Malabero, Kota Bengkulu, Jumat (25/3) pekan lalu, napi mengamuk dengan membakar lapas.
Sedang razia di LP Klas II B Lubukpakam Kamis (24/3), juga sempat terjadi kericuhan. Menurut mantan penjahat kelas kakap yang kini menjadi penceramah kondang itu, langkah razia yang dilakukan ketika kondisi lapas masih memprihatinkan, terutama over capacity, sangat gampang memicu kemarahan para napi.
“Di saat mereka tidur berdesak-desakan, panas karena tidak ada kipas angin, tidak ada jendela, bahkan mungkin tidurnya sambil jongkok, dibangunkan oleh razia. Mereka marah,” ujar pria kelahiran Tebingtinggi, 10 Oktober 1957 ini kepada Sumut Pos, Senin (28/3).
Dia mengatakan, kondisi napi di hampir semua Lapas di Indonesia saat ini memang sangat memprihatinkan. Banyak di antaranya, satu kamar sel yang mestinya untuk 7 napi, diisi hingga 30 napi.
“Pengab, berpanas-panasan selama bertahun-tahun. Sudah pasti mereka gampang emosi,” ucapnya.
“Lapas Lubukpakam, Gunung Sitoli, Pancurbatu, Tanjunggusta, semua sama, over kapasitas, semua rawan kerusuhan,” imbuhnya lagi.
Terkait fakta bahwa mayoritas Lapas dihuni napi kasus narkoba, pemilik nama asli Tan Hok Liang itu juga menyalahkan pemerintah. Yakni terkait penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.
PP yang diterbitkan di era Menkumham Denny Indrayana itu, lanjutnya, membuat jumlah napi narkoba terus menumpuk. Pasalnya, PP tersebut melarang pemberian remisi bagi napi bandar narkoba.
“Itulah aturan yang dibuat seorang akademisi, orang LSM. Tidak paham bahwa sekarang tidak lagi pakai istilah penjara, tapi lembaga pemasyaraktan. Bukan hukuman tapi pembinaan. Pembinaan itu tak boleh diskriminatif (semua napi berhak mendapat remisi, red),” ujar ustad yang kini punya 1.400-an anak binaan, yang sebagian mantan preman dan pengguna narkoba.
Anton mengaku sudah meminta Menkumham, sejak dijabat Amir Syamsuddin, Patrialis Akbar, dan Yassona Laoly, untuk mencabut PP tersebut. Sayangnya, hingga saat ini belum juga dicabut atau direvisi.
Hal lain adalah masalah rasio sipir dengan jumlah warga binaan. Termasuk juga sistem rekrutmen petugas jaga itu.
“Bayangkan, ada penjara yang diisi seribu orang hanya dijaga tujuh orang. Yang dijaga itu penjahat, preman, orang-orang pintar tapi tak bener,” ucapnya.
Yang lebih ngeri lagi, lanjutnya, petugas jaganya mayoritas tidak dibekali ilmu bagaimana menghadapi orang-orang yang hidup di penjara. “Lulus SMA direkrut, tidak dilatih dulu, langsung ditugaskan jaga LP. Bagaimana dia bisa menghadapi warga binaan?” cetusnya lagi.
Sekali lagi, Anton mengingatkan agar razia yang dilakukan di lapas-lapas di Indonesia, dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi. Para petugas yang melakukan razia harus paham betul kondisi psikologis para warga binaan yang gampang tersulut emosinya.
“Karena tanpa ada razia, kondisi mereka di dalam sudah cukup panas, secara fisik dan emosi,” pungkasnya. (sam)