25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Rentan Cerai Gatot-RE tak Cocok Jadi ‘Pengantin’

JAKARTA-Para pengincar singgasana Sumut 1 dan 2 diingatkan agar tidak sembarangan memilih pasangan duet. Fenomena pecah kongsi di banyak daerah, termasuk di Sumut sendiri antara Syamsul Arifin dengan Gatot Pujo Nugroho, harus dijadikan pelajaran. Mencari jodoh dengann
prinsip ‘asal dapat’, juga harus ditinggalkan.

Peringatan ini disampaikan pakar Sosiologi Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sudjito. “Pecah kongsi menurut saya merupakan dampak dari proses pencalonan pasangan yang tidak punya kedekatan ideologi, tidak kenal dekat secara personal, dan karena ketidakcocokan program,” ujar Arie saat dihubungi koran ini, Minggu (29/1).

Oleh karenanya, mantan aktivis 1998 itu menyarankan agar para kandidat sejak jauh hari sudah mulai saling mengenal karakter masing-masing. Dari pengenalan itu sekaligus bisa diketahui arah program dan warna ideologi calon pasangan. “Interaksi antarkandidat cagub dengan cawagub harus dilakukan dalam waktu yang lama, jauh sebelum pendaftaran pasangan,” ulasnya.

Dia mengatakan, memang bukan persoalan yang enteng bagi para kandidat untuk memutuskan sendiri siapa yang akan menjadi pasangannya. Bisa saja antara kandidat cagub dengan kandidat cawagub merasa cocok, namun partai punya keputusan lain. Ini akan merepotkan para kandidat.
Pasalnya, menurut Arie, partai punya kecenderungan untuk mengabaikan kedekatan personal antara balon cagub dengan balon cawagub. Partai, lanjutnya, sering kali mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan pragmatis. “Biasanya partai menentukan calon dan pasangannya menjelang pelaksanaan pilgub. Itu pun berdasarkan pertimbangan pragmatis, yakni siapa yang punya uang besar,” urainya.

Padahal, menurut Arie, ‘pengantin’ yang dipaksakan punya potensi besar untuk ‘cerai’ saat sudah berkuasa nantinya. Tanpa saling mengenal, tidak punya kesamaan program dan ideologi, menurut Arie, roda pemerintahan yang dijalankan pasangan gubernur-wagub, bakal tidak efektif. “Karena mereka akan saling melemahkan. Pecah kongsi,” cetusnya.

Sekedar cacatan, dalam kasus pecah kongsi Syamsul-Gatot, bila dirunut ke belakangan, ini lantaran rangkaian koalisi PPP dengan PKS yang mengusung keduanya di pilgub 2008, baru terbentuk beberapa saat menjelang pendaftaran pasangan calon. Dikaitkan dengan analisis Arie, memang PPP dan PKS punya kedekatan ideologi, yakni sama-sama berbasis ideologi Islam. Hanya saja, secara personal, ‘ideologi’ Syamsul jelas beda dengan Gatot. Bagaimana pun, sebagai politisi bangkotan Partai Golkar, karakter ideologi Syamsul lebih bersifat ‘terbuka’. Maka, dalam perjalanannya, keduanya sulit berada di titik temu, alias pecah kongsi.

Berpijak dari analisis Arie juga, jika Gatot duet dengan RE Nainggolan, potensi pecah kongsi tetap besar. Warna ‘ideologi’ keduanya bakal sulit disatukan. Seperti diberitakan koran ini sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Forum Tapanuli, Daulat Badragaz Manurung menganalisis, Gatot akan punya peluang besar bila berpasangan dengan mantan Sekdaprov Sumut itu.

Ditilik dari kedekatan ideologi, tampaknya pas jika RE Nainggolan menjadi pendamping Gus Irawan. Pasangan ini terbuka diusung koalisi partai besar, yakni Golkar dengan PDI Perjuangan. RE Nainggolan, yang bisa merepresentasikan warga Sumut etnis Batak, berpeluang besar diusung PDIP. Ini mengingat banyak petinggi PDIP di Jakarta yang berasal dari Batak.

Bagaimana komentar petinggi PDIP? Firman Jaya Daeli, salah seorang pentolan DPP PDIP, tampaknya enggan berkomentar. Saat dihubungi koran ini sempat mengangkat telepon. Hanya saja, Firman, yang pada pilgub 2008 terlibat intens menggodok cagub Sumut dari partai banteng mulut putih itu, tidak langsung komentar saat ditanya soal persiapan jelang pilgubsu 2013. Dia minta agar dihubungi lagi, tapi begitu dikontak lagi, tak angkat telepon.
Sebelumnya, Ganjar Pranowo dari PDIP, menjelaskan bahwa partainya masing pada tahap mencermati dinamika politik jelang pilgubsu. Belum ada langkah lain selain itu.  (sam)

JAKARTA-Para pengincar singgasana Sumut 1 dan 2 diingatkan agar tidak sembarangan memilih pasangan duet. Fenomena pecah kongsi di banyak daerah, termasuk di Sumut sendiri antara Syamsul Arifin dengan Gatot Pujo Nugroho, harus dijadikan pelajaran. Mencari jodoh dengann
prinsip ‘asal dapat’, juga harus ditinggalkan.

Peringatan ini disampaikan pakar Sosiologi Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sudjito. “Pecah kongsi menurut saya merupakan dampak dari proses pencalonan pasangan yang tidak punya kedekatan ideologi, tidak kenal dekat secara personal, dan karena ketidakcocokan program,” ujar Arie saat dihubungi koran ini, Minggu (29/1).

Oleh karenanya, mantan aktivis 1998 itu menyarankan agar para kandidat sejak jauh hari sudah mulai saling mengenal karakter masing-masing. Dari pengenalan itu sekaligus bisa diketahui arah program dan warna ideologi calon pasangan. “Interaksi antarkandidat cagub dengan cawagub harus dilakukan dalam waktu yang lama, jauh sebelum pendaftaran pasangan,” ulasnya.

Dia mengatakan, memang bukan persoalan yang enteng bagi para kandidat untuk memutuskan sendiri siapa yang akan menjadi pasangannya. Bisa saja antara kandidat cagub dengan kandidat cawagub merasa cocok, namun partai punya keputusan lain. Ini akan merepotkan para kandidat.
Pasalnya, menurut Arie, partai punya kecenderungan untuk mengabaikan kedekatan personal antara balon cagub dengan balon cawagub. Partai, lanjutnya, sering kali mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan pragmatis. “Biasanya partai menentukan calon dan pasangannya menjelang pelaksanaan pilgub. Itu pun berdasarkan pertimbangan pragmatis, yakni siapa yang punya uang besar,” urainya.

Padahal, menurut Arie, ‘pengantin’ yang dipaksakan punya potensi besar untuk ‘cerai’ saat sudah berkuasa nantinya. Tanpa saling mengenal, tidak punya kesamaan program dan ideologi, menurut Arie, roda pemerintahan yang dijalankan pasangan gubernur-wagub, bakal tidak efektif. “Karena mereka akan saling melemahkan. Pecah kongsi,” cetusnya.

Sekedar cacatan, dalam kasus pecah kongsi Syamsul-Gatot, bila dirunut ke belakangan, ini lantaran rangkaian koalisi PPP dengan PKS yang mengusung keduanya di pilgub 2008, baru terbentuk beberapa saat menjelang pendaftaran pasangan calon. Dikaitkan dengan analisis Arie, memang PPP dan PKS punya kedekatan ideologi, yakni sama-sama berbasis ideologi Islam. Hanya saja, secara personal, ‘ideologi’ Syamsul jelas beda dengan Gatot. Bagaimana pun, sebagai politisi bangkotan Partai Golkar, karakter ideologi Syamsul lebih bersifat ‘terbuka’. Maka, dalam perjalanannya, keduanya sulit berada di titik temu, alias pecah kongsi.

Berpijak dari analisis Arie juga, jika Gatot duet dengan RE Nainggolan, potensi pecah kongsi tetap besar. Warna ‘ideologi’ keduanya bakal sulit disatukan. Seperti diberitakan koran ini sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Forum Tapanuli, Daulat Badragaz Manurung menganalisis, Gatot akan punya peluang besar bila berpasangan dengan mantan Sekdaprov Sumut itu.

Ditilik dari kedekatan ideologi, tampaknya pas jika RE Nainggolan menjadi pendamping Gus Irawan. Pasangan ini terbuka diusung koalisi partai besar, yakni Golkar dengan PDI Perjuangan. RE Nainggolan, yang bisa merepresentasikan warga Sumut etnis Batak, berpeluang besar diusung PDIP. Ini mengingat banyak petinggi PDIP di Jakarta yang berasal dari Batak.

Bagaimana komentar petinggi PDIP? Firman Jaya Daeli, salah seorang pentolan DPP PDIP, tampaknya enggan berkomentar. Saat dihubungi koran ini sempat mengangkat telepon. Hanya saja, Firman, yang pada pilgub 2008 terlibat intens menggodok cagub Sumut dari partai banteng mulut putih itu, tidak langsung komentar saat ditanya soal persiapan jelang pilgubsu 2013. Dia minta agar dihubungi lagi, tapi begitu dikontak lagi, tak angkat telepon.
Sebelumnya, Ganjar Pranowo dari PDIP, menjelaskan bahwa partainya masing pada tahap mencermati dinamika politik jelang pilgubsu. Belum ada langkah lain selain itu.  (sam)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/