Pemerintah juga menjanjikan perbaikan dalam rekrutmen. Salah satunya, mengingat bahwa Patrialis merupakan hakim MK yang diajukan oleh eksekutif. ’’Rekrutmen menjadi penting, dan ke depan harus lebih baik,’’ ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Saat ini, pihaknya masih menunggu surat resmi dari MK untuk meminta hakim baru kepada pemerintah. Bila Presiden sudah menerima surat itu secara resmi, barulah pemerintah membentuk tim untuk menyeleksi calon hakim untuk mengisi posisi Patrialis. Pramono menjanjikan seleksinya bakal diperketat untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menuturkan bukan hanya pola rekrutmen yang harus diperbaiki. Tapi, pengawasan para hakim itu harus melekat. Dia tidak menyarankan untuk pembentukan badan baru untuk pengawasan hakim itu. Tapi, cukup pengawasan nomor telepon para hakim. ”Sadap saja terus menerus dari menit ke menit. 24 jam sehari,” ujar dia kemarin.
Penyadapan itu menjadi kunci agar para hakim itu tidak main-main dengan kekuasaan yang mereka miliki. Sebab, awal mula potensi korupsi itu bermula dari perbincangan atau komunikasi. ”Sadap mulai dari yang bawah sampai yang tinggi,” tambah dia.
Margarito menuturkan perlu pula mengevaluasi prosedur penyelesaian perkara. Dalam kasus uji materi peternakan misalnya perkara tersebut sebenarnya sudah selesai sidang sejak lama. Tapi, tidak kunjung diputuskan. ”Semua dokumen dan saksi sudah diperiksa. Tapi tidak segera diputus bisa bertahun-tahun. Ini musti yang dibuat beres,” jelas dia.
Sementara itu, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengungkapkan pola rektutmen itu diserahkan pada tiga lembaga negara yakni pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan berharap orang-orang yang dipilih itu telah selesai dengan urusan duniawinya. ”Tinggal mengabdi pada nusa dan bangsa saja,” ujar dia.
Dia menuturkan dewan etik telah mengusulkan pembentukan majelis kehormatan yang secara khusus menangani Patrialis. Majelis itu rencana akan diisi oleh lima orang. Yakni, Wakil Ketua MK Anwar Usman, mantan hakim konstitusi Prof Ahmad Sodikin, guru besar ilmu hukum Prof Bagir Manan, dr HC As’ad Ali Said (tokoh masyarakat dari NU), dan seorang dari komisi yudisial. ”Majelis kehormatan nantinya akan menentukan apa pelanggaran etik berat dan sanksinya,” ujar pria yang sedang menempuh program doctoral di Universitas Brawijaya itu.
Majelis kehormatan berwenang untuk mengusulkan pencopotan dan pengisian kembali. Fajar menuturkan waktu yang dimiliki majelis kehormatan itu relatif lama, tapi bisa berlangsung lebih cepat. ”Melanggar pidana seperti korupsi itu pelanggaran etik berat. Tapi, majelis kehormatan tidak fokus pada pidananya hanya etiknya,” imbuhnya.
Pria asal Jogjakarta itu menegaskan MK terus berbenah diri. Dua kasus korupsi yang telah terjadi di MK akan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Tapi, dia tidak terima bila MK harus dibubarkan lantaran ada hakim yang korupsi. ”Ibaratnya kalau ada tikus di rumah ya tikusnya diberesin. Bukan rumahnya yang dibakar atau dirobohkan,” kata dia.(byu/lum/jun/jpg)