26.7 C
Medan
Thursday, May 23, 2024

Kejaksaan Agung Loloskan Gatot

Foto: Triadi Wibowo/SUMUT POS Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho tersenyum saat menghadiri sidang paripurna di gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol, Medan, beberapa waktu lalu.
Foto: Triadi Wibowo/SUMUT POS
Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho tersenyum saat menghadiri sidang paripurna di gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol, Medan, beberapa waktu lalu.

SUMUTPOS.CO- Kejaksaan Agung (Kejagung) belum melihat keterkaitan Gubsu non-aktif Gatot Pujo Nugroho dalam perkara dugaan korupsi penyaluran dana bantuan sosial di Sumut periode 2011-2013. Dari hasil pemeriksaan lebih dari 250 saksi, penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung menyebut belum mendapatkan bukti adanya ketersangkutan Gatot dalam kasus tersebut.

MENURUT Ketua Tim Penyidik Perkara Bansos Sumut pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Victor Antonius, hingga saat ini dia dan timnya sudah memeriksa 250 lebih saksi dalam kasus tersebut.

“Sampai saat ini belum melihat ada hubungannya dengan Gatot. Yang sudah kami periksa ada 250 lebih orang. Kerugian minimal yang timbul Rp2,5 miliar,” ujar Victor di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (29/10)
Walau belum melihat keterkaitan Gatot dengan perkara dana bansos di Sumut, Victor telah memiliki dugaan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya perkara tersebut. Namun dia belum mau mengungkap siapa aktor yang diduga terlibat itu.

“Sudah ada benang merah siapa yang bertanggung jawab atas penyimpangan dana bansos. Kami akan kembali turun ke lapangan (Sumut) setelah hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK dilakukan,” kata Victor.

Sejauh ini, tercatat ada 17 Lembaga Swadaya Masyarakat fiktif yang terbukti menerima dana bansos di Sumut periode 2011-2013. Fakta tersebut ditemukan setelah Tim Penyidik Kejagung melakukan investigasi ke Sumut pekan lalu.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diperoleh Sumut Pos, Pemerintah Provinsi Sumut pada 2013 menganggarkan belanja hibah dan bansos sebesar Rp2,15 triliun dan Rp76,05 miliar. Dari jumlah tersebut, yang terealisasi adalah Rp1,83 triliun untuk bansos dan Rp43,71 miliar.

Pihak Kejagung menyatakan sudah membuktikan komitmennya menangani secara serius kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut tahun 2011-2013. Setelah turun ke-15 kabupaten/kota di Sumut dalam dua minggu terakhir, tim pun sudah meminta pandangan ahli bansos.

“Tim sudah kembali ke Jakarta setelah sebelumnya selama dua minggu turun ke-15 kabupaten/kota yang ada di Sumut. Ada 250 orang yang sudah dimintai keterangannya. Jadi memang pekerjaan menangani kasus bansos ini tidak seperti membalik telapak tangan,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) Maruli Hutagalung kepada Sumut Pos, kemarin.

Menurut Maruli, setelah memintai keterangan 250 orang di Sumut -terutama penerima aliran dana bansos-, tim sudah meminta pandangan dari ahli Bansos. Langkah ini untuk menyempurnakan laporan, untuk kemudian menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

“Supaya kerugian negaranya kelihatan. Kemarin kan disebut-sebut (kerugian negara, Red) sekitar Rp2 miliar. Tapi kan ini perlu ditelusuri lebih jauh. Apakah memang kerugiannya segitu. Nah nanti setelah itu kami juga akan meminta masukan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” ujarnya.

Saat ditanya mengapa hingga saat ini Kejagung belum menetapkan tersangka dalam perkara ini, Maruli menegaskan karena memang proses pemeriksaannya perlu dilakukan secara mendalam. Untuk itu dibutuhkan waktu, sehingga tidak ada ruang Kejagung kembali dipraperadilankan.

“Ini kan prosesnya tak seperti membalik telapak tangan. Itu penerimanya (aliran dana bansos, Red) dimintai keterangan satu persatu. Jumlahnya kan sangat banyak, kita mintai keterangan peruntukannya untuk apa dan lain-lain. Problemnya macam-macam. Misalnya ada yang kami panggil ternyata sudah pindah, alamtnya tidak ditemukan maupun meninggal dunia. Jadi macam-macam,” ujarnya.

Meski problem yang ditemukan cukup banyak, namun Maruli memastikan Kejagung tetap profesional menangani perkara ini. Tidak ada niat sedikit pun untuk menutup-nutupi pihak yang terlibat. Karena walau bagaimana pun penyidik merupakan aparat negara. Karena itu bertanggungjawab menangani perkara apalagi disebut ada kerugian negara di dalamnya.

Sebagai wujud keseriusan, penyidik yang ditugaskan menangani perkara ini kata Maruli, bahkan sampai ditambah. Hingga sekarang mencapai sekitar 13 orang.

“Tim-tim yang lain terpaksa bergabung di situ, karena kami sangat konsentrasi bansos. Kami tetap terus. Untuk penetapan tersangka, kami menunggu berkasnya lengkap biar lebih mantap. Makanya saya heran kalau disebut (Jaksa Agung, Red) mengamankan kasus ini. Kalau mengamankan, ngapain sampai dua minggu di Medan,”ujar Maruli.

Terkait itu pula, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit kinerja penanganan kasus korupsi oleh kejaksaan terutama penanganan kasus dugaan korupsi dana Bansos Sumut.

“BPK juga harus mengaudit penanganan kasus korupsi oleh kejaksaan,” kata Agus Sunaryanto, Wakil Koordinator ICW di Jakarta, kemarin.

Ia menyebutkan kasus Bansos Sumut adalah contoh masalah tidak transparannya penanganan kasus korupsi oleh kejaksaan sebagaimana disampaikan oleh Evy, istri muda Gubsu non-aktif Gatot Pujo Nugroho yang telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dugaan suap penanganan perkara kasus bansos.

Dalam kasus bansos yang ditangani oleh kejaksaan itu, Gatot Pujo Nugroho sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun pasca pertemuan Gatot dengan pengacaranya yang juga petinggi Partai Nasdem, OC Kaligis dan Sekjen Partai Nasdem, Rio Capella status tersangkanya ‘hilang’.

“Pengusutan dan penetapan tersangka kasus korupsi sangat rentan `dimainkan` oleh penegak hukum jika proses penanganannya tidak transparan,” katanya.

Selain itu, ICW juga meminta BPK untuk mengaudit penanganan perkara korupsi oleh kepolisian.

Berdasarkan pemantauan ICW selama 2010-2014 terdapat 2.433 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp29,3 triliun yang ditangani oleh Kejaksaan, Kepolisian dan KPK.

Dari total kasus tersebut, 72,9 persen ditangani oleh Kejaksaan dengan kerugian negara Rp15,5 triliun. Sementara, Kepolisian menangani 22,03 persen atau 536 kasus korupsi senilai Rp3,2 triliun dan KPK menangani 5,01 persen kasus korupsi atau 122 kasus dengan nilai kerugian negara Rp11,4 triliun.

Sementara kinerja penanganan kasus korupsi oleh penegak hukum juga tidak menunjukkan perkembangan signifikan. Berdasarkan pemantauan ICW, terdapat 1.223 kasus korupsi senilai Rp11,0 triliun yang belum jelas perkembangan penanganannya di tiga institusi penegak hukum.

Dari total tunggakan kasus tersebut, 70 persen atau 857 dengan kerugian negara Rp7,7 triliun ditangani Kejaksaan. Sebanyak 304 kasus atau 24,9 persen dengan kerugian negara Rp1,8 triliun ditangani Kepolisian, dan 54 kasus atau 4,4 persen dengan kerugian negara Rp1,4 triliun ditangani KPK.

Selain itu, BPK juga menemukan 442 temuan yang memiliki unsur pidana korupsi senilai Rp43,8 triliun selama periode pemeriksaan 2011-2014. Namun dari total temuan tersebut, sebanyak 64 temuan atau 14,5 persen juga belum ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja penegakan hukum kasus korupsi oleh Kejaksaan, Kepolisian dan KPK belum maksimal.

Oleh karena itu, kami mendesak BPK untuk melakukan audit kinerja penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hal ini diharapkan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum kasus korupsi. Audit kinerja diharapkan memberi gambaran kapasitas dan kompetensi instansi penegak hukum dalam menindak kasus korupsi, katanya.

Sementara, kecaman bertubi-tubi diterima Gatot selama hampir dua tahun memimpin Sumut. Pria asal Magelang itu dianggap tak membawa perubahan lebih baik bagi rakyat dan daerah yang dipimpinnya. Malah sebaliknya, politikus Partai Keadilan Sejahtera itu dinilai semakin menyengsarakan warga Sumut dengan rentetan dugaan kasus korupsi yang menjeratnya.

Menurut akademisi asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar, dari kajian prestasi tidak ada yang bisa dibanggakan dari Gatot, terutama sektor infrastruktur.

“Orang menyebut Pemprov Sumut itu ‘autopilot’, sama artinya berjalan otomatis tanpa butuh pimpinan. Rakyat cari makan sendiri, cari kerja sendiri. APBD Sumut hanya dinikmati segelintir kelompok bahkan orang per orang,” tukas Shohibul kepada Sumut Pos, kemarin.

Prestasi buruk Gatot berikutnya, papar Shohibul, adalah buruknya pengelolaan anggaran Pemprov Sumut. Kasus penyelewengan pengalokasian Dana Bagi Hasil, Dana Bantuan Daerah atau sekarang disebut Bantuan Keuangan Provinsi menjadi cermin bobroknya manajemen Gatot selaku Kuasa Pengguna Anggaran.

Kendati begitu, Dosen Fisipol UMSU ini tak membantah pangkal dugaan korupsi yang membelit Gatot adalah buah demokrasi yang dianut Indonesia saat ini. Artinya, lanjut Shohibul, penanganan kasus-kasus korupsi di Tanah Air cenderung berbau politis karena menjerat banyak kader parpol yang terpilih sebagai kepala daerah.

“Ini bukan cerita baru lagi bagi kita. Kasus yang menimpa kepala daerah Sumut (Gatot, Red) cenderung kental nuansa politiknya. Hal itu bisa terlihat dari upaya memperluas dukungan kalangan Dewan lewat hak interpelasi yang belakangan jadi dugaan gratifikasi oleh KPK,” katanya.

Shohibul berharap KPK bisa membongkar dugaan suap hakim PTUN Medan sampai ke akar-akarnya. Pasalnya, institusi Kejaksaan dianggap tak kredibel menangani kasus tersebut  lantaran bersinggungan dengan lingkaran politik. “Tersangkutnya Rio Capella dalam kasus tersebut mengindikasikan bahwa oknum parpol banyak terlibat di situ,” paparnya.

Dia menambahkan, bahwa KPK juga perlu mengembangkan anatomi kasus ini secara utuh. Sehingga masyarakat lebih jernih menyikapi kasus tersebut, termasuk siapa yang menjadi aktor intelektual didalamnya.

“Kejagung sudah banyak memcecar orang-orang kecil penerima bansos. Ini menunjukkan kelemahan penegak hukum kita. Menurut saya festivalisasi ini sangat memalukan secara kaca mata hukum. Rakyat Sumut sudah dipermalukan. Saya protes dengan cara-cara seperti ini. Perlu sekali anatomi ini diungkap sehingga ketahuan hulu-hilir kasusnya,” tukasnya.

Hal senada juga dikatakan Direktur Pusat Studi dan Pembaharuan (Pushpa) Sumut Muslim Muis. Dia bahkan menyebut nama Gatot berupa singkatan ‘Gagal Total’.

“Dampak korupsinya amat memilukan hati. Sudahlah pembangunan tidak tampak, perilaku pejabatnya juga korup ya, tambah susah lah rakyat Sumut,” katanya.

Menurut dia, postur APBD Sumut tidak diperuntukan bagi masyarakat melainkan kepentingan kelompok dan pribadi.

“Banyak APBD Sumut masuk kantong pribadi. Tegakkan hukum secara benar dan konsekuen. Jangan memeriksa dan memeriksa saja, tetapi segera tetapkan tersangka. Saya menilai kelambanan ini karena ketidakmampuan Jaksa Agung,” pungkasnya. (gir/boy/jpnn/bbs/prn/val)

Foto: Triadi Wibowo/SUMUT POS Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho tersenyum saat menghadiri sidang paripurna di gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol, Medan, beberapa waktu lalu.
Foto: Triadi Wibowo/SUMUT POS
Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho tersenyum saat menghadiri sidang paripurna di gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol, Medan, beberapa waktu lalu.

SUMUTPOS.CO- Kejaksaan Agung (Kejagung) belum melihat keterkaitan Gubsu non-aktif Gatot Pujo Nugroho dalam perkara dugaan korupsi penyaluran dana bantuan sosial di Sumut periode 2011-2013. Dari hasil pemeriksaan lebih dari 250 saksi, penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung menyebut belum mendapatkan bukti adanya ketersangkutan Gatot dalam kasus tersebut.

MENURUT Ketua Tim Penyidik Perkara Bansos Sumut pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Victor Antonius, hingga saat ini dia dan timnya sudah memeriksa 250 lebih saksi dalam kasus tersebut.

“Sampai saat ini belum melihat ada hubungannya dengan Gatot. Yang sudah kami periksa ada 250 lebih orang. Kerugian minimal yang timbul Rp2,5 miliar,” ujar Victor di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (29/10)
Walau belum melihat keterkaitan Gatot dengan perkara dana bansos di Sumut, Victor telah memiliki dugaan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya perkara tersebut. Namun dia belum mau mengungkap siapa aktor yang diduga terlibat itu.

“Sudah ada benang merah siapa yang bertanggung jawab atas penyimpangan dana bansos. Kami akan kembali turun ke lapangan (Sumut) setelah hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK dilakukan,” kata Victor.

Sejauh ini, tercatat ada 17 Lembaga Swadaya Masyarakat fiktif yang terbukti menerima dana bansos di Sumut periode 2011-2013. Fakta tersebut ditemukan setelah Tim Penyidik Kejagung melakukan investigasi ke Sumut pekan lalu.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diperoleh Sumut Pos, Pemerintah Provinsi Sumut pada 2013 menganggarkan belanja hibah dan bansos sebesar Rp2,15 triliun dan Rp76,05 miliar. Dari jumlah tersebut, yang terealisasi adalah Rp1,83 triliun untuk bansos dan Rp43,71 miliar.

Pihak Kejagung menyatakan sudah membuktikan komitmennya menangani secara serius kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut tahun 2011-2013. Setelah turun ke-15 kabupaten/kota di Sumut dalam dua minggu terakhir, tim pun sudah meminta pandangan ahli bansos.

“Tim sudah kembali ke Jakarta setelah sebelumnya selama dua minggu turun ke-15 kabupaten/kota yang ada di Sumut. Ada 250 orang yang sudah dimintai keterangannya. Jadi memang pekerjaan menangani kasus bansos ini tidak seperti membalik telapak tangan,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) Maruli Hutagalung kepada Sumut Pos, kemarin.

Menurut Maruli, setelah memintai keterangan 250 orang di Sumut -terutama penerima aliran dana bansos-, tim sudah meminta pandangan dari ahli Bansos. Langkah ini untuk menyempurnakan laporan, untuk kemudian menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

“Supaya kerugian negaranya kelihatan. Kemarin kan disebut-sebut (kerugian negara, Red) sekitar Rp2 miliar. Tapi kan ini perlu ditelusuri lebih jauh. Apakah memang kerugiannya segitu. Nah nanti setelah itu kami juga akan meminta masukan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” ujarnya.

Saat ditanya mengapa hingga saat ini Kejagung belum menetapkan tersangka dalam perkara ini, Maruli menegaskan karena memang proses pemeriksaannya perlu dilakukan secara mendalam. Untuk itu dibutuhkan waktu, sehingga tidak ada ruang Kejagung kembali dipraperadilankan.

“Ini kan prosesnya tak seperti membalik telapak tangan. Itu penerimanya (aliran dana bansos, Red) dimintai keterangan satu persatu. Jumlahnya kan sangat banyak, kita mintai keterangan peruntukannya untuk apa dan lain-lain. Problemnya macam-macam. Misalnya ada yang kami panggil ternyata sudah pindah, alamtnya tidak ditemukan maupun meninggal dunia. Jadi macam-macam,” ujarnya.

Meski problem yang ditemukan cukup banyak, namun Maruli memastikan Kejagung tetap profesional menangani perkara ini. Tidak ada niat sedikit pun untuk menutup-nutupi pihak yang terlibat. Karena walau bagaimana pun penyidik merupakan aparat negara. Karena itu bertanggungjawab menangani perkara apalagi disebut ada kerugian negara di dalamnya.

Sebagai wujud keseriusan, penyidik yang ditugaskan menangani perkara ini kata Maruli, bahkan sampai ditambah. Hingga sekarang mencapai sekitar 13 orang.

“Tim-tim yang lain terpaksa bergabung di situ, karena kami sangat konsentrasi bansos. Kami tetap terus. Untuk penetapan tersangka, kami menunggu berkasnya lengkap biar lebih mantap. Makanya saya heran kalau disebut (Jaksa Agung, Red) mengamankan kasus ini. Kalau mengamankan, ngapain sampai dua minggu di Medan,”ujar Maruli.

Terkait itu pula, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit kinerja penanganan kasus korupsi oleh kejaksaan terutama penanganan kasus dugaan korupsi dana Bansos Sumut.

“BPK juga harus mengaudit penanganan kasus korupsi oleh kejaksaan,” kata Agus Sunaryanto, Wakil Koordinator ICW di Jakarta, kemarin.

Ia menyebutkan kasus Bansos Sumut adalah contoh masalah tidak transparannya penanganan kasus korupsi oleh kejaksaan sebagaimana disampaikan oleh Evy, istri muda Gubsu non-aktif Gatot Pujo Nugroho yang telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dugaan suap penanganan perkara kasus bansos.

Dalam kasus bansos yang ditangani oleh kejaksaan itu, Gatot Pujo Nugroho sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun pasca pertemuan Gatot dengan pengacaranya yang juga petinggi Partai Nasdem, OC Kaligis dan Sekjen Partai Nasdem, Rio Capella status tersangkanya ‘hilang’.

“Pengusutan dan penetapan tersangka kasus korupsi sangat rentan `dimainkan` oleh penegak hukum jika proses penanganannya tidak transparan,” katanya.

Selain itu, ICW juga meminta BPK untuk mengaudit penanganan perkara korupsi oleh kepolisian.

Berdasarkan pemantauan ICW selama 2010-2014 terdapat 2.433 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp29,3 triliun yang ditangani oleh Kejaksaan, Kepolisian dan KPK.

Dari total kasus tersebut, 72,9 persen ditangani oleh Kejaksaan dengan kerugian negara Rp15,5 triliun. Sementara, Kepolisian menangani 22,03 persen atau 536 kasus korupsi senilai Rp3,2 triliun dan KPK menangani 5,01 persen kasus korupsi atau 122 kasus dengan nilai kerugian negara Rp11,4 triliun.

Sementara kinerja penanganan kasus korupsi oleh penegak hukum juga tidak menunjukkan perkembangan signifikan. Berdasarkan pemantauan ICW, terdapat 1.223 kasus korupsi senilai Rp11,0 triliun yang belum jelas perkembangan penanganannya di tiga institusi penegak hukum.

Dari total tunggakan kasus tersebut, 70 persen atau 857 dengan kerugian negara Rp7,7 triliun ditangani Kejaksaan. Sebanyak 304 kasus atau 24,9 persen dengan kerugian negara Rp1,8 triliun ditangani Kepolisian, dan 54 kasus atau 4,4 persen dengan kerugian negara Rp1,4 triliun ditangani KPK.

Selain itu, BPK juga menemukan 442 temuan yang memiliki unsur pidana korupsi senilai Rp43,8 triliun selama periode pemeriksaan 2011-2014. Namun dari total temuan tersebut, sebanyak 64 temuan atau 14,5 persen juga belum ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja penegakan hukum kasus korupsi oleh Kejaksaan, Kepolisian dan KPK belum maksimal.

Oleh karena itu, kami mendesak BPK untuk melakukan audit kinerja penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hal ini diharapkan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum kasus korupsi. Audit kinerja diharapkan memberi gambaran kapasitas dan kompetensi instansi penegak hukum dalam menindak kasus korupsi, katanya.

Sementara, kecaman bertubi-tubi diterima Gatot selama hampir dua tahun memimpin Sumut. Pria asal Magelang itu dianggap tak membawa perubahan lebih baik bagi rakyat dan daerah yang dipimpinnya. Malah sebaliknya, politikus Partai Keadilan Sejahtera itu dinilai semakin menyengsarakan warga Sumut dengan rentetan dugaan kasus korupsi yang menjeratnya.

Menurut akademisi asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar, dari kajian prestasi tidak ada yang bisa dibanggakan dari Gatot, terutama sektor infrastruktur.

“Orang menyebut Pemprov Sumut itu ‘autopilot’, sama artinya berjalan otomatis tanpa butuh pimpinan. Rakyat cari makan sendiri, cari kerja sendiri. APBD Sumut hanya dinikmati segelintir kelompok bahkan orang per orang,” tukas Shohibul kepada Sumut Pos, kemarin.

Prestasi buruk Gatot berikutnya, papar Shohibul, adalah buruknya pengelolaan anggaran Pemprov Sumut. Kasus penyelewengan pengalokasian Dana Bagi Hasil, Dana Bantuan Daerah atau sekarang disebut Bantuan Keuangan Provinsi menjadi cermin bobroknya manajemen Gatot selaku Kuasa Pengguna Anggaran.

Kendati begitu, Dosen Fisipol UMSU ini tak membantah pangkal dugaan korupsi yang membelit Gatot adalah buah demokrasi yang dianut Indonesia saat ini. Artinya, lanjut Shohibul, penanganan kasus-kasus korupsi di Tanah Air cenderung berbau politis karena menjerat banyak kader parpol yang terpilih sebagai kepala daerah.

“Ini bukan cerita baru lagi bagi kita. Kasus yang menimpa kepala daerah Sumut (Gatot, Red) cenderung kental nuansa politiknya. Hal itu bisa terlihat dari upaya memperluas dukungan kalangan Dewan lewat hak interpelasi yang belakangan jadi dugaan gratifikasi oleh KPK,” katanya.

Shohibul berharap KPK bisa membongkar dugaan suap hakim PTUN Medan sampai ke akar-akarnya. Pasalnya, institusi Kejaksaan dianggap tak kredibel menangani kasus tersebut  lantaran bersinggungan dengan lingkaran politik. “Tersangkutnya Rio Capella dalam kasus tersebut mengindikasikan bahwa oknum parpol banyak terlibat di situ,” paparnya.

Dia menambahkan, bahwa KPK juga perlu mengembangkan anatomi kasus ini secara utuh. Sehingga masyarakat lebih jernih menyikapi kasus tersebut, termasuk siapa yang menjadi aktor intelektual didalamnya.

“Kejagung sudah banyak memcecar orang-orang kecil penerima bansos. Ini menunjukkan kelemahan penegak hukum kita. Menurut saya festivalisasi ini sangat memalukan secara kaca mata hukum. Rakyat Sumut sudah dipermalukan. Saya protes dengan cara-cara seperti ini. Perlu sekali anatomi ini diungkap sehingga ketahuan hulu-hilir kasusnya,” tukasnya.

Hal senada juga dikatakan Direktur Pusat Studi dan Pembaharuan (Pushpa) Sumut Muslim Muis. Dia bahkan menyebut nama Gatot berupa singkatan ‘Gagal Total’.

“Dampak korupsinya amat memilukan hati. Sudahlah pembangunan tidak tampak, perilaku pejabatnya juga korup ya, tambah susah lah rakyat Sumut,” katanya.

Menurut dia, postur APBD Sumut tidak diperuntukan bagi masyarakat melainkan kepentingan kelompok dan pribadi.

“Banyak APBD Sumut masuk kantong pribadi. Tegakkan hukum secara benar dan konsekuen. Jangan memeriksa dan memeriksa saja, tetapi segera tetapkan tersangka. Saya menilai kelambanan ini karena ketidakmampuan Jaksa Agung,” pungkasnya. (gir/boy/jpnn/bbs/prn/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/