Karut Marut Penyelenggaraan Piala Afrika 2012
Pentas Piala Afrika sudah memasuki fase semifinal. Gabon dan Guinea Equatorial yang bertindak sebagai tuan rumah bersama gagal melaju ke fase ini. Kegagalan tersebut seolah melengkapi buruknya persiapan dan pelayanan dua negara tersebut selama
menjadi host.
GABON dan Guinea Equatorial sebetulnya sudah paham konsekuensi yang harus di tanggung sebagai tuan rumah sebuah turnamen akbar. Tentu, mereka harus menyediakan akomodasi dan infrastruktur lainnya bagi tim kontestan. Mereka juga harus bersikap hangat kepada suporter tim tamu.
Syarat-syarat itu memang bisa dipenuhi dua host tersebut. Tapi, itu terbatas bagi tim-tim besar. Di Malabo misalnya. Ibu kota Guinea Equatorial tersebut merupakan tempat berkumpul sekaligus berlangsungnya laga di grup B seperti Pantai Gading, Sudan, Angola dan Burkina Faso.
Tapi, fasilitas yang diterima empat kontestan tadi tidak sama. Pantai Gading mendapat perlakuan dan fasilitas yang lebih istimewa. Di mana, Didier Drogba dkk menginap di hotel bintang lima yang dilengkapi lapangan golf dan kolam renang pribadi.
Akses Pantai Gading untuk menuju stadion atau tempat latihan juga sangat mudah. Sebab, ada enam jalur yang bisa dilalui rombongan tim Pantai Gading jika ingin bertanding atau berangkat latihan. Sebaliknya, Sudan hanya ditempatkan di hotel bintang tiga yang langit-langitnya sangat rendah. Hotel tersebut berada di area pemukiman yang padat dan bising.
Selain tim besar, tuan rumah juga sangat memanjakan pejabat-pejabat Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF). Buat para pejabat ini, tuan rumah harus menyewa pesawat Royal Air Maroc. Seorang relawan Piala Afrika 2012 sempat melihat pesawat Boeing 737 tersebut hanya ditumpangi beberapa orang, yang semuanya adalah petinggi CAF.
Suporter negara kontestan ikut menyuarakan keluhannya. Mereka kecewa karena Gabon dan Guinea Equatorial belum siap menyambut kehadiran ribuan tamu dari negara lain. CAF pun dikecam. Pasalnya, mereka tak belajar dari penyelenggaraan even-even sebelumnya saat Burkina Faso (1998), Mali (2002), Ghana (2008) dan Angola (2010) menjadi tuan rumah. Negara-negara tadi tak siap menampung luberan suporter dari negara lain.
Nah, kondisi serupa terjadi di Piala Afrika tahun ini. Karena sulitnya transportasi serta tempat penginapan, suporter non tuan rumah pun enggan datang memberi dukungan saat timnya bertanding. Apalagi, visa untuk memasuki negara tuan rumah susah diperoleh. Mahalnya harga tiket juga menjadi alasan penonton malas ke stadion. Tak ada perincian berapa harga resmi tiket masuk pertandingan. Namun, menurut media setempat, tiket termurah laga di Guinea Equatorial harganya setara dengan penghasilan satu minggu warga lokal.
Dari fakta-fakta tadi, bisa dipahami kenapa selain laga tuan rumah stadion selalu sepi penonton. Ketika Pantai Gading menaklukkan Angola di Malabo, penonton yang hadir tak sampai seribu. Duel Zambia versus Sudan di perempat final lebih ironis lagi. Laga yang berlangsung di Bata tersebut hanya ditonton 500 suporter.
“Fakta ini sangat menyakitkan. Tapi, saya pikir itu juga karena prestasi tim nasional kita. Orang lebih senang menyimpan uang untuk menyaksikan laga Guinea Equatorial ketimbang laga lain,” papar Ruslan Obiang, Ketua Komite Lokal Piala Afrika di Guinea Equatorial kepada Reuters. (ren/bas/jpnn)