Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere menjelaskan, PP 25/2011 yang menjadi polemik merupakan penjabaran dari UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Peraturan ini lebih melihat pecandu sebagai korban.
“PP ini bersifat humanis, yakni pengguna narkotika diposisikan sebagai korban,” terang dia beberpa waktu lalu.Sementara Kepala Subdirektorat Napza Kementerian Kesehatan Riza Sarasvita mengungkapkan, konsekuensi lain dari kehadiran PP 25/2011 adalah akan diterapkannya kartu khusus bagi pencandu narkotika. Kartu khusus ini untuk membedakan dengan pengedar. Kartu khusus akan diberikan tenaga kesehatan kepada para pencandu yang melakukan wajib lapor di institusi penerima wajib lapor. “Saat melapor, pencandu harus menjalani tes urine, mengisi halaman dokumen penilaian, riwayat perawatan, pendidikan, riwayat keluarga, catatan kriminal, dan status psikiaternya,” terang Riza.
Dia menegaskan, kartu khusus bisa memberikan kekebalan hukum bagi para pencandu. Di Indonesia pencandu narkotika yang mendapatkan pelayanan kesehatan masih minim, yakni kurang dari 3%. Tahun ini Kemenkes menargetkan 5.000 pencandu sudah mendapatkan kartu khusus ini, masing-masing 2.500 pencandu yang sedang terapi pil metadon serta 2.500 pelapor baru.
Sebelumnya, Kemenhumkam berencana menyiapkan blok khusus di sejumlah lembaga pemasyarakatan untuk rehabilitasi para pencandu narkotika. Patrialis Akbar menyatakan, Peraturan Pemerintah (PP) No 25 Tahun 2011 menegaskan bahwa pencandu narkotika tidak dikenai hukuman pidana.Pencandu diwajibkan melapor kepada institusi penerima wajib lapor. “Sekarang ini kita dengan BNN tengah mendesain, bagaimana pola penyelenggaraannya. Termasuk merumuskan tempat-tempat rehabilitasinya. Rencananya memang akan kita tunjuk di beberapa LP di provinsi,” ungkap Patrialis di Kota Bandung belum lama ini. (bbs/jpnn)