Surabaya-Jakarta Bersaing dalam Kasus Sontekan Massal
Surabaya dan Jakarta bersaing dalam kasus sontekan massal Ujian Nasional (UN) SD Mei lalu. Jika Surabaya sudah dijatuhkan sanksi kepada guru dan kepala sekolah yang terlibat contekan massal, di Jakarta investigasi baru berjalan.
Kemunculan kasus sontekan massal dalam pelaksanaan UN SD belum terhenti. Di Provinsi DKI Jakarta, kasus sontekan massal mencapai babak baru setelah pemerintah memulai investigasi. Kasus sontekan massal di ibu kota, dilaporkan wali siswa SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Pelapor munculnya sontekan massal adalah Winda Lubis. Dia adalah ibu dari Muhammad Abrary Pulungan, siswa kelas VI SDN 06 Petang Pesanggrahan. Winda sejatinya sudah cukup lama melapor sontekan massal. Dia sudah melapor mulai dari tingkat sekolah, komite sekolah, Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Tetapi, semuanya mental.
Bahkan, saat melapor ke Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), ibu tiga anak itu mendapat jawaban yang kurang mengenakan. Pihak Kemendiknas menyatakan tidak membuka pos pengaduan UN tingkat SD. Mereka hanya membuka pengaduan terkait kecurangan UN tingkat SMP dan SMA.
Winda menjelaskan, dirinya geregetan karena usahanya melapor tidak mendapakan perhatian. Padahal, Winda ingin mendapatkan pengakuan dari pemerintah jika laporan dari anaknya bahwa telah disuruh guru kelas untuk membagi-bagikan jawaban benar. “Ini perlu supaya anak tidak merasa bersalah setelah mengungkap kejujuran,” ucap Winda.
Akhirnya, Winda melapor kasus sontekan massal ini ke Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Didampingi Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait, keluarga Abrary kemarin (16/6) ngluruk kantor Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Di kantor Pemprov DKI Jakarta, Abrary dan keluarga ditemui oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat Sekdaprov DKI Jakarta Mara Oloan Siregar dan Waka Dinas Pendidikan (Dispendik) DKI Jakarta Agus Suradika. Dalam pertemuan tertutup tersebut, Winda memaparkan lengkap kronologi sontekan massal yang terjadi di sekolah anaknya itu. Hasilnya, Pemprov DKI Jakarta membentuk tim investigasi untuk membuktikan sontekan massal itu. Pemaparan Winda hampir sama dengan penjelasananya saat melapor ke Komnas PA. Diantaranya adalah, oknum guru di SDN 06 Petang Pesanggrahan mengumpulkan siswa-siswa pandai dua hari menjelang pelaksanaan UN.
Dalam pertemuan tersebut, guru menginstruksikan para siswa membantu memberikan jawaban ke temannya. Celakanya, pihak guru membuat pernyataan tertulis supaya para siswa tidak membocorkan hasil pertemuan tersebut kepada siapapun. Walaupun kepada orangtua sekalipun. Siswa yang membocorkan bakal dijatuhi hukuman berat dan tidak lulus UN.
Di saat pertemuan berlangsung, Abrary sengaja ditaruh luar ruangan. Alasannya, supaya dia tidak menyimak perdebatan yang membahas sontekan massal. Di luar ruangan, bocah belasan tahun itu terlihat tenang. Sesekali, dia bercanda dengan wartawan yang menunggu rampungnya rapat.
Abrary mengatakan, dirinya merupakan salah satu dari siswa yang dipanggil sang guru untuk dikondisikan bagi-bagi jawaban. Pasalnya, hasil try out pra UN, Abrary berada di posisi dua teratas. “Intinya kami disuruh membantu teman saat ujian,” papar anak yang menempuh pendidikan anak usia dini (PAUD) di Amerika itu.
Saat ujian berlansung, bocah berambut cepak itu kaget melihat kertas-kertas berisi kunci jawaban berseliweran. “Saya tidak ikut menyalin jawaban ke kertas,” paparnya.
Melihat banyaknya contekan saat itu, Abrary sempat melapor ke pengawas. Sayang, dia malah dimusuhi teman-temannya sekelas. Bentuk permusuhan itu adalah, dia dikucilkan dan sempat disoraki. (wan/jpnn)
Ada Simulasi Menyontek
Alif, siswa kelas VI SDN Gadel 2, Surabaya, Jawa Timur, tetap pada sikapnya semula bahwa memang ada aksi contek massal yang sangat sistematis di sekolahnya saat Ujian Nasional (UN), yang dikomandoi gurunya. Anak dari Siami itu bahkan menceritakan, sehari sebelum UN digelar 10-12 Mei 2011, diadakan simulasi menyontek.
“Waktu satu hari sebelum ujian diadakan simulasi mencontek,” kata Alif saat telekonfrens dari Universitas Airlangga Surabaya dengan aktivis di Aula gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (16/6).
Alif mengaku mendapat arahan teknis contek-mencontek pada saat ujian nasional yang digelar 10-12 Mei lalu. “Nanti, kertas itu ditulis dengan kode-kode. Misalnya, angka 001 itu untuk jawaban A. Nanti, kode itu dilihatkan teman di belakang. Biar yang belakang tahu,” kata Alif, menirukan lagi arahan dari gurunya. Alif didampingi ibunya, Siami.
Alif sendiri kini sudah mengaku tenang tidak seperti kejadian awal-awal. Alif, tetap memegang prinsip yang diajarkan sang ibu. “Hidup itu harus jujur dan percaya,” kata Alif mengutip pesan sang ibu.(kyd/jpnn)
–
Kronologi Sontek Massal di SDN 06 Petang Pesanggarahan Jakarta Selatan
- Dua hari sebelum UN, siswa yang berprestasi di kumpulkan menjadi beberapa kelompok oleh guru. Indikator prestasi dari hasil tryout dan nilai rapor yang masuk sepuluh besar.
- Dalam pertemuan itu, guru membuat sebuah deklarasi dan kesepakatan tertulis instruksi membagikan jawaban kepada siswa yang tidak berprestasi. Aksi ini disebut juga diketahui kepala sekolah.
- Dalam deklarasi itu, seluruh siswa dilarang memberitahukan pengondisian sontekan massal kepada siapapun. Termasuk wali siswa. Hukuman bagi yang melanggar, bisa tidak lulus dan mendapatkan sanksi berat.
- Saat ujian berlangsung, sontekan berseliweran melalui kertas dan SMS. Saat itu, para siswa bebas membawa HP saat ujian berlangsung.
- Abrary, salah satu siswa yang dipanggil mengadu ke ibunya, Winda Lubis, jika dirinya mendapatkan ancaman dari teman-temannya. Ancaman itu muncul karena dirinya tidak mau memberikan sontekan kepada teman-temannya.
Winda langsung mengkonfirmasi ke pihak sekolah. Tapi, sekolah menyangkalnya. - Winda juga sempat merekam proses ujian menggunakan handycam untuk memastikan anaknya tidak terlibat aksi sontekan massal.
- Setelah merekam, Winda sudah mendapatkan permintaan maaf dari seorang guru yang mengakui adanya kecurangan saat UN.
- Guru tersebut sebagai eksekutor pengondisian sontekan massal. Mendapatkan keterangan itu, Winda kembali lapor ke dinas pendidikan Jakarta Selatan. Tapi, dia malah disuruh tutup mulut.
16 Mei Winda mengadu ke Komnas PA. - Komnas PA berupaya memediasi mempertemukan Winda dengan guru, kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan Jakarta Selatan. Tapi, hanya Winda yang datang.
- 16 Juni akhirnya Winda bisa bertemu dengan aparat Pemprof DKI Jakarta dengan mediasi Komnas PA. Hasilnya, Pemprof DKI menerjunkan tim investigasi menyelediki kasus sontekan massal.
Sumber: Diolah dari laporan ke Komnas PA.