Kadisperindag Demam, Kadistanla ke Luar Kota
Ramadan masih lebih satu bulan lagi, namun harga daging dan Sembilan Bahan Pokok (Sembako) mulai melambung. Keadaan ini sejatinya cepat ditanggapi pihak terkait. Sayang, pejabat terkait malah terkesan santai, bahkan ada yang mengaku sakit dan ada pula yang keluar kota.
Soal kenaikan harga ini memang telah menjadi perbincangan warga Medan. Berangkat dari itu, Sumut Pos pun mendatangi beberapa pasar tradisional seperti Pasar Tradisional Pajak Sikambing di Jalan Kapten Muslim, Medan. “Harga Daging naik Rp10 ribu, yang sebelumnya harga daging hanya Rp65 ribu per kilo menjadi Rp75 ribu per kilonya. Jadi penyebab naiknya harga daging karena pengaruh sapi Australia (import) sudah tidak masuk lagi, “ ujar Wandi (25) yang sudah tiga tahun menjadi pedagang daging di pasar tersebut, Minggu (19/6).
Dikatakannya, dampak dari kebijakan sapi Australia itu sangat besar. Kini daging semakin sulit didapatkan. “Stok daging belum bisa dipastikan, barang belum pasti. Kita yang punya uang pun tidak dihargai oleh pemasok. Pemasok tidak berani menerima panjar karena keterbatasan daging (Sapi Hidup, Red),” tambah Wandi.
Lalu, bagaimana dengan persiapan Ramadan? Meski belum tampak pengaruhnya, Wandi memprediksi kenaikan akan semakin tinggi lagi. “Kalau terus begini, harga daging dua minggu sebelum puasa bisa naik menjadi Rp85-90 ribu per kilo, “ bebernya.
Sementara, persis dengan daging, sembako juga naik tajam. Bahkan, menurut Buyung, pedagang di Pasar Sikambing, ada bahan pokok yang kenaikannya hingga 20 ribu rupiah. “Beras naiknya Rp20 ribu, kemudian minyak makan naik Rp6 ribu, naik semualah,” terang Buyung.
Terkait kenaikan daging dan sembako itu, Disperindag, hari ini Senin (20/6) akan melakukan monitoring ke pasar-pasar tradisional di Kota Medan. “Ya, kita akan langsung turun,” ujarnya Kadisperindag (Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan) Kota Medan Syarizal Arif kepada Sumut Pos, Minggu (19/6) siang.
Soal kenaikan harga daging yang melambung tinggi, Syarizal tak mau menjawab karena bukan haknya untuk memberi keterangan. “Kalau kenaikan harga daging, jangan sama saya. Langsung saja ke Dinas Pertanian dan Kelautan,” cetusnya.
Dari perbincangan tersebut, Kadisperindag tampaknya kurang memahami gejala yang terjadi. Bagaimana tidak, ketika ditanya soal beras yang naik hingga Rp20 ribu, Syarizal malah menjawab dengan kalimat yang setiap orang bisa menjawab tanpa harus menjadi Kadisperindag. “Bisa saja harga naik, mungkin karena gagal panen,” jawabnya.
Pun ketika disinggung soal sembako lainnya, Syarizal malah mengelak menjawab. “Saya sedang kurang sehat, Senin (hari ini, Red) kita akan lakukan monitoring. Tunggulah, lagi demam aku,” ucapnya.
Sementara, Kadis Pertanian dan Kelautan (Kadistanla), Wahid yang dikonfirmasi terkait kenaikan harga daging, tidak mau mengangkat telepon. Ketika di SMS, Wahid malah membalas keberadaan dirinya yang sedang di luar kota. “Saya sdg diluar kota, mohon maaf,” tulisnya dalam pesan singkat. (adl)
Omset RPH Menurun
Kebijakan Pemerintah Australia untuk menghentikan Sapi ke Indonesia tidak hanya menggoyang harga daging. Pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) pun kena imbas.Bahkan, RPH Medan di kawasan Mabar anjlok hingga 10 kali lipat.
Penurunan omset mulai dirasakan sejak dikeluarkannya kebijakan Pemerintah Australia untuk menghentikan ekspor sapi ke Indonesia. Ya, sebelumnya pihak otoritas Australia mengancam akan menghentikan suplai sapinya ke Indonesia karena mendapat dokumen dan video dari siaran stasiun televisi ABC yang menggambarkan tiga rumah potong hewan (RPH) melakukan pemotongan secara keji dan brutal. Ketiga RPH itu adalah RPH Mabar di Medan, RPH Bayur Tangerang, dan RPH Herman Lampung, tapi kemudian tambah sembilan RPH lagi (lihat grafis). Nah, 12 RPH ini akhirnya ditetapkan tak boleh memotong sapi asal Australia karena teridentifikasi tak menerapkan kaidah animal welfare (kesejahteraan hewan). Dan, hingga kini belum dipastikan sampai kapan 12 RPH tersebut distop mendapat suplai pemotongan sapi asal Australia.
Akibat dari itu, RPH Mabar mengalami penurunan omset. Hal ini diungkapkan Kepala Bagian Umum RPH Mabar, Andi Sulistiawan. Menurut keterangannya, sebelum pemerintah Australia menghentikan ekspor sapi, dalam sehari pihaknya memotong hingga 40 ekor sapi. “Namun kini, kami hanya memotong 3 sampai 4 ekor saja,” ujarnya sembari menerangkan pihak RPH hanya mengenakan biaya Rp56.000 setiap ekornya.
Sebelumnya RPH yang dikelola oleh Dinas Pertanian dan Hortikultura Kota Binjai nyaris tutup total sejak Australia menghentikan pasokan sapinya. Kabid Peternakan, Drh Tantina Purba, Selasa (7/6) lalu, mengatakan dihentikannya operasional RPH ini dikarenakan sekitar 80% pasokan sapi yang dipotong di wilayahnya itu merupakan sapi Australia yang dikirim dari Lampung, sedangkan sisanya merupakan sapi lokal. (bbs/jpnn)