25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Memahami Agenda Setting Media

Oleh: Fakhrunnas MA Jabbar

Ketika Presiden Amerika Serikat (AS) melakukan invasi militer ke Irak dengan dalih ingin  melucuti senjata pemusnah massal pada tahun 2003 silam,  ratusan wartawan dari berbagai media diberi briefing pers (press briefing).

Intinya, serangan AS yang akhirnya bermuara pada penggulingan Saddam Hussein itu harus dipandang sebagai tindakan legal dan wajar. Meskipun di belakang layar (behind the scene), sesungguhnya pemerintah AS sebagai negara adidaya berambisi untuk membungkam Saddam yang merepresentasikan kekuatan dunia Islam yang cukup berpengaruh.

Pola yang sama pun lebih awal dilakukan pemerintah AS ketika membangun stigma buruk terhadap dunia Islam yang pro-terorisme saat terjadi penyerangan terhadap Menara Kembar yang dikenal sebagai “Peristiwa 9/11” pada tahun 2001.

Namun apa yang dilakukan Gedung Putih dengan “mewarnai” setiap pemberitaan media dalam membangun opini yang memihak kepentingan AS sesungguhnya sebuah cara legal dalam ilmu komunikasi yang disebut Agenda Setting Theory (Teori Penentuan Agenda) yang diperankan oleh pemilik media berpengaruh.

Gubernur Riau HM Rusli Zainal baru saja mengalami saat KPK menetapkan pencekalan atas dirinya ke luar negeri selama enam bulan terkait pemeriksaan kasus suap venues PON XVIII yang akan digelar September tahun ini.

Pemberitaan media sangat beragam dan berwarna. Ada media elektronik yang mempublikasikan secara luas dengan menyebutkan RZ -singkatan populer nama Rusli Zainal- “menghilang” atau “melarikan diri”.

Padahal secara keilmuan pers, konfirmasi langsung dari RZ atau pihak humasnya tidak dilakukan secara maksimal. Bila RZ tidak bisa dihubungi bukanlah berarti RZ “menghilang” atau “melarikan diri” dari kejaran media.

Hal inilah yang memicu banyak pengusaha atau penguasa ekonomi yang berlomba-lomba menguasai kepemilikan saham media agar dapat memperlancar target-target pembentukan opini dan upaya membangun citra (image building) di tengah-tengah perubahan dunia yang tak terkendali.

Di abad komunikasi yang ditengarai futurolog John Naisbitt melalui buku fenomenal Megatrends 2000 tiga dasawarsa silam sebagai penguasaan teknologi komunikasi dan informasi, nyata sekali siapa yang menguasai informasi dan komunikasi dipastikan akan menguasai dunia. Realitas peristiwa yang tidak normatif secara mudah bisa “diarahkan” sebagai peristiwa yang lumrah dan patut didukung publik luas.

Oleh sebab itu, bisa dimafhumi bila lobi-lobi Yahudi di dunia internasional begitu kuat dan mangkus karena sangat didukung oleh media. Apalagi salah satu raja media yang berdarah Yahudi itu bernama Rupet Murdoch saat ini sangat menguasai jaringan media berpengaruh sekaliber CNN.
Peta kekuatan media massa (cetak dan elektronik) di Indonesia mengalami metamorfosis yang luar biasa. Kepemilikan media yang terpola pada beberapa raja media baik pemain lama maupun baru makin memperkuat fenomena agenda setting itu.

Setidak-tidaknya ada beberapa penguasa media di Indonesia saat ini di antaranya Dahlan Iskan (melalui Jawa Pos Group termasuk J-TV dan televisi lokal lainnya), Surya Paloh (Media Group berupa Media Indonesia dan Metro Tv), Aburizal Bakrie (Viva News termasuk TVOne, Anteve, dll), Harry Tanoesudibjo (MNC Group -RCTI, Global TV, MNC TV dan media cetak Sindo, Trust dll), Chairul Tanjung (Trans TV dan Trans 7), Jakob Oetama (Kompas-Gramedia Group termasuk Kompas dan puluhan media lokal, Kompas TV) dan masih ada beberapa penguasa lagi.

Pola dan arah pemberitaan dari masing-masing media memperlihatkan warna ideologi dan agenda setting yang berbeda bahkan sangat bertolak belakang antara satu grup media dengan grup media lainnya.

Pemberitaan tentang kasus Lumpur Lapindo yang melibatkan pengusaha Aburizal Bakrie justru menjadi menu berita dominan bagi media massa di bawah Surya Paloh yang tak lain merupakan rivalitas politiknya saat berada di bawah payung Golkar.

Begitu pula, aktivitas Surya Paloh yang kadangkala mengangkangi kepentingan publik justru akan diulas dan di-blow up oleh grup media Viva News.
Teori Agenda Setting Media ini dipercaya bermula saat seorang penerbit surat kabar terkemuka di New York bernama William Randolp Hearts yang mengirim seorang ilustrator ke Kuba guna meliput kemungkinan pecahnya perang melawan Spanyol.

Setelah sampai di Kuba, situasi aman-aman saja sehingga sang illustrator (baca: wartawan/reporter) ingin pulang aja. Tapi Hearst memerintahkan wartawannya di Kuba agar tetap bertahan dengan menulis telegram singkat: “Tetaplah bertahan di sana. Anda sediakan gambar (baca: berita) dan saya akan siapkan perang”.

Ulah Hearst yang mem-blow up peristiwa yang tak sesuai fakta tersebut sangat mengundang kritik banyak pihak. Namun, sejak itulah sesungguhnya Teori Agenda Setting itu sudah dimulai.

Hampir setiap hari muncul pemberitaan yang sarat dengan agenda setting media. Agenda itu boleh bersifat kepentingan politis dan ideologis atau sama sekali terkait kepentingan bisnis atau kompetisi dalam industri media.

Oleh sebab itu, dalam setiap peristiwa yang terkait perebutan pengaruh atau elektabilitas (upaya pemenangan suara dalam sebuah pemelihan -election) selalu saja teori agenda setting media muncul begitu dominan.

Penggunaan halaman-halaman media cetak atau slot acara media elektronik yang berisi iklan/advertising baik secara formal-terbuka maupun secara tersembunyi dalam proses Pemilu legislatif dan eksekutif,  Pemilukada atau pemilihan pimpinan parpol atau organisasi massa yang berpengaruh, selalu lebih “ramai” melalui pemberitaan media. Black campaign (kampanye hitam), provokasi dan agitasi begitu gampang terjadi untuk menjatuhkan posisi lawan politik.

Teori Agenda Setting Media dalam jangka panjang sangat berpengaruh terhadap kredibilitas media di mata publik. Obyektifitas pemberitaan yang sejak awal pertumbuhan dan perkembangan teori pers bahkan menjadi landasan pokok tugas-tugas jurnalistik secara perlahan mengalami pergeseran nilai.
Apa yang diberitakan media lama-kelamaan tak selamanya harus benar atau obyektif. Namun, upaya meyakini kebenaran sebuah berita mesti didukung oleh kepiawaian pembaca dalam menempatkan posisi media dalam kerangka agenda setting yang tak dapat dihindari karena aspek subyektifitas-manusiawi.***

(Penulis: Budayawan, mahasiswa Magister Komunikasi UMJ-Umri, dan pengajar di UIR.)

Oleh: Fakhrunnas MA Jabbar

Ketika Presiden Amerika Serikat (AS) melakukan invasi militer ke Irak dengan dalih ingin  melucuti senjata pemusnah massal pada tahun 2003 silam,  ratusan wartawan dari berbagai media diberi briefing pers (press briefing).

Intinya, serangan AS yang akhirnya bermuara pada penggulingan Saddam Hussein itu harus dipandang sebagai tindakan legal dan wajar. Meskipun di belakang layar (behind the scene), sesungguhnya pemerintah AS sebagai negara adidaya berambisi untuk membungkam Saddam yang merepresentasikan kekuatan dunia Islam yang cukup berpengaruh.

Pola yang sama pun lebih awal dilakukan pemerintah AS ketika membangun stigma buruk terhadap dunia Islam yang pro-terorisme saat terjadi penyerangan terhadap Menara Kembar yang dikenal sebagai “Peristiwa 9/11” pada tahun 2001.

Namun apa yang dilakukan Gedung Putih dengan “mewarnai” setiap pemberitaan media dalam membangun opini yang memihak kepentingan AS sesungguhnya sebuah cara legal dalam ilmu komunikasi yang disebut Agenda Setting Theory (Teori Penentuan Agenda) yang diperankan oleh pemilik media berpengaruh.

Gubernur Riau HM Rusli Zainal baru saja mengalami saat KPK menetapkan pencekalan atas dirinya ke luar negeri selama enam bulan terkait pemeriksaan kasus suap venues PON XVIII yang akan digelar September tahun ini.

Pemberitaan media sangat beragam dan berwarna. Ada media elektronik yang mempublikasikan secara luas dengan menyebutkan RZ -singkatan populer nama Rusli Zainal- “menghilang” atau “melarikan diri”.

Padahal secara keilmuan pers, konfirmasi langsung dari RZ atau pihak humasnya tidak dilakukan secara maksimal. Bila RZ tidak bisa dihubungi bukanlah berarti RZ “menghilang” atau “melarikan diri” dari kejaran media.

Hal inilah yang memicu banyak pengusaha atau penguasa ekonomi yang berlomba-lomba menguasai kepemilikan saham media agar dapat memperlancar target-target pembentukan opini dan upaya membangun citra (image building) di tengah-tengah perubahan dunia yang tak terkendali.

Di abad komunikasi yang ditengarai futurolog John Naisbitt melalui buku fenomenal Megatrends 2000 tiga dasawarsa silam sebagai penguasaan teknologi komunikasi dan informasi, nyata sekali siapa yang menguasai informasi dan komunikasi dipastikan akan menguasai dunia. Realitas peristiwa yang tidak normatif secara mudah bisa “diarahkan” sebagai peristiwa yang lumrah dan patut didukung publik luas.

Oleh sebab itu, bisa dimafhumi bila lobi-lobi Yahudi di dunia internasional begitu kuat dan mangkus karena sangat didukung oleh media. Apalagi salah satu raja media yang berdarah Yahudi itu bernama Rupet Murdoch saat ini sangat menguasai jaringan media berpengaruh sekaliber CNN.
Peta kekuatan media massa (cetak dan elektronik) di Indonesia mengalami metamorfosis yang luar biasa. Kepemilikan media yang terpola pada beberapa raja media baik pemain lama maupun baru makin memperkuat fenomena agenda setting itu.

Setidak-tidaknya ada beberapa penguasa media di Indonesia saat ini di antaranya Dahlan Iskan (melalui Jawa Pos Group termasuk J-TV dan televisi lokal lainnya), Surya Paloh (Media Group berupa Media Indonesia dan Metro Tv), Aburizal Bakrie (Viva News termasuk TVOne, Anteve, dll), Harry Tanoesudibjo (MNC Group -RCTI, Global TV, MNC TV dan media cetak Sindo, Trust dll), Chairul Tanjung (Trans TV dan Trans 7), Jakob Oetama (Kompas-Gramedia Group termasuk Kompas dan puluhan media lokal, Kompas TV) dan masih ada beberapa penguasa lagi.

Pola dan arah pemberitaan dari masing-masing media memperlihatkan warna ideologi dan agenda setting yang berbeda bahkan sangat bertolak belakang antara satu grup media dengan grup media lainnya.

Pemberitaan tentang kasus Lumpur Lapindo yang melibatkan pengusaha Aburizal Bakrie justru menjadi menu berita dominan bagi media massa di bawah Surya Paloh yang tak lain merupakan rivalitas politiknya saat berada di bawah payung Golkar.

Begitu pula, aktivitas Surya Paloh yang kadangkala mengangkangi kepentingan publik justru akan diulas dan di-blow up oleh grup media Viva News.
Teori Agenda Setting Media ini dipercaya bermula saat seorang penerbit surat kabar terkemuka di New York bernama William Randolp Hearts yang mengirim seorang ilustrator ke Kuba guna meliput kemungkinan pecahnya perang melawan Spanyol.

Setelah sampai di Kuba, situasi aman-aman saja sehingga sang illustrator (baca: wartawan/reporter) ingin pulang aja. Tapi Hearst memerintahkan wartawannya di Kuba agar tetap bertahan dengan menulis telegram singkat: “Tetaplah bertahan di sana. Anda sediakan gambar (baca: berita) dan saya akan siapkan perang”.

Ulah Hearst yang mem-blow up peristiwa yang tak sesuai fakta tersebut sangat mengundang kritik banyak pihak. Namun, sejak itulah sesungguhnya Teori Agenda Setting itu sudah dimulai.

Hampir setiap hari muncul pemberitaan yang sarat dengan agenda setting media. Agenda itu boleh bersifat kepentingan politis dan ideologis atau sama sekali terkait kepentingan bisnis atau kompetisi dalam industri media.

Oleh sebab itu, dalam setiap peristiwa yang terkait perebutan pengaruh atau elektabilitas (upaya pemenangan suara dalam sebuah pemelihan -election) selalu saja teori agenda setting media muncul begitu dominan.

Penggunaan halaman-halaman media cetak atau slot acara media elektronik yang berisi iklan/advertising baik secara formal-terbuka maupun secara tersembunyi dalam proses Pemilu legislatif dan eksekutif,  Pemilukada atau pemilihan pimpinan parpol atau organisasi massa yang berpengaruh, selalu lebih “ramai” melalui pemberitaan media. Black campaign (kampanye hitam), provokasi dan agitasi begitu gampang terjadi untuk menjatuhkan posisi lawan politik.

Teori Agenda Setting Media dalam jangka panjang sangat berpengaruh terhadap kredibilitas media di mata publik. Obyektifitas pemberitaan yang sejak awal pertumbuhan dan perkembangan teori pers bahkan menjadi landasan pokok tugas-tugas jurnalistik secara perlahan mengalami pergeseran nilai.
Apa yang diberitakan media lama-kelamaan tak selamanya harus benar atau obyektif. Namun, upaya meyakini kebenaran sebuah berita mesti didukung oleh kepiawaian pembaca dalam menempatkan posisi media dalam kerangka agenda setting yang tak dapat dihindari karena aspek subyektifitas-manusiawi.***

(Penulis: Budayawan, mahasiswa Magister Komunikasi UMJ-Umri, dan pengajar di UIR.)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/