25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Diskusi Warung Bersama Medan, Seni tanpa Penonton?

Jones Gultom

Ketika bertandang ke Pattaya, Thailand, beberapa waktu lalu dan menyaksikan pertunjukan Kabaret Alcazar, saya langsung teringat dengan salah satu karya yang pernah dipentaskan  tim teater dari Bandung, berjudul Sangkuriang.

Sangkuriang ikut mengisi festival teater bertajuk eksperimental yang berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta 2003 silam. Sangkuriang yang konsepnya kabaret itu, berhasil memborong beberapa nominasi.

Saya sempat tak sepakat waktu itu. Mengingat kabaret bukan sesuatu yang asing dalam dunia berkesenian tanah air. Namun keputusan juri yang di antaranya, Afrizal Malna dan Benny Yohannes, tetap harus dihargai.

Barangkali ada sisi berbeda yang mereka lihat dari karya itu. Apalagi fakta membuktikan, ketika “Sangkuriang” dipentaskan, penonton cukup apresiatif. Riuh-rendah tepuk tangan penonton membahana dari awal sampai akhir.

Berbeda dengan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya. Mungkin entah karena karyanya yang terlalu serius atau penonton yang tidak mengerti, tak terdengar satu aplaus pun dari penonton, bahkan sampai pertunjukan usai.

Pertunjukan Kabaret Alcazar dan Sangkuriang bisa jadi pengalaman. Untuk menyaksikan Kabaret Alcazar misalnya, penonton mesti membayar sebesar 600 baht, sekitar Rp180.000 (kurs 1 baht = Rp300) dan 700 baht untuk satu kursi kelas VIP. Walau ditampilkan 3 kali sehari, dengan cerita dan konsep yang sama, penonton tetap membludak memenuhi 1500 seat kursi yang tersedia.

Begitu juga dengan kelompok teater Bandung yang mementaskan Sangkuriang itu. Dengan memanajemen penontonnya sendiri (seperti yang pernah dilakukan Bengkel Teater Rendra) konon panggung mereka tak pernah sepi.

Menurut penulis, manajemen penonton inilah yang gagal dilakukan oleh para pelaku seni di kota ini. Tak heran, jika beberapa kali event seni di Medan, kehadiran penonton terbilang minim. Padahal peluang itu cukup besar, mengingat sebagian besar pelaku seni di Medan juga merangkap dosen maupun guru yang memiliki basis penonton yang jelas. Tapi tak cukup bermain “sendiri”.

Seniman tari, misalnya boleh jadi meminta seniman teater untuk mengerahkan basis-basis penontonnya. Dengan komunikasi yang baik, toh karya itu bisa dijadikan bahan rujukan kuliah bersama.

Kerja Kolektif Tari

Harus diakui dalam sebuah lomba, apresiasi penonton sedikit-banyaknya akan memengaruhi subjektivitas penjurian. Jangankan seni yang penilaiannya kadang tak “lazim”, dalam dunia olahraga sekalipun, kehadiran supporter sangat berpengaruh.

Itu sebabnya, tim yang bermain di kandang sendiri, dianggap sudah unggul lebih dulu dari lawannya. Kesenjangan inilah yang menjadi persoalan kesenian di tanah air, khususnya di Medan. Kian lebarnya jarak antara penonton dengan karya itu sendiri, termasuk faktor utama yang membuat seni di Medan terus terpuruk. Kesan ini terungkap lewat diskusi yang digelar “Warung Diskusi Bersama” pimpinan Ojak Manalu di Taman Budaya Sumatera Utara, 28 April 2012 lalu.

Diskusi yang mengambil tema “Melirik Event tari di Kota Medan” sebagai evaluasi dari pagelaran “Inovasi 3” (20-21 April, sebagai bagian dari Pekarya Sumut Bicara 2012) karya Suwarsono yang dianggap gagal menghadirkan penonton.

Selain Suwarsono, sejumlah koreografer dan seniman tari Medan hadir dalam diskusi itu antara lain, Drs Dillinar Adlin MPd, Martozet, Iwan Tarok, Ijal, Haris. Selain itu beberapa pekerja seni lain, seperti Agus Susilo (teater) dan Jones Gultom (sastra) turut memberikan masukan. Seperti dijelaskan di atas, minimnya penonton bukan hanya dialami oleh dunia tari, tapi juga nyaris semua genre seni.

Keadaan ini disinyalir yang menyebabkan pelaku seni, khususnya tari di Medan, jadi sungkan menggelar event. Namun menurut Suwarsono, tak ada yang bisa disalahkan. “Medan memang bukan kota seni serius, seperti Solo, Yogya, Padang, Lampung ataupun Pekanbaru. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena tak ada institusi formal seni di kota ini. Maka sangat wajar jika kerja-kerja kebudayaan yang standart merupakan sesuatu yang asing bagi pelaku seni di Medan.”

Menurut Suwarsono yang lahir dan besar di Yogyakarta dan pernah mengecap pendidikan seni di ISI di kota Gudeg itu, harapan kesenian di Medan lebih kepada mindset pemerintahnya. “Jangan disalahkan seniman ataupun penonton, karena sudah syukur mereka masih mau menghidupkan kesenian meski dalam situasi rumit seperti ini,” katanya.

Menambahi Suwarsono, Dilinar Adlin, menegaskan sebenarnya event tari di Medan pernah berjaya dengan digelarnya Medan Annual Choreografers (MACs). Sayangnya event berskala nasional ini mandek selama 2 tahun belakangan. Dillinar menawarkan agar event ini digelar kembali. Tentang pendanaan yang selama ini dianggap menjadi masalah klasik harus diatasi sendiri oleh senimannya. Salah satunya dengan menghimpun dana bersama, meski tetap membangun komunikasi dengan pemerintah dan sponsor. Pendapat Dilli dibenarkan Agus Susilo. Seniman teater ini meyakinkan seniman harus terus berkarya. Tidak mesti menunggu event yang notebene berharap pendanaan dari luar.

Menyambung ketiganya, Martozet menekankan pentingnya membangun kerjasama antar pelaku genre seni. Kerjasama itu, selain akan menciptakan tanggungjawab bersama sesama pelaku seni, lebih jauh juga merangsang kerja-kerja kebudayaan yang lebih kompleks. Berbeda dari lainnya, secara spesifik Iwan Tarok menyoroti fenomena yang terjadi dalam dunia tari di Medan. Menurut dosen Unimed ini, di banding seni lainnya, tari di Medan termasuk minim diapresiasi media massa. Jones Gultom lantas menanggapi Iwan Tarok. Menurut redaktur sastra dan seni di salah satu media ini, yang terjadi justru sebalinya.

Wartawan seni-lah yang selama ini sering diabaikan. Jika pun diundang, posisinya semata-mata dianggap sekedar peliput. Menurut Jones, yang juga sastrawan ini, wartawan seni harus sering dilibatkan, terutama dalam diskusi sebuah karya. Selain itu, mindset Jawa sebagai pusat seni harus dihapuskan dari benak para seniman Medan. “Produk kesenian tidak bisa dibanding-bandingkan, jika konsepnya memang kuat mendasar,” jelas Jones. Pada akhirnya, diskusi itu menyimpulkan tentang komitmen perunya menghidupkan kembali MACs, dengan manajemen yang lebih profesional serta membuka ruang diskusi antar pekerja seni yang ada di Medan. (*)

Penulis adalah pemerhati seni di Medan

Jones Gultom

Ketika bertandang ke Pattaya, Thailand, beberapa waktu lalu dan menyaksikan pertunjukan Kabaret Alcazar, saya langsung teringat dengan salah satu karya yang pernah dipentaskan  tim teater dari Bandung, berjudul Sangkuriang.

Sangkuriang ikut mengisi festival teater bertajuk eksperimental yang berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta 2003 silam. Sangkuriang yang konsepnya kabaret itu, berhasil memborong beberapa nominasi.

Saya sempat tak sepakat waktu itu. Mengingat kabaret bukan sesuatu yang asing dalam dunia berkesenian tanah air. Namun keputusan juri yang di antaranya, Afrizal Malna dan Benny Yohannes, tetap harus dihargai.

Barangkali ada sisi berbeda yang mereka lihat dari karya itu. Apalagi fakta membuktikan, ketika “Sangkuriang” dipentaskan, penonton cukup apresiatif. Riuh-rendah tepuk tangan penonton membahana dari awal sampai akhir.

Berbeda dengan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya. Mungkin entah karena karyanya yang terlalu serius atau penonton yang tidak mengerti, tak terdengar satu aplaus pun dari penonton, bahkan sampai pertunjukan usai.

Pertunjukan Kabaret Alcazar dan Sangkuriang bisa jadi pengalaman. Untuk menyaksikan Kabaret Alcazar misalnya, penonton mesti membayar sebesar 600 baht, sekitar Rp180.000 (kurs 1 baht = Rp300) dan 700 baht untuk satu kursi kelas VIP. Walau ditampilkan 3 kali sehari, dengan cerita dan konsep yang sama, penonton tetap membludak memenuhi 1500 seat kursi yang tersedia.

Begitu juga dengan kelompok teater Bandung yang mementaskan Sangkuriang itu. Dengan memanajemen penontonnya sendiri (seperti yang pernah dilakukan Bengkel Teater Rendra) konon panggung mereka tak pernah sepi.

Menurut penulis, manajemen penonton inilah yang gagal dilakukan oleh para pelaku seni di kota ini. Tak heran, jika beberapa kali event seni di Medan, kehadiran penonton terbilang minim. Padahal peluang itu cukup besar, mengingat sebagian besar pelaku seni di Medan juga merangkap dosen maupun guru yang memiliki basis penonton yang jelas. Tapi tak cukup bermain “sendiri”.

Seniman tari, misalnya boleh jadi meminta seniman teater untuk mengerahkan basis-basis penontonnya. Dengan komunikasi yang baik, toh karya itu bisa dijadikan bahan rujukan kuliah bersama.

Kerja Kolektif Tari

Harus diakui dalam sebuah lomba, apresiasi penonton sedikit-banyaknya akan memengaruhi subjektivitas penjurian. Jangankan seni yang penilaiannya kadang tak “lazim”, dalam dunia olahraga sekalipun, kehadiran supporter sangat berpengaruh.

Itu sebabnya, tim yang bermain di kandang sendiri, dianggap sudah unggul lebih dulu dari lawannya. Kesenjangan inilah yang menjadi persoalan kesenian di tanah air, khususnya di Medan. Kian lebarnya jarak antara penonton dengan karya itu sendiri, termasuk faktor utama yang membuat seni di Medan terus terpuruk. Kesan ini terungkap lewat diskusi yang digelar “Warung Diskusi Bersama” pimpinan Ojak Manalu di Taman Budaya Sumatera Utara, 28 April 2012 lalu.

Diskusi yang mengambil tema “Melirik Event tari di Kota Medan” sebagai evaluasi dari pagelaran “Inovasi 3” (20-21 April, sebagai bagian dari Pekarya Sumut Bicara 2012) karya Suwarsono yang dianggap gagal menghadirkan penonton.

Selain Suwarsono, sejumlah koreografer dan seniman tari Medan hadir dalam diskusi itu antara lain, Drs Dillinar Adlin MPd, Martozet, Iwan Tarok, Ijal, Haris. Selain itu beberapa pekerja seni lain, seperti Agus Susilo (teater) dan Jones Gultom (sastra) turut memberikan masukan. Seperti dijelaskan di atas, minimnya penonton bukan hanya dialami oleh dunia tari, tapi juga nyaris semua genre seni.

Keadaan ini disinyalir yang menyebabkan pelaku seni, khususnya tari di Medan, jadi sungkan menggelar event. Namun menurut Suwarsono, tak ada yang bisa disalahkan. “Medan memang bukan kota seni serius, seperti Solo, Yogya, Padang, Lampung ataupun Pekanbaru. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena tak ada institusi formal seni di kota ini. Maka sangat wajar jika kerja-kerja kebudayaan yang standart merupakan sesuatu yang asing bagi pelaku seni di Medan.”

Menurut Suwarsono yang lahir dan besar di Yogyakarta dan pernah mengecap pendidikan seni di ISI di kota Gudeg itu, harapan kesenian di Medan lebih kepada mindset pemerintahnya. “Jangan disalahkan seniman ataupun penonton, karena sudah syukur mereka masih mau menghidupkan kesenian meski dalam situasi rumit seperti ini,” katanya.

Menambahi Suwarsono, Dilinar Adlin, menegaskan sebenarnya event tari di Medan pernah berjaya dengan digelarnya Medan Annual Choreografers (MACs). Sayangnya event berskala nasional ini mandek selama 2 tahun belakangan. Dillinar menawarkan agar event ini digelar kembali. Tentang pendanaan yang selama ini dianggap menjadi masalah klasik harus diatasi sendiri oleh senimannya. Salah satunya dengan menghimpun dana bersama, meski tetap membangun komunikasi dengan pemerintah dan sponsor. Pendapat Dilli dibenarkan Agus Susilo. Seniman teater ini meyakinkan seniman harus terus berkarya. Tidak mesti menunggu event yang notebene berharap pendanaan dari luar.

Menyambung ketiganya, Martozet menekankan pentingnya membangun kerjasama antar pelaku genre seni. Kerjasama itu, selain akan menciptakan tanggungjawab bersama sesama pelaku seni, lebih jauh juga merangsang kerja-kerja kebudayaan yang lebih kompleks. Berbeda dari lainnya, secara spesifik Iwan Tarok menyoroti fenomena yang terjadi dalam dunia tari di Medan. Menurut dosen Unimed ini, di banding seni lainnya, tari di Medan termasuk minim diapresiasi media massa. Jones Gultom lantas menanggapi Iwan Tarok. Menurut redaktur sastra dan seni di salah satu media ini, yang terjadi justru sebalinya.

Wartawan seni-lah yang selama ini sering diabaikan. Jika pun diundang, posisinya semata-mata dianggap sekedar peliput. Menurut Jones, yang juga sastrawan ini, wartawan seni harus sering dilibatkan, terutama dalam diskusi sebuah karya. Selain itu, mindset Jawa sebagai pusat seni harus dihapuskan dari benak para seniman Medan. “Produk kesenian tidak bisa dibanding-bandingkan, jika konsepnya memang kuat mendasar,” jelas Jones. Pada akhirnya, diskusi itu menyimpulkan tentang komitmen perunya menghidupkan kembali MACs, dengan manajemen yang lebih profesional serta membuka ruang diskusi antar pekerja seni yang ada di Medan. (*)

Penulis adalah pemerhati seni di Medan

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/