30 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

Konflik Pertanahan

Oleh:
Suhrawardi K Lubis dan Usaha Ginting

Dari hari ke hari di negeri ini semakin banyak ditemukan diskursus pertanahan. Terjadinya karut marut tentang pertanahan semakin terang benderang dengan banyaknya konflik-konflik yang tak berkesudahan, selesai yang satu tumbuh lagi konflik yang baru, bak pepatah “mati satu tumbuh seribu”.
Penanganan konflik-konflik pertahanan yang terjadi ditangani pemerintah setengah hati, sehingga penanganan yang dilakukan tidak dapat menjawab karut-marut konflik pertanahan. Bahkan setiap hari terus muncul episode baru konflik pertanahan, seolah-olah tidak akan ada ujung. Konflik pertanahan di negeri ini seperti “bom waktu” yang sewaktu-waktu siap meledak.

Masih segar di ingatan apa yang terjadi di Papua dengan kasus Freeport-nya, di Lampung dan Sumatera Selatan dengan kekerasan Mesuji, di Sumatera Barat dengan kasus Maligi-nya, di beberapa daerah Sumatera Utara dengan kasus-kasus sengketa masyarakat dengan pihak perkebunan. Bahkan masih banyak lagi konflik-konflik yang seolah-olah menanti jadwal tayang dan selalu akan memakan korban baik nyawa maupun harta benda.

Apa sebenarnya yang menjadi akar masalah konflik-konflik pertanahan yang selalu terjadi dan sulit untuk menemukan titik terangnya? Menjawab pertanyaan ini, tentu tidak mudah, sebab konflik-konflik yang terjadi bersifat sistemik. Istilah yang cocok untuk menggambarkan kondisi saat ini dapat dikemukakan bahwa problematik pertanahan seperti berada dalam sebuah lingkaran yang terus berputar tidak ada ujungnya.

Namun demikian, melihat kepada model-model konflik pertanahan yang terjadi, setidaknya dapat diklasifikasikan kepada 2 (dua) model konflik, yaitu: pertama, konflik horizontal dan kedua konflik vertikal. Konflik horizontal biasanya terjadi antara masyarakat dengan masyarakat lainnya yang memperebutkan satu bidang lahan, sedangkan konflik vertikal terjadi antara masyarakat dengan pihak ketiga. Pihak ketiga disini biasanya investor yang berinvestasi di suatu paguyuban masyarakat, baik berupa usaha perkebunan, kehutanan maupun pertambangan.

Di lihat dari kedua model konflik pertanahan di atas, yang sering terjadi adalah konflik model kedua yaitu model konflik vertikal antara masyarakat dengan pihak ketiga. Kehadiran pihak ketiga dalam suatu paguyuban masyarakat memang tidak selalu mendapat respons yang negatif dari masyarakat disekitar konsesi, bahkan terkadang ada masyarakat yang dengan senang hati menerima kehadiran investor di kampung mereka. Sebab dengan masuknya investor, ada efek positifnya kepada masyarakat, misalnya: dibangunnya sarana dan prasarana oleh pihak perusahaan, misalnya jalan atau fasilitas umum lainnya.

Namun demikian, investor yang berinvestasi itu sering juga membawa permasalahan tersendiri kepada masyarakat. Misalnya, dengan masuknya investor selalu ada pihak yang mendominasi dan pihak yang resisten dan masyarakat lazimnya selalu berada di pihak yang kedua.

Modus Konflik

Sebenarnya sangat banyak modus yang menyebabkan terjadinya konflik pertanahan di tengah-tengah masyarakat. Misalnya disebabkan mekanisme pemberian plasma perusahaan atau bahagian konsesi yang diperuntukkan kepada masyarakat adat, seperti yang terjadi di Maligi, Pasaman Barat, baru-baru ini. Konflik kemudian berujung pada bentrok antara masyarakat dengan aparat Kepolisian.

Bila dicermati lebih dalam mengenai apa yang terjadi, sebenarnya masyarakat hanya sekedar meminta hak mereka atas kebun Plasma yang sudah dijanjikan oleh perusahaan dan ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Namun kemudian, pihak perusahaan tidak memenuhi janjinya sama sekali, sehingga masyarakat menuntut hak mereka dengan berbagai cara, diantaranya melakukan demonstrasi kepada pihak perusahaan dan kemudian demontrasi itu berujung konflik.

Selain itu, konflik pertanahan sering juga terjadi disebabkan pemberian izin usaha oleh Pemerintah baik perkebunan, pertambangan dan kehutanan. Izin yang diberikan sering bermasalah karena tidak melibatkan masyarakat adat disekitar tempat yang akan diberikan izin. Bahkan terkesan pemerintah memandang masyarakat tidak penting dalam proses perizinan yang diberikan. Akibatnya izin yang diberikan menimbulkan masalah.

Sering terjadi, izin yang diberikan pemerintah meliputi lahan pertanian dan perkebunan yang dimiliki masyarakat. Bahkan pernah terjadi, lahan pertapakan mesjid dan perumahan disuatu kampung masuk ke dalam lahan areal yang diberikan izin oleh pemerintah kepada salah satu Perusahaan Perkebunan Negara, padahal lahan mesjid dan perumahan tersebut telah dikuasai secara turun temurun selama puluhan bahkan ratusan tahun oleh masyarakat.

Di Sumatera Barat misalnya, dikenal adanya tanah Ulayat, baik tanah Ulayat Suku, Kaum, Nagari ataupun tanah Ulayat Rajo. Tanah ulayat tersebut tentu dimiliki secara komunal atau bersama oleh masyarakat. Kemudian investor masuk dan mendapatkan izin dari pemerintah pusat atau daerah atas tanah ulayat tersebut. Untuk mempermudah proses investasi, investor memberikan uang kepada masyarakat dengan dalih sebagai pengganti kerugian atas tanah ulayat masyarakat adat tersebut.

Dalam pemahaman masyarakat adat Minangkabau uang yang diberikan oleh investor dianggap sebagai “siliah jariah” atau uang pergantian selama tanah ulayat dikelola oleh pihak ketiga. Namun kenyataannya siliah jariah ini sering dipelintir menjadi peralihan hak atas tanah kepada pihak investor, padahal semestinya siliah jariah tersebut hanya melahirkan hak pengelolaan kepada investor. Perbedaan persepsi tersebut menjadi pemicu untuk timbulnya konflik pertanahan.

Selain itu, konflik pertanahan juga sering terjadi disebabkan keberadaan satuan pengamanan baik dari PAM swakarsa yang disiapkan investor maupun aparat Kepolisian yang “diperbantukan” untuk mengamankan areal konsesi perusahaan. Seperti kasus yang terjadi di Mesuji provinsi Lampung dan Maligi di Sumbar. keberadaan satuan pengamanan sering memperuncing konflik pertanahan yang berujung pada pelanggaran HAM. Kenapa semua itu terjadi? karena satuan pengamanan ini cenderung menjadi “tukang pukul” nya perusahaan.

Hal lain yang menyebabkan terjadinya konflik pertanahan ialah masalah tapal batas, sampai saat ini di Indonesia masih banyak tapal batas yang tidak jelas, ini terbukti dengan seringnya klaim penguasaan lahan melebihi izin yang diberikan oleh perusahaan perkebunan, baik perusahaan perkebunan swasta maupun perkebunan Negara. Misalnya sebuah perusahaan perkebunan pemegang HGU mengklaim lahan masyarakat sebagai konsesi mereka, padahal dalam izin HGU sudah jelas batas dan luas areal konsesi yang diberikan, namun investor menggarap tanah melebihi luas yang ada dalam konsesi. Hal ini tentu melahirkan benturan kepemilikan dan berujung kepada konflik pertanahan. Bahkan konflik tapal batas ini juga sering terjadi antar provinsi atau kabupaten, misalnya kasus yang terjadi di tapal batas Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau.

Terjadinya konflik pertanahan sebenarnya dapat diantisipasi, bahkan kalaupun ada konflik akan dapat diselesaikan apabila ada ketegasan dari pemerintah pusat maupun daerah. Namun yang terjadi selama ini pemerintah tidak serius menangani penyelesaian konflik-konflik pertanahan. Ketika sudah ada korban jiwa dan terpublikasi dengan gencar di media, barulah pemerintah seperti “kebakaran jenggot”.

Pemerintah (baik pusat maupun daerah) diharapkan dapat mengantisipasi dan menyelesaikan konflik pertahahan yang terjadi secara serius. Untuk memulainya dapat dilakukan dengan mereformasi peraturan pertanahan, sehingga peraturan pertanahan yang ada lebih pro kepada rakyat, sebab dalam konstitusi dikemukakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Semoga!. (*)

Penulis adalah Dosen dan Mahasiswa PMIH-UMSU Medan

Oleh:
Suhrawardi K Lubis dan Usaha Ginting

Dari hari ke hari di negeri ini semakin banyak ditemukan diskursus pertanahan. Terjadinya karut marut tentang pertanahan semakin terang benderang dengan banyaknya konflik-konflik yang tak berkesudahan, selesai yang satu tumbuh lagi konflik yang baru, bak pepatah “mati satu tumbuh seribu”.
Penanganan konflik-konflik pertahanan yang terjadi ditangani pemerintah setengah hati, sehingga penanganan yang dilakukan tidak dapat menjawab karut-marut konflik pertanahan. Bahkan setiap hari terus muncul episode baru konflik pertanahan, seolah-olah tidak akan ada ujung. Konflik pertanahan di negeri ini seperti “bom waktu” yang sewaktu-waktu siap meledak.

Masih segar di ingatan apa yang terjadi di Papua dengan kasus Freeport-nya, di Lampung dan Sumatera Selatan dengan kekerasan Mesuji, di Sumatera Barat dengan kasus Maligi-nya, di beberapa daerah Sumatera Utara dengan kasus-kasus sengketa masyarakat dengan pihak perkebunan. Bahkan masih banyak lagi konflik-konflik yang seolah-olah menanti jadwal tayang dan selalu akan memakan korban baik nyawa maupun harta benda.

Apa sebenarnya yang menjadi akar masalah konflik-konflik pertanahan yang selalu terjadi dan sulit untuk menemukan titik terangnya? Menjawab pertanyaan ini, tentu tidak mudah, sebab konflik-konflik yang terjadi bersifat sistemik. Istilah yang cocok untuk menggambarkan kondisi saat ini dapat dikemukakan bahwa problematik pertanahan seperti berada dalam sebuah lingkaran yang terus berputar tidak ada ujungnya.

Namun demikian, melihat kepada model-model konflik pertanahan yang terjadi, setidaknya dapat diklasifikasikan kepada 2 (dua) model konflik, yaitu: pertama, konflik horizontal dan kedua konflik vertikal. Konflik horizontal biasanya terjadi antara masyarakat dengan masyarakat lainnya yang memperebutkan satu bidang lahan, sedangkan konflik vertikal terjadi antara masyarakat dengan pihak ketiga. Pihak ketiga disini biasanya investor yang berinvestasi di suatu paguyuban masyarakat, baik berupa usaha perkebunan, kehutanan maupun pertambangan.

Di lihat dari kedua model konflik pertanahan di atas, yang sering terjadi adalah konflik model kedua yaitu model konflik vertikal antara masyarakat dengan pihak ketiga. Kehadiran pihak ketiga dalam suatu paguyuban masyarakat memang tidak selalu mendapat respons yang negatif dari masyarakat disekitar konsesi, bahkan terkadang ada masyarakat yang dengan senang hati menerima kehadiran investor di kampung mereka. Sebab dengan masuknya investor, ada efek positifnya kepada masyarakat, misalnya: dibangunnya sarana dan prasarana oleh pihak perusahaan, misalnya jalan atau fasilitas umum lainnya.

Namun demikian, investor yang berinvestasi itu sering juga membawa permasalahan tersendiri kepada masyarakat. Misalnya, dengan masuknya investor selalu ada pihak yang mendominasi dan pihak yang resisten dan masyarakat lazimnya selalu berada di pihak yang kedua.

Modus Konflik

Sebenarnya sangat banyak modus yang menyebabkan terjadinya konflik pertanahan di tengah-tengah masyarakat. Misalnya disebabkan mekanisme pemberian plasma perusahaan atau bahagian konsesi yang diperuntukkan kepada masyarakat adat, seperti yang terjadi di Maligi, Pasaman Barat, baru-baru ini. Konflik kemudian berujung pada bentrok antara masyarakat dengan aparat Kepolisian.

Bila dicermati lebih dalam mengenai apa yang terjadi, sebenarnya masyarakat hanya sekedar meminta hak mereka atas kebun Plasma yang sudah dijanjikan oleh perusahaan dan ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Namun kemudian, pihak perusahaan tidak memenuhi janjinya sama sekali, sehingga masyarakat menuntut hak mereka dengan berbagai cara, diantaranya melakukan demonstrasi kepada pihak perusahaan dan kemudian demontrasi itu berujung konflik.

Selain itu, konflik pertanahan sering juga terjadi disebabkan pemberian izin usaha oleh Pemerintah baik perkebunan, pertambangan dan kehutanan. Izin yang diberikan sering bermasalah karena tidak melibatkan masyarakat adat disekitar tempat yang akan diberikan izin. Bahkan terkesan pemerintah memandang masyarakat tidak penting dalam proses perizinan yang diberikan. Akibatnya izin yang diberikan menimbulkan masalah.

Sering terjadi, izin yang diberikan pemerintah meliputi lahan pertanian dan perkebunan yang dimiliki masyarakat. Bahkan pernah terjadi, lahan pertapakan mesjid dan perumahan disuatu kampung masuk ke dalam lahan areal yang diberikan izin oleh pemerintah kepada salah satu Perusahaan Perkebunan Negara, padahal lahan mesjid dan perumahan tersebut telah dikuasai secara turun temurun selama puluhan bahkan ratusan tahun oleh masyarakat.

Di Sumatera Barat misalnya, dikenal adanya tanah Ulayat, baik tanah Ulayat Suku, Kaum, Nagari ataupun tanah Ulayat Rajo. Tanah ulayat tersebut tentu dimiliki secara komunal atau bersama oleh masyarakat. Kemudian investor masuk dan mendapatkan izin dari pemerintah pusat atau daerah atas tanah ulayat tersebut. Untuk mempermudah proses investasi, investor memberikan uang kepada masyarakat dengan dalih sebagai pengganti kerugian atas tanah ulayat masyarakat adat tersebut.

Dalam pemahaman masyarakat adat Minangkabau uang yang diberikan oleh investor dianggap sebagai “siliah jariah” atau uang pergantian selama tanah ulayat dikelola oleh pihak ketiga. Namun kenyataannya siliah jariah ini sering dipelintir menjadi peralihan hak atas tanah kepada pihak investor, padahal semestinya siliah jariah tersebut hanya melahirkan hak pengelolaan kepada investor. Perbedaan persepsi tersebut menjadi pemicu untuk timbulnya konflik pertanahan.

Selain itu, konflik pertanahan juga sering terjadi disebabkan keberadaan satuan pengamanan baik dari PAM swakarsa yang disiapkan investor maupun aparat Kepolisian yang “diperbantukan” untuk mengamankan areal konsesi perusahaan. Seperti kasus yang terjadi di Mesuji provinsi Lampung dan Maligi di Sumbar. keberadaan satuan pengamanan sering memperuncing konflik pertanahan yang berujung pada pelanggaran HAM. Kenapa semua itu terjadi? karena satuan pengamanan ini cenderung menjadi “tukang pukul” nya perusahaan.

Hal lain yang menyebabkan terjadinya konflik pertanahan ialah masalah tapal batas, sampai saat ini di Indonesia masih banyak tapal batas yang tidak jelas, ini terbukti dengan seringnya klaim penguasaan lahan melebihi izin yang diberikan oleh perusahaan perkebunan, baik perusahaan perkebunan swasta maupun perkebunan Negara. Misalnya sebuah perusahaan perkebunan pemegang HGU mengklaim lahan masyarakat sebagai konsesi mereka, padahal dalam izin HGU sudah jelas batas dan luas areal konsesi yang diberikan, namun investor menggarap tanah melebihi luas yang ada dalam konsesi. Hal ini tentu melahirkan benturan kepemilikan dan berujung kepada konflik pertanahan. Bahkan konflik tapal batas ini juga sering terjadi antar provinsi atau kabupaten, misalnya kasus yang terjadi di tapal batas Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau.

Terjadinya konflik pertanahan sebenarnya dapat diantisipasi, bahkan kalaupun ada konflik akan dapat diselesaikan apabila ada ketegasan dari pemerintah pusat maupun daerah. Namun yang terjadi selama ini pemerintah tidak serius menangani penyelesaian konflik-konflik pertanahan. Ketika sudah ada korban jiwa dan terpublikasi dengan gencar di media, barulah pemerintah seperti “kebakaran jenggot”.

Pemerintah (baik pusat maupun daerah) diharapkan dapat mengantisipasi dan menyelesaikan konflik pertahahan yang terjadi secara serius. Untuk memulainya dapat dilakukan dengan mereformasi peraturan pertanahan, sehingga peraturan pertanahan yang ada lebih pro kepada rakyat, sebab dalam konstitusi dikemukakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Semoga!. (*)

Penulis adalah Dosen dan Mahasiswa PMIH-UMSU Medan

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru