31.7 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Perempuan dan Logika Androgini

Oleh:Misbahul Ulum

Kemunculan sederet nama politisi perempuan yang belakangan disebut-sebut bakal meramaikan bursa calon presiden 2014 tentu memberikan tanda-tanda yang cukup menggembirakan. Dunia politik yang selama ini dianggap tak pantas bagi kaum perempuan ternyata telah memberikan ruang bagi perempuan untuk melakukan aktualisasi diri.

Namun, ditengah upaya penyetaraan perempuan dalam wilayah publik ini, ternyata masih ada anggapan sebagian besar masyarakat yang menilai bahwa perempuan hanyalah “Kanca Wingking” semata.

Bahkan, ungkapan “Suwarga Nunut, Neraka Katut” (ke surga menumpang, ke neraka ikut) juga masih tertanam kuat di masyarakat. Akibatnya, muncul relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Baik dalam wilayah domestik maupun wilyah publik, baik sewaktu masih kanak-kanak maupun ketika menginjak dewasa.

Relasi yang timpang ini terjadi misalnya saat seseorang memiliki anak laki-laki atu perempuan. Biasanya anak laki-laki akan diberikan permainan yang bersifat mekanik, seperti pistol-pistolan atau mobil-mobilan. Sedangkan anak perempuan diberikan permainan yang bersifat kerumahtanggaan, seperti boneka, alat-alat dapur dan alat-alat rumah tangga lainnya.

Ketika menginjak dewasa, anak laki-laki juga cenderung memiliki kebebasan berekspresi yang jauh lebih luas. Anak perempuan hanya diberikan kebebasan berekspresi dalam dunia rumah tangga saja. Tidak hanya itu, dikotomi antara perempuan dan laki-laki ini juga terjadi dalam ranah dunia kerja dan bidang sosial lainnya.

Pemahaman Parsial
Dalam kultur masyarakat patriarki (dominasi laki-laki), aktivitas perempuan yang keluar dari kebiasaan masyarakat memang selalu menuai pertentangan. Keterlibatan perempuan dalam wilayah publik seolah adalah hal yang tabu. Mereka  hanya diterima dalam ruang domestik saja. Seolah perempuan yang ikut andil dalam wilayah publik adalah sosok perempuan yang “kurang nerima” atau perempuan penentang ideologi familialisme.

Penolakan sebagian masyarakat atas keterlibatan perempuan dalam wilayah publik ini, umunya disebabkan oleh pemahaman tentang maskulinitas dan feminitas yang sangat parsial. Perempuan selalu dituntut untuk menonjolkan sisi feminitasnya secara mutlak dan sempurna, ia harus memiliki sifat merawat, memelihara, serta bertanggung jawab terhadap rumah tangga dan keluarga.
Laki-laki juga demikian. Ia dituntut untuk menonjolkan sifat maskulin secara sempurna. Ia harus mandiri, tidak boleh cengeng dan harus menjadi penentu segala keputusan dalam rumah tangga.

Bukan bermaksud menyalahkan, akan tetapi pemahaman seperti ini lambat laun tentu hanya akan mengakibatkan jurang pemisah yang kian tajam antara laki-laki dan perempuan. Kehadiran perempuan dalam wilayah publik selamanya akan ditentang oleh masyarakat.
Perempuan selalu diidentikkan dengan urusan kerumahtanggaan dengan sifat khas feminitasnya saja, semisal memasak, mencuci, mengurus anak dan bersih-bersih rumah.

Dalam konteks yang lebih luas, pemahaman ini juga akan berdampak pada relasi antara perempuan dan laki-laki dalam struktur sosial. Akhirnya, muncul anggapan yang pantas menjadi pemimpin (kepala negara, kepala daerah serta pimpinan organisasi) adalah kaum laki-laki. Sebab laki-laki-lah yang dianggap mampu mengemban tugas sebagai pemimpin. Perempuan tidak memiliki kesempatan untuk duduk bersama laki-laki dalam ruang publik.

Namun, jika melihat tuntutan dunia yang kian beragam, tentu logika semacam ini tidak relevan lagi untuk selalu dipertahankan. Terlebih dengan munculnya berbagai wacana penyetaraan gender serta lahirnya perempuan-perempuan tangguh dan memiliki prestasi cemerlang dalam wilayah publik. Untuk itu, perlu dilakukan pembangunan logika yang seimbang antara laki-laki dan perempuan (androgini).

Logika Androgini
Androgini adalah istilah yang sering digunakan untuk menunjuk pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Yakni sebuah sifat dimana feminitas dan maskulinitas menonjol secara baik pada diri seseorang. Seorang individu disebut memiliki sifat androgini manakala dalam dirinya terdapat sifat feminin dan maskulin sekaligus.

Kaplan dan Bean (1976) mengatakan, androgini mampu melakukan integrasi sifat-sifat feminin dan maskulin secara bersamaan. Misalnya, tegas dan menyerah, dependen dan independen, ekspresif dan instrumental.

Semuanya berjalan secara beriringan. Penerapan logika androgini dalam konteks kekinian tentu menjadi penting, mengingat tuntutan kerja dan kebutuhan manusia yang selalu berkembang. Disamping itu, logika androgini juga mampu menyeimbangkan sifat pada diri seseorang. Sebab, jika seseorang memiliki sifat feminim terlalu tinggi, maka akan menyebabkan dependensi (ketergantungan) yang tinggi dan cenderung tidak punya kepercayaan diri. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang memiliki sifat maskulin terlalu tinggi, dapat menyebabkan kesombongan dan eksploitasi terhadap orang lain.

Pada titik inilah androgini menjadi penting. Androgini akan menghasilkan sikap-sikap yang positif. Yakni melahirkan sosok manusia yang tidak hanya rasional, tetapi juga pengertian terhadap orang lain. Bukan hanya pintar dalam menciptakan sesuatu yang baru (inovasi), tetapi juga pintar memelihara dan merawatnya.

Androgini berusaha memberikan jembatan agar feminitas dan maskulinitas pada diri seseorang dapat berfungsi secara sehat, efektif dan berjalan dalam keadaan seimbang. Logika ini menghendaki terbukanya sisi-sisi maskulinitas dan feminitas pada diri seseorang dalam waktu yang bersamaan.

Tentu tidak menjadi suatu masalah apabila laki-laki mengerjakaan urusan domestik seperti memasak, mencuci pakian dan melakukan aktivitas rumah tangga lainnya. Dan perempuan melakukan aktualisasi diri dalam wilayah publik.

Saat ini, yang paling penting adalah bimbingan dan pengertian, bahwa berbagai pekerjaan dan peran yang melekat pada laki-laki maupun perempuan adalah sarana untuk melatih sifat kemandirian mereka secara wajar dan seimbang. Bukan untuk mengaburkan kenyataan akan jenis kelamin mereka yang berbeda.

Sudah saatnya perempuan terbebas dari belenggu dan paradigma kolot yang hanya membuat perempuan semakin “minder” dengan laki-laki. Pada gilirannya nanti, kemunculan perempuan dalam wilayah publik tak lagi menulai pertentangan. Perempuan juga memiliki peluang sama dengan laki-laki, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan bidang-bidang lainnya. Wallahu a’lam bi al-shawab

Penulis : Ketua GPN Cabang Rembang, Pegiat Kajian Islam dan Feminisme IAIN Walisongo Semarang Jawa Tengah.

Oleh:Misbahul Ulum

Kemunculan sederet nama politisi perempuan yang belakangan disebut-sebut bakal meramaikan bursa calon presiden 2014 tentu memberikan tanda-tanda yang cukup menggembirakan. Dunia politik yang selama ini dianggap tak pantas bagi kaum perempuan ternyata telah memberikan ruang bagi perempuan untuk melakukan aktualisasi diri.

Namun, ditengah upaya penyetaraan perempuan dalam wilayah publik ini, ternyata masih ada anggapan sebagian besar masyarakat yang menilai bahwa perempuan hanyalah “Kanca Wingking” semata.

Bahkan, ungkapan “Suwarga Nunut, Neraka Katut” (ke surga menumpang, ke neraka ikut) juga masih tertanam kuat di masyarakat. Akibatnya, muncul relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Baik dalam wilayah domestik maupun wilyah publik, baik sewaktu masih kanak-kanak maupun ketika menginjak dewasa.

Relasi yang timpang ini terjadi misalnya saat seseorang memiliki anak laki-laki atu perempuan. Biasanya anak laki-laki akan diberikan permainan yang bersifat mekanik, seperti pistol-pistolan atau mobil-mobilan. Sedangkan anak perempuan diberikan permainan yang bersifat kerumahtanggaan, seperti boneka, alat-alat dapur dan alat-alat rumah tangga lainnya.

Ketika menginjak dewasa, anak laki-laki juga cenderung memiliki kebebasan berekspresi yang jauh lebih luas. Anak perempuan hanya diberikan kebebasan berekspresi dalam dunia rumah tangga saja. Tidak hanya itu, dikotomi antara perempuan dan laki-laki ini juga terjadi dalam ranah dunia kerja dan bidang sosial lainnya.

Pemahaman Parsial
Dalam kultur masyarakat patriarki (dominasi laki-laki), aktivitas perempuan yang keluar dari kebiasaan masyarakat memang selalu menuai pertentangan. Keterlibatan perempuan dalam wilayah publik seolah adalah hal yang tabu. Mereka  hanya diterima dalam ruang domestik saja. Seolah perempuan yang ikut andil dalam wilayah publik adalah sosok perempuan yang “kurang nerima” atau perempuan penentang ideologi familialisme.

Penolakan sebagian masyarakat atas keterlibatan perempuan dalam wilayah publik ini, umunya disebabkan oleh pemahaman tentang maskulinitas dan feminitas yang sangat parsial. Perempuan selalu dituntut untuk menonjolkan sisi feminitasnya secara mutlak dan sempurna, ia harus memiliki sifat merawat, memelihara, serta bertanggung jawab terhadap rumah tangga dan keluarga.
Laki-laki juga demikian. Ia dituntut untuk menonjolkan sifat maskulin secara sempurna. Ia harus mandiri, tidak boleh cengeng dan harus menjadi penentu segala keputusan dalam rumah tangga.

Bukan bermaksud menyalahkan, akan tetapi pemahaman seperti ini lambat laun tentu hanya akan mengakibatkan jurang pemisah yang kian tajam antara laki-laki dan perempuan. Kehadiran perempuan dalam wilayah publik selamanya akan ditentang oleh masyarakat.
Perempuan selalu diidentikkan dengan urusan kerumahtanggaan dengan sifat khas feminitasnya saja, semisal memasak, mencuci, mengurus anak dan bersih-bersih rumah.

Dalam konteks yang lebih luas, pemahaman ini juga akan berdampak pada relasi antara perempuan dan laki-laki dalam struktur sosial. Akhirnya, muncul anggapan yang pantas menjadi pemimpin (kepala negara, kepala daerah serta pimpinan organisasi) adalah kaum laki-laki. Sebab laki-laki-lah yang dianggap mampu mengemban tugas sebagai pemimpin. Perempuan tidak memiliki kesempatan untuk duduk bersama laki-laki dalam ruang publik.

Namun, jika melihat tuntutan dunia yang kian beragam, tentu logika semacam ini tidak relevan lagi untuk selalu dipertahankan. Terlebih dengan munculnya berbagai wacana penyetaraan gender serta lahirnya perempuan-perempuan tangguh dan memiliki prestasi cemerlang dalam wilayah publik. Untuk itu, perlu dilakukan pembangunan logika yang seimbang antara laki-laki dan perempuan (androgini).

Logika Androgini
Androgini adalah istilah yang sering digunakan untuk menunjuk pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Yakni sebuah sifat dimana feminitas dan maskulinitas menonjol secara baik pada diri seseorang. Seorang individu disebut memiliki sifat androgini manakala dalam dirinya terdapat sifat feminin dan maskulin sekaligus.

Kaplan dan Bean (1976) mengatakan, androgini mampu melakukan integrasi sifat-sifat feminin dan maskulin secara bersamaan. Misalnya, tegas dan menyerah, dependen dan independen, ekspresif dan instrumental.

Semuanya berjalan secara beriringan. Penerapan logika androgini dalam konteks kekinian tentu menjadi penting, mengingat tuntutan kerja dan kebutuhan manusia yang selalu berkembang. Disamping itu, logika androgini juga mampu menyeimbangkan sifat pada diri seseorang. Sebab, jika seseorang memiliki sifat feminim terlalu tinggi, maka akan menyebabkan dependensi (ketergantungan) yang tinggi dan cenderung tidak punya kepercayaan diri. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang memiliki sifat maskulin terlalu tinggi, dapat menyebabkan kesombongan dan eksploitasi terhadap orang lain.

Pada titik inilah androgini menjadi penting. Androgini akan menghasilkan sikap-sikap yang positif. Yakni melahirkan sosok manusia yang tidak hanya rasional, tetapi juga pengertian terhadap orang lain. Bukan hanya pintar dalam menciptakan sesuatu yang baru (inovasi), tetapi juga pintar memelihara dan merawatnya.

Androgini berusaha memberikan jembatan agar feminitas dan maskulinitas pada diri seseorang dapat berfungsi secara sehat, efektif dan berjalan dalam keadaan seimbang. Logika ini menghendaki terbukanya sisi-sisi maskulinitas dan feminitas pada diri seseorang dalam waktu yang bersamaan.

Tentu tidak menjadi suatu masalah apabila laki-laki mengerjakaan urusan domestik seperti memasak, mencuci pakian dan melakukan aktivitas rumah tangga lainnya. Dan perempuan melakukan aktualisasi diri dalam wilayah publik.

Saat ini, yang paling penting adalah bimbingan dan pengertian, bahwa berbagai pekerjaan dan peran yang melekat pada laki-laki maupun perempuan adalah sarana untuk melatih sifat kemandirian mereka secara wajar dan seimbang. Bukan untuk mengaburkan kenyataan akan jenis kelamin mereka yang berbeda.

Sudah saatnya perempuan terbebas dari belenggu dan paradigma kolot yang hanya membuat perempuan semakin “minder” dengan laki-laki. Pada gilirannya nanti, kemunculan perempuan dalam wilayah publik tak lagi menulai pertentangan. Perempuan juga memiliki peluang sama dengan laki-laki, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan bidang-bidang lainnya. Wallahu a’lam bi al-shawab

Penulis : Ketua GPN Cabang Rembang, Pegiat Kajian Islam dan Feminisme IAIN Walisongo Semarang Jawa Tengah.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/