Melihat realita sekarang ini, khususnya pada tahun 2012 lalu, praktik haram (korupsi) semakin meningkat, hal ini terjadi karena para koruptor semakin menggebu-gebu dalam menjalankan misinya dalam menggerogoti uang negara.
Oleh: Ibnu Anshori
Ironisnya yang menjadi aktor utama adalah para pejabat bejat negara, yang tidak pernah lengah untuk meraup keuntungan dan memuaskan dirinya, tanpa memikirkan keadaan rakyat jelata yang menderita yang justru menjadi korban dari misi yang direalisasikannya.
Kesengsaraan yang dialami rakyat akibat dari misi tersebut, bukanlah hal kecil atau sepele. Dalam hal ini memang membutuhkan penanganan secara intensif dan serius untuk melumpuhjerakan para koruptor, tanpa memilah dan memilih siapa aktor dalam kasus tersebut.
Sebab, sangat tidak mungkin dalam upaya membumi bersihkan praktik tersebut hanya mengandalkan pihak yang bertugas saja, apalagi dalam upaya menindak lanjuti megenai hukum yang akan dijatuhkan kepada mereka (koruptor) didasari dengan rasa kasihan.
Jika didasari dengan rasa kasihan, tidak menutup kemungkinan bagi para pelaku, akan semakin merajalela dalam melanjutkan misinya, bahkan bisa jadi akan membumikan praktik haram tersebut, sehingga pada saat koruptor menjadi aktor, akibatnya akan berimbas kepada masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, dalam menegakkan suatu kebenaran seharusnya tidak pandang bulu mengenai siapa yang menjadi aktor misi tersebut, baik itu teman dekat, sahabat, kerabat maupun pejabat, kebenaran harus tetap ditegakluruskan, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), yaitu Abraham Samad dalam acara MATA NAJWA di Metro TV (03/01/13), ia mengatakan bahwa “dalam menegakkan hukum tidak pandang siapapun, baik itu keluarga, sahabat, maupun pejabat, hukum tetap berjalan, yang salah tetap salah dan pantas mendapatkan hukuman sesuai dengan yang diperbuatnya”.
Selain itu, dalam upaya menegakluruskan kebenaran, diperlukannya eksistensi komitmen serta ketegasan dalam pengambilan suatu keputusan dan tindakan, baik dalam keadaan terdesak maupun tidak. Sebab, keduanya sangatlah urgen dalam mengatasi suatu permasalahan, apalagi dalam mengatasi masalah korupsi, yang saat ini telah mendarah daging hingga bisa dikatakan korupsi adalah jantung para koruptor.
Mengapa demikian? Sebab, bagi mereka yang mata dan fikirannya telah dirabunkan oleh hal yang bersifat materi, sangatlah mudah bagi mereka untuk mengaplikasikan misinya, yaitu dengan mendisfungsikan kepercayaan yang telah diamanatkan kepada mereka.
Dengan begitu, sangatlah wajar dan tidak mengherankan lagi, apabila para koruptor pada saat menjadi aktor, hanya berorientasi merengguk kebahagiaan untuk dirinya semata, tanpa memikirkan kebahagiaan bersama, khususnya bagi rakyat yang tidak tahu apa-apa, tetapi menjadi korban karena terkena imbas oleh misi kejam yang sedang diaplikasikan oleh para pejabat bejat negara (koruptor).
Namun, tidak dapat dielakkan lagi, salah satu faktor penyebab para koruptor menjalankan misi kejamnya tanpa memikirkan sebab dan akibat, yaitu dikarenakan oleh ketidakpuasan terhadap semua yang telah pemerintah berikan kepadanya, baik dari segi materi maupun non materi.
Misalnya, kekayaan dan kekuasaan yang menurut mereka belum cukup dan tidak layak baginya, sehingga dengan kematangan mental yang telah mempuni untuk merealisasikan paktik tersebut, mereka menambah target untuk memperbanyak hasil yang akan diraupnya.
Dengan demikian, maka sangatlah layak bagi negara Indonesia menempati peringkat ke-2 di Dunia dalam hal korupsi. Oleh karena itu, diperlukannya kekuatan persatuan dan kesatuan yang menjulang tinggi dari berbagai elemen, baik dari institusi-institusi yang sengaja dibentuk oleh pemerintah maupun dari masyarakat.
Menegakkan Keadilan
Melihat dan merasakan realitas yang terjadi saat ini, seakaan Indonesia jauh dari yang namanya “keadilan”, terlebih dalam kasus korupsi. Mengapa demikian? Sebab, menurut Abraham Samad yaitu ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), mengatakan bahwa “selama ini tidak ada institusi penegak hukum lain yang berani menyentuh oknum aparat penegak hukum seperti hakim ketika melakukan tindak pidana korupsi”.
Jika demikian, semakin jelas bahwa di Indonesia khususnya bagi rakyat belum merasakan keadilan. Sebab, keadilan ditegakkan hanya diperuntukkan kepada oknum yang derajatya lebih rendah dari aparat hukum (hakim), sedangkan pada saat kaum elit melakukan korupsi tidak ada tindakan serta hukuman yang setimpal sesuai dengan yang diperbuatnya. Jika memang ada, itupun tidak relavan dengan kasusnya. Misalnya, ketidakadilan terhadap pelaku kejahatan ringan yang hukumannya nyaris setimpal dengan pelaku korupsi (koruptor).
Oleh karena itu, peran dari pemerintah untuk menegakluruskan serta menjunjung tinggi nilai keadilan merupakan hal yang sangat urgen. Karena dengan begitu, tidak menutup kemungkinan korupsi akan berkurang dan akhirnya akan teratasi hingga ke akarnya. Lebih dari itu, para koruptor yang selama ini masih diselimuti oleh tabir-tabir rahasia akan terungkap kebenarannya.
Upaya Memiskinkan Koruptor
Makin masif dan meratanya kasus korupsi di Indonesia menunjukkan ketidakjerahan para koruptor dalam melanjutkan misinya. Tentunya dalam hal ini, membutuhkan penanganan yang memang membuat para koruptor menjadi jerah.
Tidak dapat dipungkiri, hukuman penjara tidak lagi menjadikan kestagnasian bagi para koruptor untuk melakukan korupsi. Sebab, dengan uang yang telah didapatkannya mampu mengeluarkan mereka dari penjara, dan akhirnya koruptor bebas dan bisa menghirup udara segar dengan menikmati hasil korupsinya.
Oleh karena itu, pemerintah harus lebih bijaksana dalam mengatasi hal tersebut, yaitu dengan memiskinkan para koruptor terlebih dahulu. Dan hal ini dapat ditempuh dan dapat membuahkan hasil memuaskan, yaitu dengan menyita hasil korupsi yang didapatkannya, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Anggota Komisi III RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bahwasanya “salah satu cara untuk memiskinkan para koruptor yaitu dengan menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)”.
Sebab dengan begitu, sangat memungkinkan dengan berlakunya UU TPPU tersebut, dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyita aset hasil dari korupsinya. Alhasil, para koruptor negara akan jerah dan berkurang, akhirnya negara dapat mengembalikan citranya dimata publik tanpa diiringi dengan isu korupsi. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Penulis Peraih Beasiswa Unggulan di Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang dan Aktivis Gerakan Pemuda Islam (GPI) Semarang.