32 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

Ibu, Karier, dan Feminisme

Oleh: Masduri

Sudah 84 tahun yang lalu sejarah penting perjuangan perempuan Indonesia menjadi inspirasi lahirnya Hari Ibu. Yakni Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Catatan sejarah inilah yang menjadi tonggak kebangkitan perempuan Indonesia.

Pada saat itu, gagasan-gagasan mengenai pentingnya persatuan perempuan, keterlibatan perempuan dalam kemerdekaan, perbaikan gizi dan kesehatan ibu, serta upaya mengehentikan pernikahan dini, perdangan anak dan perempuan, menjadi wacana yang terus menggerakkan perempuan Indonesia semakin bersemangat merubah nasib dan mind set buruk masyarakat tentang perempuan. Penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu diputuskan dalam Kongkres Perempuan ke III tahun 1938.

Secara resmi Presiden Sukarno menetapkan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. Penetapan Hari Ibu secara formal oleh pemeritah mengandung misi besar sebagai apresiasi terhadap peran penting perempuan dalam pembangunan bangsa. Perempuan atau ibu adalah orang pertama yang mengenalkan dan mengajari anak-anak bangsa mengenal kehidupan ini.

Ibu adalah pendidik pertama sebelum anak itu mengenal sekolah atau pendidikan formal. Oleh karena itu, Ibu adalah penentu karakter dan masa depan anaknya. Peran yang sangat penting inilah kemudian perlu menjadi semangat kesadaran dalam membangun kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Ini sudah dilakukan oleh perempuan Indonesia 84 tahun yang lalu.
Lalu, apakah hari ini perempuan Indonesia masih memiliki kesadaran yang tinggi akan peran penting tersebut?

Di tengah beragam wacana feminisme atau kesetaraan gander yang menggelinding dari berbagai tempat dan waktu ke watu, tidak sedikit perempuan yang mengingkari kodratnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang memiliki tugas urgen dalam medidik anaknya. Kesibukan berkarier di luar rumah, membuat sebagian perempuan Indonesia lupa tugas-tugasnya sebagai seorang ibu. Sehingga untuk sekedar menyusui anaknya sendiri tidak sempat.

Sebab terlalu sibuk mengurui kariernya. Maka banyak perempuan mengganti ASI (Air Susu Ibu) dengan susu buatan, serta tidak sedikit pula seorang Ibu yang menggunakan babysitter untuk mengasuh anaknya.

Kebutaan Feminisme
Fakta tersebut tidak lain akibat konstruski kesetaraan gander atau feminisme yang salah. Feminisme  seringkali dipahami sebagai sebuah gerakan yang menuntut perempuan sama seperti-menjadi-laki-laki. Sehingga pekerjaan-pekerjaan yang secara kodrati mesti dilakukan perempuan banyak dtinggalkan karena perempuan sibuk berkarier di luar rumah.

Contoh pekerjaan menyusui anak, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh seorang laki-laki. Karena itu, mestinya perempuan memahami bahwa pada saat tertentu, ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dilakukan oleh laki-laki, sehingga harus perempuan atau seorang Ibu yang mesti melakukannya. Bukan karena menuntut persaamaan hak bisa berkarier di luar, kemudain perempuan melupakan kodratnya sebagai seorang Ibu.

Sebenarnya bukan persoalan perempuan berkarier di luar, tetapi jangan sampai karena kesibukan berkarier di luar seorang perempaun atau ibu lupa tugas kodrati yang mesti dikerjakannya. Sesibuk apapun perempuan bekerja di luar, ia harus menyempatkan diri menyusui dan mengasuh anaknya.
Bagaimanapun kasih sayang orang tua sangat diharapkan oleh seorang anak. Kasih sayang yang diberikan oleh orang tua memiliki arti yang sangat luar biasa bagi seorang anak.

Begitupun kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya pasti lebih besar dari kasih sayang seorang babysitter yang setiap hari merawat anaknya. Perasan mengandung sejak kecil hingga melahirkan, akan mampu menggugah kesadaran seorang ibu bahwa betapa sangat berharganya sang buah hati.
Perjuangannya dalam mengandung hingga bertaruh nyawa saat melahirkan merupakan pengorbanan seorang ibu yang sangat luar biasa.

Kalaupun banyak perempuan yang tidak berkarier di luar rumah, bukan berarti hal itu bertentangan dengan feminisme. Jika itu pilihan yang dilakukan oleh seorang perempuan secara sadar dan ikhlas berarri pilihan tersebut merupakan hak kebebasan yang dimiliki perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga.

Namun bila perempuan ingin berkarier, kemudian di kekang oleh suaminya, ini yang bertentangan dengan feminisme. Sebab hak-hak seorang perempuan dalam berakrier tidak bisa mereka dapatkan karena eksploitasi seorang laki-laki. Pada titik inilah kita penting memaknai feminisme secara benar, agar tidak tersesat seperti selama ini dilakukan oleh perempuan-perempuan  karier, terutama di kota-kota besar.

Filsuf Feminisme yang beraliran post-strukturalis, Luce Irigaray, mengkeritik realitas gerakan feminisme yang sebenarnya malah menjerumuskan perempuan pada terminologi laki-laki. Bagi Luce feminisme bukan menyamakan perempuan dan laki-laki dalam kekuatannya dengan mengabaikan perbedaan yang ada.

Pada batas-batas tertentu perempaun memang harus berbeda dengan laki-laki. Maka yang dinginkan oleh Luce adalah pembebasan bagi perempuan dari belenggu nilai yang dikonstruk laki-laki. Bagi Luce perempuan harus memiliki logika sendiri. Perempua harus bebas dari terminologi laki-laki. Karena sebenarnya ketika perempuan menuntut persamaan dengan laki-laki dalam semua hal, pada saat itu perempuan sedang berproses menjadi laki-laki, bukan menjadi perempuan sejati.

Ketika perempuan berarah untuk menjadi laki-laki akan terjadi yang namanya kematian perempuan, seperti bahasa sebuah sya’ir, kematian bukanlah ketiadaan nyawa, kematian adalah ketidak mampun untuk menunjukkan eksistensi diri.

Kira-kira begitulah yang dimaksud Luce Irigaray agar perempuan memiliki logika sendiri dalam hidupnya. Sebenarnya Luce tidak ingin eksistensi perempuan mati, karena terjebak dengan alasan kebebasan menuntut persamaan dengan laki-laki, yang sebenarnya membawa perempuan pada kematian eksistensi dirinya.

Dengan demikian, gejala perempuan yang akhir-akhir ini banyak melupakan kodrat keperempuanannya, seperti menyusui dan mengasuh anak, merupakan problem yang mestinya disadari oleh perempuan. Jika tidak nanti tidak ada bedanya anatar laki-laki dan perempuan. Bila pikiran dan jiwa perempuan menjadi laki-laki sangat berbahaya bagi anak-anak generasi masa depan.

Bagaimanpun yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masa depan anak-anak bangsa adalah para ibu. Kasih sayang dan didikan ibulah yang mengantarkan anak-anaknya menjadi orang-orang besar dan sukses. Ibu adalah pahalawan sejati yang tak berharap balas budi.

Semoga peringatan Hari Ibu yang pada 22 Desember kemarin, dapat menggugah kesadaran para perempaun untuk menjadi ibu sejati. Seorang ibu yang mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang besar dan sukses.

Penulsi Aktivis Laskar Ambisius dan Mahasantri Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Oleh: Masduri

Sudah 84 tahun yang lalu sejarah penting perjuangan perempuan Indonesia menjadi inspirasi lahirnya Hari Ibu. Yakni Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Catatan sejarah inilah yang menjadi tonggak kebangkitan perempuan Indonesia.

Pada saat itu, gagasan-gagasan mengenai pentingnya persatuan perempuan, keterlibatan perempuan dalam kemerdekaan, perbaikan gizi dan kesehatan ibu, serta upaya mengehentikan pernikahan dini, perdangan anak dan perempuan, menjadi wacana yang terus menggerakkan perempuan Indonesia semakin bersemangat merubah nasib dan mind set buruk masyarakat tentang perempuan. Penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu diputuskan dalam Kongkres Perempuan ke III tahun 1938.

Secara resmi Presiden Sukarno menetapkan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. Penetapan Hari Ibu secara formal oleh pemeritah mengandung misi besar sebagai apresiasi terhadap peran penting perempuan dalam pembangunan bangsa. Perempuan atau ibu adalah orang pertama yang mengenalkan dan mengajari anak-anak bangsa mengenal kehidupan ini.

Ibu adalah pendidik pertama sebelum anak itu mengenal sekolah atau pendidikan formal. Oleh karena itu, Ibu adalah penentu karakter dan masa depan anaknya. Peran yang sangat penting inilah kemudian perlu menjadi semangat kesadaran dalam membangun kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Ini sudah dilakukan oleh perempuan Indonesia 84 tahun yang lalu.
Lalu, apakah hari ini perempuan Indonesia masih memiliki kesadaran yang tinggi akan peran penting tersebut?

Di tengah beragam wacana feminisme atau kesetaraan gander yang menggelinding dari berbagai tempat dan waktu ke watu, tidak sedikit perempuan yang mengingkari kodratnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang memiliki tugas urgen dalam medidik anaknya. Kesibukan berkarier di luar rumah, membuat sebagian perempuan Indonesia lupa tugas-tugasnya sebagai seorang ibu. Sehingga untuk sekedar menyusui anaknya sendiri tidak sempat.

Sebab terlalu sibuk mengurui kariernya. Maka banyak perempuan mengganti ASI (Air Susu Ibu) dengan susu buatan, serta tidak sedikit pula seorang Ibu yang menggunakan babysitter untuk mengasuh anaknya.

Kebutaan Feminisme
Fakta tersebut tidak lain akibat konstruski kesetaraan gander atau feminisme yang salah. Feminisme  seringkali dipahami sebagai sebuah gerakan yang menuntut perempuan sama seperti-menjadi-laki-laki. Sehingga pekerjaan-pekerjaan yang secara kodrati mesti dilakukan perempuan banyak dtinggalkan karena perempuan sibuk berkarier di luar rumah.

Contoh pekerjaan menyusui anak, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh seorang laki-laki. Karena itu, mestinya perempuan memahami bahwa pada saat tertentu, ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dilakukan oleh laki-laki, sehingga harus perempuan atau seorang Ibu yang mesti melakukannya. Bukan karena menuntut persaamaan hak bisa berkarier di luar, kemudain perempuan melupakan kodratnya sebagai seorang Ibu.

Sebenarnya bukan persoalan perempuan berkarier di luar, tetapi jangan sampai karena kesibukan berkarier di luar seorang perempaun atau ibu lupa tugas kodrati yang mesti dikerjakannya. Sesibuk apapun perempuan bekerja di luar, ia harus menyempatkan diri menyusui dan mengasuh anaknya.
Bagaimanapun kasih sayang orang tua sangat diharapkan oleh seorang anak. Kasih sayang yang diberikan oleh orang tua memiliki arti yang sangat luar biasa bagi seorang anak.

Begitupun kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya pasti lebih besar dari kasih sayang seorang babysitter yang setiap hari merawat anaknya. Perasan mengandung sejak kecil hingga melahirkan, akan mampu menggugah kesadaran seorang ibu bahwa betapa sangat berharganya sang buah hati.
Perjuangannya dalam mengandung hingga bertaruh nyawa saat melahirkan merupakan pengorbanan seorang ibu yang sangat luar biasa.

Kalaupun banyak perempuan yang tidak berkarier di luar rumah, bukan berarti hal itu bertentangan dengan feminisme. Jika itu pilihan yang dilakukan oleh seorang perempuan secara sadar dan ikhlas berarri pilihan tersebut merupakan hak kebebasan yang dimiliki perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga.

Namun bila perempuan ingin berkarier, kemudian di kekang oleh suaminya, ini yang bertentangan dengan feminisme. Sebab hak-hak seorang perempuan dalam berakrier tidak bisa mereka dapatkan karena eksploitasi seorang laki-laki. Pada titik inilah kita penting memaknai feminisme secara benar, agar tidak tersesat seperti selama ini dilakukan oleh perempuan-perempuan  karier, terutama di kota-kota besar.

Filsuf Feminisme yang beraliran post-strukturalis, Luce Irigaray, mengkeritik realitas gerakan feminisme yang sebenarnya malah menjerumuskan perempuan pada terminologi laki-laki. Bagi Luce feminisme bukan menyamakan perempuan dan laki-laki dalam kekuatannya dengan mengabaikan perbedaan yang ada.

Pada batas-batas tertentu perempaun memang harus berbeda dengan laki-laki. Maka yang dinginkan oleh Luce adalah pembebasan bagi perempuan dari belenggu nilai yang dikonstruk laki-laki. Bagi Luce perempuan harus memiliki logika sendiri. Perempua harus bebas dari terminologi laki-laki. Karena sebenarnya ketika perempuan menuntut persamaan dengan laki-laki dalam semua hal, pada saat itu perempuan sedang berproses menjadi laki-laki, bukan menjadi perempuan sejati.

Ketika perempuan berarah untuk menjadi laki-laki akan terjadi yang namanya kematian perempuan, seperti bahasa sebuah sya’ir, kematian bukanlah ketiadaan nyawa, kematian adalah ketidak mampun untuk menunjukkan eksistensi diri.

Kira-kira begitulah yang dimaksud Luce Irigaray agar perempuan memiliki logika sendiri dalam hidupnya. Sebenarnya Luce tidak ingin eksistensi perempuan mati, karena terjebak dengan alasan kebebasan menuntut persamaan dengan laki-laki, yang sebenarnya membawa perempuan pada kematian eksistensi dirinya.

Dengan demikian, gejala perempuan yang akhir-akhir ini banyak melupakan kodrat keperempuanannya, seperti menyusui dan mengasuh anak, merupakan problem yang mestinya disadari oleh perempuan. Jika tidak nanti tidak ada bedanya anatar laki-laki dan perempuan. Bila pikiran dan jiwa perempuan menjadi laki-laki sangat berbahaya bagi anak-anak generasi masa depan.

Bagaimanpun yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masa depan anak-anak bangsa adalah para ibu. Kasih sayang dan didikan ibulah yang mengantarkan anak-anaknya menjadi orang-orang besar dan sukses. Ibu adalah pahalawan sejati yang tak berharap balas budi.

Semoga peringatan Hari Ibu yang pada 22 Desember kemarin, dapat menggugah kesadaran para perempaun untuk menjadi ibu sejati. Seorang ibu yang mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang besar dan sukses.

Penulsi Aktivis Laskar Ambisius dan Mahasantri Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru