25.6 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Budaya Mangkir

Setelah ribuan kembang api diterbangkan dan meledak di udara, maka langit kembali gelap. Begitupun pergantian tahun, ketika kalender baru dibentangkan, maka kerja dan kerja wajib dilaksanakan. Ya, wujudkan harapan dengan semangat yang baru; hari yang menjanjikan.

Maka, tidak berlebihan ketika Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho mengajak seluruh komponen masyarakat untuk kompak. Ya, semua demi Sumatera Utara yang lebih baik.

Tidak itu saja, Gatot pun telah memberikan lima instruksi awal pada 2012 ini. Sayang, harapan pemimpin puncak di Sumatera Utara ini langsung terjawab setelah beberapa jam dia berucap. Bayangkan saja, hari pertama kerja malah dinodai dengan 143 PNS di lingkungan Pemprovsu yang memilih mangkir dari tugas-tugasnya. Menariknya lagi, soal mangkir tidak hanya dilakukan oleh kaum eksekutif, legislatif juga setali tiga uang. Ya, meski belum ada agenda, namun kehadiran anggota DPRD Sumut wajib dipertanyakan. Bayangkan saja, dari seratus anggota, yang hadir di hari pertama 2012 ini hanya 11 orang!

Maka, tak berlebihan jika muncul pertanyaan: ada apa dengan Sumut? Ya, apakah Sumut serius menjadikan 2012 menjadi tahun gemilang seperti prediksi etnis Tionghoa yang mengatakan tahun ini sebagai zamannya Naga Air?
Jika memang serius, sejatinya para pemimpin dan wakil rakyat memikirkan data Badan Statistik Pusat yang baru dirilis. Dari data per September, Sumut menjadi salah satu provinsi penyumbang penduduk miskin terbanyak di Sumatera. Tercatat ada 1, 421 juta lebih warga Sumut yang berada di bawah garis kemiskinan, 652 ribu lebih di perkotaan dan 769 ribu lebih di pedesaan. Atau, 10, 83 persen dari jumlah penduduk. Jumlah ini kalah jauh dibanding daerah tetangga, Riau, yang hanya mencapai 8, 17 penduduk miskinnya.

Tidak itu saja, menurut data dari Polresta Medan, dari 1659 orang yang diamankan polisi terkait kasus kriminal, 80 persennya adalah penganggur. Ini belum lagi ketika menilik data warga yang belum memiliki rumah dan sebagainya. Ada apa sebenarnya di Sumatera Utara, mengapa masalah pengangguran dan kemiskinan masih menjadi momok kesejahteraan?

Padahal, Sumatera Utara dikenal dengan kawasan perkebunan yang mahaluas. Sebut saja tempo dulu yang dikenal dengan perkebunan tembakaunya. Lalu kini, karet dan kelapa sawit tetap tumbuh subur. Belum lagi tambang, setidaknya ada emas di kawasan Batangtoru sana.

Bukankah data ini menyesakkan? Sumut harus mengubah itu, setidaknya sebagai provinsi terpandang di pulau yang sebelumnya dinamakan Swarnadwipa yang berarti Pulau Emas ini, masak mengurus penduduk miskin saja tidak bisa? Mengutip kata Naga Bonar; Apa kata dunia?

Ya, apa kata Indonesia ketika menyadari Sumut bukanlah daerah yang mampu mengurus diri sendiri; pemimpin dan warganya sibuk terlena dengan kekakayaan dan kebesaran masa lalu. Dengan kata lain, ketika hidup terasa berat, kan tinggal jual asset. Sementara, untuk menambah asset malah terlupakan. Bukan itu saja, ketika asset tak ada lagi yang bisa dijual, kan tinggal mengadu pada pemerintah pusat.

Sikap manja Sumutlah yang harus diberangus. Pun, kalimat pemimpin tidak sekadar ucapan seremoni semata. Kalimat itu wajib bermarwah; yang ditakuti, disegani, dihormati, dan tentunya dijalani. Jadi, bukan kalimat yang sekadar keluar. Jika sekadar keluar, maka bawahan dan rakyatnya juga sekadar mendengar bukan?

Sebuah refleksi akhir tahun tampaknya tak cukup. Begitu juga ikrar di awal tahun. Kerja dan kerja di tahun yang baru tampaknya adalah jawaban. Tapi sekali lagi, mungkinkah itu terlaksana ketika di hari pertama kerja malah banyak yang mangkir! (*)

Setelah ribuan kembang api diterbangkan dan meledak di udara, maka langit kembali gelap. Begitupun pergantian tahun, ketika kalender baru dibentangkan, maka kerja dan kerja wajib dilaksanakan. Ya, wujudkan harapan dengan semangat yang baru; hari yang menjanjikan.

Maka, tidak berlebihan ketika Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho mengajak seluruh komponen masyarakat untuk kompak. Ya, semua demi Sumatera Utara yang lebih baik.

Tidak itu saja, Gatot pun telah memberikan lima instruksi awal pada 2012 ini. Sayang, harapan pemimpin puncak di Sumatera Utara ini langsung terjawab setelah beberapa jam dia berucap. Bayangkan saja, hari pertama kerja malah dinodai dengan 143 PNS di lingkungan Pemprovsu yang memilih mangkir dari tugas-tugasnya. Menariknya lagi, soal mangkir tidak hanya dilakukan oleh kaum eksekutif, legislatif juga setali tiga uang. Ya, meski belum ada agenda, namun kehadiran anggota DPRD Sumut wajib dipertanyakan. Bayangkan saja, dari seratus anggota, yang hadir di hari pertama 2012 ini hanya 11 orang!

Maka, tak berlebihan jika muncul pertanyaan: ada apa dengan Sumut? Ya, apakah Sumut serius menjadikan 2012 menjadi tahun gemilang seperti prediksi etnis Tionghoa yang mengatakan tahun ini sebagai zamannya Naga Air?
Jika memang serius, sejatinya para pemimpin dan wakil rakyat memikirkan data Badan Statistik Pusat yang baru dirilis. Dari data per September, Sumut menjadi salah satu provinsi penyumbang penduduk miskin terbanyak di Sumatera. Tercatat ada 1, 421 juta lebih warga Sumut yang berada di bawah garis kemiskinan, 652 ribu lebih di perkotaan dan 769 ribu lebih di pedesaan. Atau, 10, 83 persen dari jumlah penduduk. Jumlah ini kalah jauh dibanding daerah tetangga, Riau, yang hanya mencapai 8, 17 penduduk miskinnya.

Tidak itu saja, menurut data dari Polresta Medan, dari 1659 orang yang diamankan polisi terkait kasus kriminal, 80 persennya adalah penganggur. Ini belum lagi ketika menilik data warga yang belum memiliki rumah dan sebagainya. Ada apa sebenarnya di Sumatera Utara, mengapa masalah pengangguran dan kemiskinan masih menjadi momok kesejahteraan?

Padahal, Sumatera Utara dikenal dengan kawasan perkebunan yang mahaluas. Sebut saja tempo dulu yang dikenal dengan perkebunan tembakaunya. Lalu kini, karet dan kelapa sawit tetap tumbuh subur. Belum lagi tambang, setidaknya ada emas di kawasan Batangtoru sana.

Bukankah data ini menyesakkan? Sumut harus mengubah itu, setidaknya sebagai provinsi terpandang di pulau yang sebelumnya dinamakan Swarnadwipa yang berarti Pulau Emas ini, masak mengurus penduduk miskin saja tidak bisa? Mengutip kata Naga Bonar; Apa kata dunia?

Ya, apa kata Indonesia ketika menyadari Sumut bukanlah daerah yang mampu mengurus diri sendiri; pemimpin dan warganya sibuk terlena dengan kekakayaan dan kebesaran masa lalu. Dengan kata lain, ketika hidup terasa berat, kan tinggal jual asset. Sementara, untuk menambah asset malah terlupakan. Bukan itu saja, ketika asset tak ada lagi yang bisa dijual, kan tinggal mengadu pada pemerintah pusat.

Sikap manja Sumutlah yang harus diberangus. Pun, kalimat pemimpin tidak sekadar ucapan seremoni semata. Kalimat itu wajib bermarwah; yang ditakuti, disegani, dihormati, dan tentunya dijalani. Jadi, bukan kalimat yang sekadar keluar. Jika sekadar keluar, maka bawahan dan rakyatnya juga sekadar mendengar bukan?

Sebuah refleksi akhir tahun tampaknya tak cukup. Begitu juga ikrar di awal tahun. Kerja dan kerja di tahun yang baru tampaknya adalah jawaban. Tapi sekali lagi, mungkinkah itu terlaksana ketika di hari pertama kerja malah banyak yang mangkir! (*)

Artikel Terkait

Maling di Bandara

Maling di Bandara

Ragam Upeti, Minim Rencana

Sayang Anak

Terpopuler

Artikel Terbaru

/