28.9 C
Medan
Wednesday, May 8, 2024

Ragam Upeti, Minim Rencana

Provinsi Sumatera Utara kembali mendapat catatan khusus dari pemerintah pusat. Sayangnya, bukan kasus bagus. Ini tentang peraturan daerah (perda) yang paling banyak dicoret alias dibatalkan.

Dikabarkan, 36 perda yang diterbitkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sumut harus masuk lemari. Menariknya, kebanyakan perda yang dicabut adalah soal pajak dan retribusi. Dengan kata lain, soal pungutan daerah yang notebene berujung pada pendapatan daerah . Nah, ketika pendapatan daerah berkurang, logikanya daerah pun akan miskin. Jika daerah sudah miskin, bagaimana untuk melaksanakan program pembangunan demi menyejahterakan rakyat.

Tentu, hal ini menjadi sesuatu yang pelik. Namun, yang dipermasalahkan adalah bukan sekadar kurangnya PAD, melainkan kenapa sangat bergantung pada pungutan tadi.

Manajer Hubungan Eksternal Komite Pengawasa Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan adalah wajar jika perda di Sumut banyak yang dicabut. Pasalnya, di Sumut pejabatnya hobi cari pungutan. Kalimat Robert bukan tanpa alasan, dia menilik karakter orang di Sumut yang memang terbiasa dengan istilah upeti. Dengan kata lain, mainset pejabat masih saja merasa sebagai penguasa, bukan pelayan rakyat. Mental penguasa lama, merasa berhak melakukan pungutan-pungutan.

Ya, sejarah memang mencatat bagaimana Belanda mampu menaklukan sumber daya alam di Sumut ini. Sejatinya ini bukan soal senjata api melawan bambu runcing, tapi bagaimana pihak kerajaan yang ada di Sumut terkesan lepas tangan; yang penting uang sewa, pungutan, atau upeti sampai pada mereka. Itulah juga yang menjadi sebab revolusi sosial beberapa waktu lalu. Pihak kerajaan tidak begitu dekat dengan rakyatnya, melepas warganya untuk dikontrol langsung oleh Belanda.

Nah, ketika Belanda hengkang, maka ikatan emosional langsung hilang. Tanah kerajaan atau yang sekadar diakui sebagai tanah kerajaan pun menjadi tak bertuan.

Tak bertuan karena ketika dikembalikan ke kekerajaan oleh Belanda, warga tak mengakui hal itu. Bagi warga, tanah yang sebelumnya dikuasai Belanda adalah milik leluhur atau sebagainya.  Hingga, konflik menjalar antara pihak kerajaan dengan warga.

Ada perbedaan yang terjadi di Sumut secara umum dengan di Jogjakarta secara khusus. Di daerah kekuasaan Sultan Hamengkubowono tersebut, pada zaman dulu, Belanda atau bangsa asing lainnya hanya sebatas penanam modal, kontrol masih dipegang oleh keraton. Hingga, ketika Belanda hengkang, keraton masih memiliki marwah.
Mental turunan masa lalu inilah yang bisa dianggap sebagai penyebab perda yang dicoret itu muncul. Ya, sadar dengan kekayaan alamnya, seperti perkebunan dan kehutanan, pejabat langsung mencari dana dengan instan. Kini, seperti Belanda, para pejabat (baca, penguasa) pun tinggal menunggu aliran upeti dari pengusaha yang berinvestasi di Sumut. Setelah waktu berlalu, usaha jasa juga wajib dipungut. Tidak itu saja, warga pun tidak boleh mengelak dari pungutan.

Padahal, jika para pejabat sadar, soal pungutan ini tidak bisa begitu diandalkan. Kekayaan alam bisa habis bukan? Investor tidak selalu setia kan? Dia bisa beralih ke daerah yang pungutannya sedikit. Bukan cerita baru ketika berbagai ajang hiburan yang kelasnya nasional enggan ditampilkan di Sumatera Utara. Jawaban para even organisernya, terlalu banyak pungutan, terlalu banyak yang minta tiket gratis, dan sebagainya.  Begitulah, daripada rugi, lebih baik mereka melarikan diri. (*)

Provinsi Sumatera Utara kembali mendapat catatan khusus dari pemerintah pusat. Sayangnya, bukan kasus bagus. Ini tentang peraturan daerah (perda) yang paling banyak dicoret alias dibatalkan.

Dikabarkan, 36 perda yang diterbitkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sumut harus masuk lemari. Menariknya, kebanyakan perda yang dicabut adalah soal pajak dan retribusi. Dengan kata lain, soal pungutan daerah yang notebene berujung pada pendapatan daerah . Nah, ketika pendapatan daerah berkurang, logikanya daerah pun akan miskin. Jika daerah sudah miskin, bagaimana untuk melaksanakan program pembangunan demi menyejahterakan rakyat.

Tentu, hal ini menjadi sesuatu yang pelik. Namun, yang dipermasalahkan adalah bukan sekadar kurangnya PAD, melainkan kenapa sangat bergantung pada pungutan tadi.

Manajer Hubungan Eksternal Komite Pengawasa Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan adalah wajar jika perda di Sumut banyak yang dicabut. Pasalnya, di Sumut pejabatnya hobi cari pungutan. Kalimat Robert bukan tanpa alasan, dia menilik karakter orang di Sumut yang memang terbiasa dengan istilah upeti. Dengan kata lain, mainset pejabat masih saja merasa sebagai penguasa, bukan pelayan rakyat. Mental penguasa lama, merasa berhak melakukan pungutan-pungutan.

Ya, sejarah memang mencatat bagaimana Belanda mampu menaklukan sumber daya alam di Sumut ini. Sejatinya ini bukan soal senjata api melawan bambu runcing, tapi bagaimana pihak kerajaan yang ada di Sumut terkesan lepas tangan; yang penting uang sewa, pungutan, atau upeti sampai pada mereka. Itulah juga yang menjadi sebab revolusi sosial beberapa waktu lalu. Pihak kerajaan tidak begitu dekat dengan rakyatnya, melepas warganya untuk dikontrol langsung oleh Belanda.

Nah, ketika Belanda hengkang, maka ikatan emosional langsung hilang. Tanah kerajaan atau yang sekadar diakui sebagai tanah kerajaan pun menjadi tak bertuan.

Tak bertuan karena ketika dikembalikan ke kekerajaan oleh Belanda, warga tak mengakui hal itu. Bagi warga, tanah yang sebelumnya dikuasai Belanda adalah milik leluhur atau sebagainya.  Hingga, konflik menjalar antara pihak kerajaan dengan warga.

Ada perbedaan yang terjadi di Sumut secara umum dengan di Jogjakarta secara khusus. Di daerah kekuasaan Sultan Hamengkubowono tersebut, pada zaman dulu, Belanda atau bangsa asing lainnya hanya sebatas penanam modal, kontrol masih dipegang oleh keraton. Hingga, ketika Belanda hengkang, keraton masih memiliki marwah.
Mental turunan masa lalu inilah yang bisa dianggap sebagai penyebab perda yang dicoret itu muncul. Ya, sadar dengan kekayaan alamnya, seperti perkebunan dan kehutanan, pejabat langsung mencari dana dengan instan. Kini, seperti Belanda, para pejabat (baca, penguasa) pun tinggal menunggu aliran upeti dari pengusaha yang berinvestasi di Sumut. Setelah waktu berlalu, usaha jasa juga wajib dipungut. Tidak itu saja, warga pun tidak boleh mengelak dari pungutan.

Padahal, jika para pejabat sadar, soal pungutan ini tidak bisa begitu diandalkan. Kekayaan alam bisa habis bukan? Investor tidak selalu setia kan? Dia bisa beralih ke daerah yang pungutannya sedikit. Bukan cerita baru ketika berbagai ajang hiburan yang kelasnya nasional enggan ditampilkan di Sumatera Utara. Jawaban para even organisernya, terlalu banyak pungutan, terlalu banyak yang minta tiket gratis, dan sebagainya.  Begitulah, daripada rugi, lebih baik mereka melarikan diri. (*)

Artikel Terkait

Maling di Bandara

Maling di Bandara

Sayang Anak

Budaya Mangkir

Terpopuler

Artikel Terbaru

/