Melihat Siswa SMP Cari Biaya Hidup
Di tengah keterpurukan ekonomi keluarga, seorang anak tak boleh berhenti dari pendidikan. Demi mempertahankan sekolahnya, Nijam Tanjung (15) siswa kelas II SMP Negeri 3 Tebing Tinggi rela menjadi penjahit sepatu dipinggir jalan demi pendidikan dan meraih cita-cita menjadi seorang dokter.
DITEMUI di lokasi prakteknya menjahit sepatu di Jalan Suprapto, Tebing Tinggi, Nijam tampak bersemangat menusukkan satu persatu jarum ke sepatu yang sudah robek. Semangat itu, tak lelah walau panas terik siang itu, Minggu (11/12).
Sambil menusukkan jarum dan menarik kuat benang-benang untuk perekat sepatu yang robek, Nijam dengan ramah menjawab setiap pertanyaan wartawan. Dia mengaku, menjahit sepatu karena memahami perekonomian keluarganya.
“Kalau saya hanya mengandalkan penghasilan keluarga, saya tak bisa sekolah tinggi. Makanya saya menjahit sepatu dipinggir jalan dengan penghasilan hanya pas-pasan membantu kebutuhan keluarga dan biaya sekolah,” sebutnya.
Anak pertama buah pasangan Jali Tanjung (39) dan Muarifah (35) ini sehari-harinya tinggal di bersama kedua orang tuanya dan dua saudara kandungnya di Jalan Lintas, Kelurahan Begelen, Lingkungan III, Tebing Tinggi.
Dia mengakui, setiap pulang sekolah mesti ke Jalan Suprapto untuk menjahit sepatu. Pekerjaan itu dilakoninya demi untuk membiayai sekolahnya, agar jangan terputus di tengah jalan. “Saya punya cita-cita ingin menjadi dokter,” tegasnya.
Nijam ternyata sudah memiliki agenda rutinitas harian yang sangat padat, buktinya dimulai pukul 06.00 WIB bangun tidur, Nijam langsung mandi, usai berpakain sekolah dan sepatu sedikit bolong di bagian depan, dia langsung menuju sekolah SMP Negeri III, di Jalan Thamrin, Tebing Tinggi. Dengan berjalan kaki sejauh enam kilometer dari pinggiran rel kereta api.
“Yah jauh bang, cuma itu harus dijalani setiap hari. Supaya bisa jadi dokter,” katanya.
Dia menyebutkan, perjalanan itu tak membuatnya merasa letih, ditambah agenda setelah pulang sekolah harus ke Jalan Suprapto untuk melaksanakan kegiatan rutinnya menjadi penjahit sepatu dan sandal. “Sampai di Jalan Suprapto baru makan siang bang, dibekali ibu dari rumah,” sebutnya.
Ke dewasaan anak itu muncul, ketika disinggung apakah tak ingin bermain-main dengan temannya. Nijam menyebutkan, dirinya sama sekali tak punya waktu bermain-main dengan teman, karena kesibukannya bekerja dan belajar. “Lebih baik aku menjahit sepatu dari pada bermain-main dengan teman, uang hasil kerjaku bisa biaya sekolah serta untuk menabung,” sebutnya.
Saat ditanyai berapa penghasilannya perhari, Nijam menyebutkan setiap harinya terkadang hanya mendapatkan satu pasang sepatu. Untuk satu sepatu yang dijahit, harganya Rp7 ribu. “Terkadang mulai siang hari sampai sore mendapat dua konsumen. Tapi, kalau hari Minggu pendapatan bisa berlebih, karena banyak penjahit sepatu yang tutup,” ujarnya.
Nijam bercerita dirinya bekerja menjahit sepatu karena penghasilan orang tuanya tidak cukup untuk membiaya sekolahnya, karena ayah-nya bekerja sebagai tukang becak, kadang ayah pulang tidak membawa uang untuk emak, terkadang hasil menjahit sepatu separuhnya diberikan untuk membeli beras dan membuat kebutuhan adik-adiknya yang masih duduk di sekolah dasar.
“Saya bekerja supaya tabungan ada supaya bisa kuliah,” ucapnya, “Saya mulai saat kelas 5 SD,” tambahnya.
Jali Tanjung mengaku sudah melarang anaknya agar tidak bekerja menjahit sepatu, karena usaha menjahit sepatu itu adalah profesinya dulu. Akibat pendapatan menurun, kadang ada kadang tidak ada, makanya berpindah profesi menjadi penarik becak motor dengan menyewa milik toke.
“Nijam punya keinginan keras meneruskan menjahit sepatu, karena keinginan itu saya harap kelak jadi orang besar suatu saat,” katanya. (Sopian)