Oleh: Ustadz Ikrimah Hamidy, ST

Bila kita menjelajahi jalan-jalan besar Kota Medan, maka selalu dipersimpangan ada gelandangan dan pengemis, berdiri sembari meminta-minta. Demikian pula di kota-kota besar lain di Indonesia. Pagi-pagi sekali harus terlebih dahulu kita ingatkan bahwa mengemis jelas merupakan penyakit sosial yang menggerogoti mental manusia.

Tapi, pertanyaannya, mengapa mereka mengemis? Mereka mengemis, bagaimanapun bebalnya mereka, sangatlah boleh jadi pada tahu bahwa apa yang meraka tempuh ini sebenarnya sedang bertarung dengan dirinya sendiri, dengan perasaan malu, hina, dan dianggap sebagai bagian dari orang-orang yang malas, karena hanya bisa meminta tanpa mau berusaha. Sekali lagi pertanyaannya: mengapa mereka tetap pula mengemis?

Tentulah banyak faktor, perspektif, maupun pranata yang meyebabkan mereka mengemis. Sejelek-jeleknya dan sebego-begonya manusia, tidaklah ada yang punya cita-cita ingin jadi pengemis.

Percayalah bahwa kita memahami itu. Namun jumlah para pengemis yang masuk ibu kota propinsi Sumut yang terbilang makmur ini terus bertambah. Banyak faktor yang menjadikannya demikian, salah satunya karena bencana alam atau di Kota Medan menawarkan banyak potensi keuangan sehingga lebih mudah diminta.

Lantas faktor lain yang bukan mustahil adalah bahwa saat ini tragisnya, pengemis pun merupakan “profesi” yang paling menarik untuk dijalani oleh komponen masyarakat tertentu, disebabkan sifatnya yang gampang, praktis, dan cepat menghasilkan, yang kadangkala pula mudah dikasihani banyak orang.

Jelang Ramadan bahwa ada kekuatan mengimplementasikan tinjauan charity principle atau ajaran agama, yang jelas-jelas dituntun suatu konsep bahwa yang lebih beruntung harus membantu yang kurang beruntung. Akan tetapi tragisnya pula bahwa hal ini dieksploitasi oleh “si pengemis” agar banyak orang kasihan padanya.

Bagaimanapun dan berapapun yang dihasilkan oleh cara-cara mengemis, jika ditinjau dari prinsip-prinsip kemandirian, mengemis adalah suatu kesalahan besar, apalagi jika dijadikan lahan pekerjaan.

Tapi kita tak menutup mata bahwa masih banyak kalangan masyarakat miskin justru menjadikan mengemis adalah profesi “menggiurkan”, hingga 2 bahkan 3 kali lipat pendapat seorang buruh pabrik berpenghasilan yang 1.200.000,-/bulan.

Hasil investigasi buku-buku sosio ekonomi memperlihatkan bahwa selama menjelang Ramadan, “profesi” mengemis ini dapat menghasilkan uang dalam jumlah puluhan ribu bahkan ratusan ribu dalam hitungan jam atau siklus perputaran pungutan di lapangan. Mudahnya mendapatkan uang dalam waktu relatif singkat, cepat, dan padat (banyak) menjadi daya tarik utama bagi kaum pendatang marjinal.

Namun ketahuilah bahwa Umar bin Khattab pernah menarik keluar dari dalam masjid, seorang pemuda yang tidak mau berusaha padahal fisiknya mampu. Dikisah lain betapa banyak perbuatan baik, yang memberikan hartanya pada yang peminta-minta, menjadi teladan kehidupan.

Oleh karena itu, pemerintah dan kepolisian harus mengurai benang kusut mengemis ini dengan membongkar sindikat pengemis serta membantu orang-orang miskin yang menjadikan mereka keluar dari marginalitas. Di bulan Ramadan ini, dibutuhkan kecerdasan kita dalam bertindak dan beribadah.(net/jpnn)

SERGAI- Kepala Polisi Resort Serdang Bedagai (Kapolres Sergai) AKBP Arif Budiman Sik MH ceramah sekaligus bersilaturahmi dengan pelajar Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Mukhlisin yang berlokasi di Desa Cempedak Lobang, Kecamatan Sei Rampah, Kamis (4/8).

Dihadapan 160 santri dan orangtua santri serta serta guru sekolah agama tersebut, Kapolres mengatakan dalam bulan suci ramadan 1432 hijriah ini diharapkan umat muslim agar saling menghormati, waspadai teroris yang mengatasnamakan agama. Selain itu umat juga wajib menghindari narkoba, judi dan jangan bertindak anarkis dan bermain petasan karena dapat mengganggu ibadah puasa.

Dalam kesempatan itu, Kapolres Sergai didampingi, Kasat Bimmas, AKP Syahril SH, AKP EP Sinaga, Kasi Propam Ipda Syahnan Siregar memberikan sembako berupa beras, mie instan dan minyak goreng kepada santri. Diharapkan dengan adanya pemberian bingkisan ini dapat meningkatkan hubungan yang harmonis antar sesama umat muslim.(mag-15)

Selama ramadan, hotel di Kota Medan menyediakan menu buka puasa yang dilengkapi dengan tajil. Menu yang disajikan sulit ditemukan di hari-hari biasa, dan hal ini sudah menjadi keistimewaan dalam bulan suci ramadan.
Di Hotel Garuda Plaza Medan Jalan Sisingamangaraja Medan contohnya.

Hotel bintang tiga ini menawarkan menu berbuka puasa. Uniknya, para konsumen dapat memilih paket menu berbuka sesuai selera.

Selain itu, harga paket berbuka yang ditawarkan cukup terjangkau, mulai Rp60 ribu hingga Rp70 ribu. “Kita memberikan 2 paket pilihan untuk konsumen, mulai dari harga Rp60 ribu hingga Rp70 ribu,” tegas Marketing Garuda Plaza Hotel, Mira.

Sementara itu, untuk tajil ada paket Rp60 ribu, yang terdiri dari kurma, risol, bubur kacang hijau, bubur jangung, pergedel jagung, tahu isi, kolak pisang, hot tea dan es campur atau es cendol. Sedangkan menu utama, terdiri dari sop suun ayam, sop daging sapi sayuran, daging sap balado, ayam goreng balado, bidtik daging sapi, anyang pedas dan lainnya serta ditambah dengan buah semangka dan pisang.

Untuk paket Rp70 ribu, tajil dan menu utama sama seperti paket Rp60 ribu.

Bedanya hanya pada menu utama ditambah dengan sambal ati ampela, sambal tempe teri, gulai tahu kentang, telur dadar, cumi goreng tepung dan lainnya. Lalu dalam paket ini ditambah nasi putih dan buah semangka serta pisang.
“Selain itu, pengunjung juga akan disediakan tempat sholat, karena hotel kita memiliki musalla,” pungkas Meri.(mag-9)