26 C
Medan
Friday, December 26, 2025
Home Blog Page 15100

Sempat Bingung Memilih Keluarga dan Karir

Terlahir dari keluarga yang kurang berada, anak ke-2 dari 7 bersaudara ini terus berusaha agar dapat bersekolah. Bahkan sejak SMA hingga kuliah, dirinya mengajar private ke rumah-rumah untuk dapat membayar uang sekolah dan juga kuliahnya. “Kami bukan dari keluarga berada dan banyak bersaudara, makanya untuk membiyai uang sekolah harus bekerja,” kata Elli Tjan, Peneliti Ekonomi Madya Bank Indonesia Regional Medan-NAD mengenang.

Tamat dengan gelar Sarjan Hukum dari USU, Elli mencoba melamar ke Bank Indonesia yang memiliki cabang di Medan. Setelah 1 tahun berkutat dengan pendidikan yang diberikan BI, tepatnya pada Juni 1995 akhirnya Elli diangkat menjadi staf dan ditempatkan di Medan.

Seiring berjalannya waktu, wanita kelahiran Medan akhirnya menikah. “Sebelum menikah, saya dan suami berkomitmen agar saya tetap bekerja, karena kewajiban saya yang harus membantu ekonomi ibu saya,” lanjut Elli.
Namun, tahun 1999 BI memindahkan Elli ke Jakarta. Padahal, Elli pada tahun itu sudah memiliki dua anak dari hasil perkawinannya. Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Elli berangkat ke Jakarta seorang diri. “Sebagai ibu dari anak-anak, perasaan saya sangat berkecamuk karena harus meninggalkan suami dan dua anak saya. Padahal anak saya yang bungsu saat itu baru berusia 20 bulan dan masih minum ASI. Ini sebuah pilihan yang sulit ketika itu. Saya bingung  waktu itu, pilih karir atau keluarga,” kata Elli bercerita.

Hidup sendiri di Jakarta membuat Elli berkeinginan memboyong anak-anaknya ke Jakarta. Tetapi apa daya, sang suami yang berprofesi sebagai lawyer (pengacara) melarang Elli membawa buah hati mereka. “Saya sangat tertekan saat itu. Semua persiapan telah saya siapkan buat anak-anak saya nantinya di Jakarta, tetapi semuanya hancur,” ucapnya.

Dan pada titik inilah, Elli menyadari resiko dari pilihannya dan ini menjadi cambuk baginya untuk tetap bertahan dan menyakini semua masalah ini pasti dapat diselesaikannya. “Bagi seorang ibu, sangat berat berpisah dengan anak, ini bukan pekerjaan yang mudah,” lanjutnya.
Dengan tidak menyesali pilihan untuk karirnya, Elli tetap bertahan dengan pekerjaannya di BI, bahkan atasannya terkesan dengan hasil kerja Elli yang tetap konsisten walau sedang diterpa masalah keluarga. “Saya sudah memilih, karena itu saya tidak mau menyesali pilihan saya dan saya akan manfaatkan pilihan saya sebisa mungkin hingga akhirnya mampu saya atasi,”ujar Elli.
Seiring berjalannya waktu juga, Elli kembali tertantang untuk mengejar karirnya. Ia berkeinginan bersekolah keluar negeri, apalagi saat itu BI memberikan kesempatan untuknya menimba S2 di negeri Belanda. Namun keinginan tersebut tentu saja harus seizin suaminya.

Sebagai pilihan terbaik, akhirnya Elli mengambil S2 di USU. Pada saat inilah, ujian antara keluarga, kerja dan kuliah menjadi satu. Ya, Elli harus berperan ganda sebagai ibu dan istri, juga sebagai wanita karir. “Tapi saya kembali ke prinsip, semua masalah pasti ada solusinya,” ucap wanita kehiran 6 Desember 1968 ini.

Tak ayal, waktunya banyak tersita untuk kuliah. Sebab, jika hari Sabtu-Minggu biasanya ia menghabiskan waktu bersama keluarga, tapi harus digunakan untuk menyelesaikan tugas kuliah. “Saya sadar dan pahami bahwa saya telah merebut waktu saya untuk anak-anak saya,” paparnya.

Sebagai wanita karir yang memiliki posisi di tempat kerjanya, Elli menyadari ia adalah seorang wanita yang harus menjaga prilaku dan tatakrama di depan rekan kerja dan anaknya. Walaupun sebagai seorang bos, Elli tetap seorang wanita yang terkadang bertindak dengan hati. “Saya tahu anak-anak bekerja di bawah tekanan, karena itu setelah pekerjaan selesai, biasanya akan melakukan sharing dan makan kumpul bareng para rekan kerja. Saya juga tidak memaksakan agar rekan kerja tidak lembur, karena saya paham mereka juga memiliki keluarga,” ucapnya.

Bekerja di BI merupakan sebuah kebanggaan baginya. Secara logika, dengan kondisi suami yang bekerja sebagai pengacara, Elli tidak akan kekurangan bila ia hanya ibu rumah tangga di rumah saja. “Bekerja bagi saya bukan hanya mencari uang, tetapi juga untuk eksistensi diri dan mengembangkan ilmu yang telah saya peroleh,” ujarnya.
Karena itu, konsekwensi sebagai wanita karier dan juga seorang wanita diterima dengan lapang dada. “Walaupun saya capek sesudah pulang kerja, tapi saya tetap mengajak anak-anak saya naik sepeda keliling komplek. Sebab, si bungsu (anak ketiga) sangat senang naik sepeda,” bilangnya.

Baginya, sebagai seorang istri, ibu dan wanita karier merupakan kebanggaan dan kehormatan. Karena itu, semuanya akan dijaga untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga dan orang lain. “Terima pilihan, jangan menunda-nunda pekerjaan dan menyadari kodrat, maka akan lebih mudah untuk berjalan sebagai wanita karier,” pungkasnya tersenyum. (juli ramadhani rambe)

Yakin Bisa

MEDAN- Sekretaris Umum PSMS Idris SE mengaku tak takut jika pengelolaan klub sepak bola dilarang menggunakan dana APBD. Artinya beban musim depan bakal lebih berat dibanding musim ini.

Menggunakan kucuran sekitar Rp7 miliar APBD Kota Medan saja PSMS gagal berprestasi. Pengelolaan uang rakyat itu juga tak bisa disebut bersih, karena sampai saat ini tak ada laporan penggunaannya.

Padahal PSMS mendapatkan suntikan dana juga dari sektor tiketing. Perlaga, minimal PSMS ditonton 10 ribu pendukungnya. Harga tiket termurah Rp10 ribu dan termahal Rp75 ribu. Di kursi dengan tiket paling mahal tak pernah kosong. Artinya pendukung yang masuk membayar karcis potensial. Namun hingga saat ini tak ada laporan soal keuangan dari sektor tiketing.

Belum lagi di putaran kedua PSMS mendapatkan sponsor dari Bank Sumut. Namun lagi-lagi nominalnya tak disebutkan dan tak ada laporan pertanggungjawaban penggunaan dana sponsorship itu.
Musim depan, ketika seluruh klub profesional tak dikucuri APBD sesuai peraturan Mendagri, PSMS tampaknya bakal  makin kelimpungan. Kendala terbesar diprediksi datang dari besarnya biaya gaji pemain dan biaya operasional tur ke kandang lawan.

Musim ini, ketika masih dibantu APBD PSMS saja masih berhutang gaji pemain. Jumlahnya konon mencapai Rp1miliar lebih.

Namun begitu, Idris dengan enteng menganggap musim depan PSMS bakal melewati masalah ini dengan baik.
“Dengan program yang kami canangkan dengan Pak Wali saya rasa kita bisa tanpa APBD,” beber Idris ketika ditanyakan soal ini beberapa waktu lalu.

Caranya seperti apa? Dijawab Idris, bahwa pihaknya akan mencoba mencari dana sponsor dari pengusaha yang ada di Kota Medan dan pengusaha asal Kota Medan di luar kota. “Kami sudah mengumpulkan mudah-mudahan bisa membantu PSMS tanpa APBD,” lanjutnya. “Intinya kita pasti bisa kalau sanggup merangkul pengusaha lokal dan pengusaha nasional asal Sumut,” tandasnya.

Hal ini sudah bukan hal baru. Saban musim akan digelar, pengurus dan manajemen PSMS kerap mengumbar janji akan mendatangkan sponsor yang berasal dari pengusaha lokal atau nasional. Namun janji itu hanya janji. PSMS masih klub yang tak layak disebut profesional hingga hari ini. Akankah musim depan akan ada perubahan? (ful)

Identitas tak Sekadar Selembar Kertas

Ramadhan Batubara

Konon, untuk mengurus akte kelahiran, KTP, pasport, dan sebagainya tak segampang bicara; keluar dari mulut tanpa harus dipikir panjang. Ya, dia (surat-surat tadi) kadang menjadi momok. Ada sungkan yang muncul ketika ada kewajiban untuk mengurus hal itu. Sayangnya, begitu hebatkah peran kertas identitas tadi hingga mengurusnya saja sampai jungkir balik tak berbentuk?

Jawabnya, tentu sangat penting! Buktinya, jika saja Ruyati tidak memiliki kertas identitas, mungkinkah Indonesia berang ketika dia dipancung di luar sana? Bisa bayangkan bagaimana usaha Ruyati untuk mendapatkan kertas identitas tadi sebelum berangkat ke luar negeri? Apakah ia mendapatkan surat-surat itu dengan gampang, segampang kepalanya yang dipaksa lepas oleh algojo. Ah, saya yakin tidak.

Sayangnya, saya berpikir, kenapa usaha keras Ruyati agar diakui sebagai warga negara Indonesia oleh Arab Saudi sana tidak sebanding dengan kasusnya yang terkesan terbiarkan. Nah, ini dia yang saya maksud dengan identitas tak sekadar selembar kertas. Dengan kata lain, saya berharap, pemerintah menyadari kalau setiap warga negaranya (di mana pun berada) adalah sesuatu yang penting.

Ayolah, tidak usah berbicara soal setanah air, saudara sebangsa, atau segala kata indah yang membuat kita harus sadar sebagai sebuah kesatuan; cukup sadari kalau usaha seorang warga negara untuk sah menjadi warga negara Indonesia itu tidak gampang! Nah, ketika menyadari hal itu, maka pemerintah idealnya melakukan timbal balik yang wajar. Semacam kita belanja di sebuah warung, ada uang maka kita dilayani. Atau ketika kita menginap di hotel, wow, bukankah kita raja di sana. Jadi, pemerintah kan sudah menerima uang rakyatnya — tidak usah berpikir soal pajak atau pungutan-pungutan lainnya — cukup berpikir soal uang buat pasport, KTP, dan akte kelahiran saja. Lalu, apa yang telah diberikan pemerintah pada rakyatnya yang sedang rawan di negeri sana?

Fiuh, bicara soal Ruyati dan puluhan pahlawan devisa lainnya yang terancam hukuman mati, seakan tiada cukup. Saya ingin kembali ke Medan. Tentu, ini terkait soal ulang tahun ke-421 Medan yang jatuh pada 1 Juli nanti. Lebih mengerucut pada ajang ‘Jaka dan Dara’. Terlepas agenda itu terkait atau tidak dengan HUT Medan, penamaan ‘Jaka dan Dara’ mengusik pikiran saya.

Jujur, saya bertanya, siapakah yang memberikan penamaan itu? Apakah dia tidak memikirkan nama lain yang lebih Medan atau karena nama itu sudah sangat Medan? Apakah penamaan tersebut sudah didiskusikan secara mendalam? Baiklah, mari kita lihat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ketiga 1990, ‘Jaka’ berarti anak lelaki yang telah dewasa (tetapi belum berumah tangga); perjaka; bujang; lajang. Sementara ‘Dara’ berarti anak perempuan yang belum kawin; gadis; perawan. Selain itu, ‘Dara’ juga diartikan sebagai ternak betina yang berumur lebih dari satu tahun dan belum pernah beranak walaupun sudah bunting. Tidak itu saja, ada lagi artinya yakni burung merpati (Columba domestica).

Menilik soal arti itu, tentunya bukan masalah. Pasalnya ‘Jaka’ adalah lelaki dan ‘Dara’ adalah perempuan. Nah, kontes ‘Jaka dan Dara’ kan memang memilih lelaki dan perempuan pilihan yang bisa mewakili Medan. Tapi, cukupkah arti itu saja. Saya berpikir, kontes semacam itu idealnya diberi penamaan yang benar-benar khas. Jaka bagi saya tidak begitu khas Medan atau Sumut, dia lebih men’Jawa’. Contohnya, Jaka Tarub dan Jaka Tingkir. Sedangkan ‘Dara’ cenderung Melayu, namun dia kurang Medan terasa.

Begini coba perhatikan penamaan kontes semacam ‘Jaka dan Dara’ di daerah lain. Di Jakarta disebut ‘Abang dan None’, di Yogya ‘Dimas dan Diajeng’, di Jawa Timur bernama ‘Raka dan Riki’ (padahal Surabaya memakai ‘Cak dan Ning’), sementara di Bali disebut ‘Teruna dan Teruni’. Bagaimana? Ada kekhasan yang muncul dari contoh tersebut? Baiklah, lihat lagi penamaan kontes semacam itu di wilayah Sumatera. Aceh memilih ‘Agam dan Inong’. ‘Uda dan Uni’ di Sumatra Barat. ‘Bujang dan Gadis’ di Bengkulu. Sedangkan di Lampung, ‘Muli dan Mekhanai’.

Sekali lagi, kenapa pilihan bisa jatuh pada kata ‘Jaka dan Dara’. Ya, kenapa tidak ‘Ucok dan Butet’ (kabarnya sudah dipakai untuk kontes sejenis di Balige), ‘Abang dan Kakak’, atau lainnya? Hm, untuk ‘Ucok dan Butet’, mungkin kesan suku tertentu sangat kental, sementara Medan terkenal plural. Lalu, kenapa tidak ‘Abang dan Kakak’? Bukankah penamaan ini lebih membumi. Tentu ada yang menjawab, kan sudah dipakai oleh Jakarta (Abang). Ayolah, apa salahnya, toh pembangunan di Medan cenderung menjiplak Jakarta kok. Tapi sudahlah, jika memang Medan ini plural, hingga tidak pas jika harus melebihkan dan mengurangkan suku tertentu, kenapa tidak berpegang pada suku yang dianggap sebagai penduduk asli kota. Ya, apalagi kalau rumpun Melayu, Deli. Maka ada penamaan yang pas. Yakni ‘Tuan dan Puan’. Ya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘Tuan’ berarti orang tempat mengabdi.

Kemudian diartikan juga sebagai yang memberikan pekerjaan; majikan; kepala perusahaan dan sebagainya; pemilik toko dan sebagainya. Arti lainnya adalah sebutan untuk laki-laki yang patut dihormati. Sedangkan ‘Puan’ berarti empuan; perempuan. Juga diartikan sebagai nyonya (lawan dari tuan). Bagaimana? Menarik dan khas kan?
Sekali lagi ini soal identitas. Untuk hal ini, Sumatera Utara memang cenderung kesulitan. Misalnya saja nama kampus, biasanya nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau yang berubah bentuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) memakai nama ulama atau tokoh yang terkenal di wilayahnya.

Maka sebut saja Ar-Raniry (Banda Aceh), Imam Bonjol (Padang), Sulthan Syarif Qasim (Pekanbaru), Syarif Hidayatullah (Jakarta), Sunan Gunung Jati (Bandung), Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Alauddin (Makassar), dan sebagainya. Sedangkan di Medan, namanya adalah UIN Sumatera Utara. Benarkah Sumatera Utara tidak punya ulama yang layak? Lalu, bagaimana dengan Hamzah al-Fansuri yang dari Barus itu dan lainnya?
Mungkin paparan di atas soal Jaka dan Dara serta nama IAIN atau UIN yang kurang ‘Medan’ menjadi sesuatu yang menyedihkan. Namun, sejatinya saya melihat sebuah kekhasan yang menarik untuk Medan.

Ada tarik-menarik kepentingan yang tampaknya belum juga selesai dari dulu. Sebut saja sejak zaman Guru Patimpus, berkembangnya kampung menjadi semacam kota, masa kesultanan, kemunculan perkebunan, masa perjuangan kemerdekaan, hingga sekarang. Sepertinya Medan memang cenderung tercipta untuk menjadi sesuatu kota yang tidak bisa dimiliki oleh satu orang atau kaum tertentu. Begitu banyak kepentingan, begitu banyak orang pintar, dan begitu banyak ‘raja’. Maka, bukan sesuatu yang berlebihan jika seorang kawan terhenyak melihat gedung DPRDSU yang berornamen Batak sedangkan gedung lain bercorak Melayu. Fiuh.

Keadaan ini membuat saya berpikir, mungkinkah orang Medan beranggapan, apalah arti semua itu (maksudnya identitas kesukuan)? Mungkin, Bagi orang Medan, kesukuan adalah sesuatu yang mendarah daging, dia berada dalam tubuh, bukan untuk digemborkan untuk identitas kota. Ya, Medan adalah Medan. Suku adalah suku. Aku adalah aku. Ini Medan Bung! (*)
24 Juni 2011

Seruwit

Cerpen:     Mashdar Zainal

Sepulang dari kerjanya—mengajar, buru-buru Hasbi ke ruang tengah, menengok meja makan. Tercenunglah ia sebentar di sana. Ditiliknya menu-menu ‘orang kota’ yang dipesan istrinya dari resto: nasi putih yang dibungkus kertas tipis yang ada tulisannya, fried chiken lengkap dengan saus dan sambal sasetnya, serta segelas plastik minuman kola. Hasbi hanya memandangi menu-menu
itu dengan mata malas.

Hasbi benar-benar merindukan dapur rumahnya mengepul, merindukan masakan-masakan rumah semacam menu-menu yang dimasak emaknya (almarhumah). Memang menu emaknya tak ada yang mahal-mahal, tapi rasanya selalu mantap. Macam seruwit, tempoyak, belide asap, terasi kangkung lalapan, tempe lawas, semua akan jadi menu istimewa setelah tersentuh tangan ajaib emaknya. Lamat-lamat Hasbi terngiang tutur almarhumah emaknya.
“Bujang, sudah lengkap umur kau buat naik puadai. Tunggu apa pula kau ini? Kalau kau memang srek sama muli-nya Haji Madun, siapa itu namanya? Ida atau siapa itu? Ya, itulah… pokoknya cepat-cepatlah kau nikahi dia. Tapi, ingat kata-kata emak. Dari gemulai tangannya, si Ida itu, tak pandai masak dia. Apalagi bikin seruwit. Maka itu, mumpung Emakmu ini masih sehat, belajarlah kau bikin seruwit.”

Itu dia. Mula-mula emak memang gamang ketika mengizinkan Hasbi meminang Ida. Tapi apa boleh cakap, Hasbi sudah cinta mati sama perempuan itu. Tak elok, kata emaknya, memutus pertalian jiwa dua orang yang sudah cocok. Maka dengan syarat, emaknya meloloskan ia memperistri Ida. Syarat yang tak rumit sebenarnya, hanya bikin seruwit.

“Bujang, apa kau pernah dengar upacara minum teh di Jepang? Ya, nyeruwit ini, ibarat upacara minum teh-nya keluarga kita. Sudah turun temurun dari canggah buyutmu. Kelak, kalau kau menikah dan punya anak, janganlah kau lupakan upacara nyeruit ini. Kau ni orang Lampung, walau laki, kau juga harus tahu cara bikin seruit. Kau tularkanlah nanti ajaran emakmu ini pada si Ida. Kau ni anak tunggal, apa kata uwak, pakcik kau nanti bila istrimu tak pandai masak, tak bisa bikin seruwit!”
***
Ida memang tipe orang yang tak bisa dipaksa. Setiapkali ada waktu senggang, dan Hasbi mengajaknya bikin seruwit (supaya dia bisa), Ida selalu menolak. Macam-macam saja alasannya.
“Seruwit lagi, seruwit lagi! Abang saja bikin sendiri.”
“Ayolah, Da. Mumpung longgar. Biar kuajari kau bikin seruit. Kau ni orang Lampung. Harus bisa kau bikin seruit.” Hasbi merajuk.
“Paling tidak kan, sebulan sekali, Abang sudah nyeruwit di rumah pakcik Mahmud atau Uwak Amir. Tidakkah itu cukup buat mengobati ngidammu, Bang?”

“Bukan begitu, Da. Sekali waktu, gantian lah kita yang ngundang mereka.”
“Akhir pekan ni buat istirahat, Bang! Relaksasi. Abang pula, apa tidak capek. Senin sampe Jum’at ngajar di kampus, berangkat pagi pulang sore. Sabtu-Ahad ni kita pake buat nyantai-nyantai saja, Bang!”
“Aduh, Da. Malu Abang sama uwak juga pakcik. Putus pula undangan kita buat nyeruit bareng. Dulu… Da,” Hasbi menerawang, “sewaktu emak masih hidup, keluarga Abang nih yang paling rajin undang dun sanak buat nyeruit bareng, di rumah Abang ni.”

“Abang kan bisa bikin seruit, kenapa tidak Abang saja yang bikin, lalu undanglah uwak, pakcik semua.”
Bagaimana lagi Hasbi musti menjelaskan. Pandai nian istrinya berbalas kata. Tidakkah bapaknya yang haji itu mengajarinya bagaimana bersikap santun pada suami. Untung saja perangai Hasbi lemah lembut dan tidak bisaan. Sekali dia cakap dan istrinya menimpali, lekas-lekas cakap ia sudahi. Hasbi tak mau memaksa istrinya yang memang keras kepala. Kalau Hasbi tak sabar, bisa-bisa pertengkaran yang akan jadi perhiasan rumah tangga. Apalagi Ida tengah mengandung. Ah, sudahlah. Lain waktu saja, selalu begitu pasrah Hasbi.

Maka setelah gagal mengajak istrinya, Hasbi bertindak sendiri. Berbelanjalah ia ke pasar terdekat. Di borongnya ikan patin segar, terong ungu, limau kunci, mentimun, dan daun singkong. Tak lupa pula ia memesan tempoyak jadi ke makcik Nurul. Diraciknya sendiri bumbu-bumbu itu. Dengan luwes Hasbi melumat cabai, terasi, dan bumbu-bumbu dalam cobek besar. Dicucinya sendiri daun singkong dan direbusnya dengan air yang dibubuhi sedikit garam. Digorengnya ikan patin segar dengan hati-hati. Sepanjang Hasbi memasak, sesekali saja Ida menengok ke dapur, lalu kembali ke depan tivi. Hasbi geleng-geleng sambil tersenyum.

“Seruwit bikinan Abang sudah siap ni, Da. Tak sudikah kau mencobanya? Rasanya mantap ini, macam bikinan emakku,” Hasbi berteriak dari dapur.
“Cepat sekali kau bikinnya, Bang,” balas Ida dari ruang tengah. Perlahan Ida mendekati suaminya yang bau asap dapur.
“Apa kubilang, bikin seruwit tuh mudah. Aku saja yang laki bisa, apalagi kau.”
“Coba ya, Bang,” Ida mencomot daun singkong rebus dan mencocolnya ke sambal seruit yang sudah terhidang rapi di cobek kecil.
“Jangan banyak-banyak sambalnya. Pedas itu!”
“Aku kan suka pedas, Bang.”
“Bagaimana?”
“Uhfff…. Mantap memang, Bang. Jadi inget seruitnya almarhumah emak.”
“Maka itu, sudilah kau belajar bikin seruwit.”
“Iya, bang! Iya. Lain kali, kalau ada waktu luang, Ida janji. Belajar bikin seruwit.”
“Nah, itu baru istri Abang.”
***
Minggu depan Hasbi bertekad ingin mengundang uwak, pakciknya. Tak ada rugi memang, ia belajar bikin seruit pada ahlinya: almarhumah emak. Tak akan lagi ia memaksa-maksa Ida. Cukuplah ia disindir dengan sikap, lambat laun pasti akan luluh juga.

Tanpa ba-bi-bu, minggu pagi Hasbi bergegas ke pasar. Ditinggalkannya Ida seorang di rumah. Toh, Ida masih sibuk dengan urusan cucian. Tak ada salahnya ia berangkat sendiri. Dibelinya bahan-bahan nyeruwit sebagaimana layaknya. Diraciknya sendiri bumbu-bumbu itu. Berjibakulah Hasbi dengan perkakas dan asap kompor.
“Sebentar ya, Bang. Selepas menjemur ini Ida bantu,” lirik Ida sambil menyangking bak cucinya. Hasbi tersenyum manis. Bertambah saja cintanya pada Ida. Sejatinya Ida memang perempuan yang kalem, meski kadang kala keras kepala dan menjengkelkan.
“Ida selesai, Bang. Sekarang apa yang bisa Ida bantu?” Ida mendekati suaminya yang masih sibuk dengan bumbu-bumbu.
“Duduklah kau yang manis. Lihat saja bagaimana Abang meramu menu istimewa ini. Abang tahu, kau masih kepayahan. Ambillah napas dulu.”

“Iya, Bang. Ida akan simak baik-baik, seperti apa koki Ida ni bikin seruit.”
“Kalau kau bikin seruwit, Abang sarankan kau pilihlah ikan patin, atau baung yang masih segar. Layis atau ikan Mas juga boleh. Kau gorenglah ikan-ikan tu, kau panggang juga bisa. Selepas itu kau racik bumbu-bumbu lainya, kau bikinlah sambal terasinya, kau pangganglah terung unggunya, kau rebuslah daun singkongnya. Tempoyaknya jangan sampai lupa. Oh ya, supaya lebih mantap kau tambahlah isi mentimun tuh. Kalau bahan-bahan sudah siap, kau aduklah semuanya dalam satu wadah. Dan seruit siap dihidangkan.”
“Tampaknya tak sulit-sulit amat, Bang.”

“Memang tak sulit. Abang saja butuh waktu setengah hari buat belajar bikin seruit dari emak. Dan hasilnya…”
“Iya lah, Bang, Ida tak sangsi itu.”

“Oh ya, Da. Kalau kau suka lalapan mentah, bolehlah kau petik pucuk daun jambu mente, atau kemangi. Kalau kau suka jengkol, ya jengkol. Tapi kalau Abang paling suka kacang panjang. Bagaimana?”
“Oke, Bang. Ida sudah ada bayangan.”
“Sebenarnya, Da, bagi keluarga kita ni, nyeruwit tu tak ubahnya alat. Alat buat ngikat silaturrahim ke sanak kerabat, ke pakcik, uwak, sodara-sodara jauh. Dulu sewaktu emak muda, upacara nyeruit nih, dilakukan paling sedikit seminggu sekali. Bergantian pula. Kalau minggu ini di rumah Wak Amir, minggu depannya di rumah Pakcik Mahmud, dan minggu berikutnya di rumah emak. Begitu seterusnya.”
“Iya, Bang, bener. Sekarang Ida ngerti. Kenapa Abang bersikeras macam almarhumah emak.” Ida manggut-manggut.
***

Paripurna sudah, para kerabat Hasbi sudah pada datang. Pakcik Mahmud beserta keluarga besarnya, tak ketinggalan pula uwak amir beserta istri dan anak cucunya. Hasbi mengelar karpet di ruang tengah. Menu-menu dikeluarkan satu persatu. Mereka duduk bersila, melingkar layaknya acara tahlilan. Setelah sedikit mukaddimah dan berkirim doa, pesta nyeruit pun dimulai.

“Mmm… mantap nian seruwit kau ni, Hasbi. Persis bikinan emak kau. Terasinya kerasa. Siapa yang bikin?” Pakcik Mahmud berkomentar. Hasbi dan ida saling melempar pandang.
“Si Ida ini Pakcik, yang bikin,” sahut Hasbi. Ida melonggo, memicingkan mata ke suaminya.
“Tak rugi kau punya istri macam dia ni. Sudah cantik, pinter masak pula,” Uwak amir urun tutur. Ida tersipu-sipu.
“Serbatnya juga silahkan dicuba! Ida juga yang bikin itu. Tak pakai gula itu, tapi pakai madu. Iya, kan, Da?” Hasbi berkoar lagi.

Ida menekuk muka, “Iya.” Lirihnya.
Selepas para kerabat pulang, Ida memberondong Hasbi dengan pertanyaan dan protes.
“Kenapa pula abang, ni. Pakai bilang aku segala yang meracik seruit. Manalah aku bisa? Kalau mereka bertanya ini-itu. Bagaimana harus kujawab, Bang?”
“Sudahlah, Da. Abang cuma mau, mereka tu bangga sama kau, istri Abang yang cantik dan pintar masak ni.”
“Abang nyindir Ida, ya?” Ida memukul ringan lengan suaminya. Hasbi malah cekikikan.
“Kau cantik, itu tak diragukan. Kau pandai masak pula, kan?”
Ida terdiam. Tapi senyumnya mengembang. Senyum malu-malu.

***
Di usia kndungan Ida yang kian tua. Rasa cinta Hasbi bertambah-tambah. Seolah tak rela ia melihat istrinya bersusah-susah. Tak ada lagi ia paksa-paksa si Ida buat belajar bikin seruit. Bahkan Hasbi menyarankan istrinya untuk segera mengambil cuti. Kandungannya butuh istirahat. Sudah delapan bulanan. Dengan takdhim pula, ida menuruti saran suaminya. Mengambil perlop. Jadi, Hasbi berangkat ke kampus, dan ida yang menyiapkan sarapan di rumah. Sarapan tak perlu berat-berat. Kalaupun Ida malas masak. Hasbi sendiri yang akan berpesan lauk-pauk ke warung makcik Nurul. Pun pagi-pagi Hasbi sudah mencuci beras dan menyolokkan rice coocker. Jadi, Ida tak perlu repot-repot. Biarkan Ida nyaman dengan kandungannya, begitu pikir Hasbi.
Ida jadi terkagum-kagum dengan sikap suaminya, benar-benar penyabar dan pengertian. Tiba-tiba Ida menyesal, dia merasa selama ini telah menyakiti Hasbi, tak pernah menuruti kata-katanya, selalu membangkang bila diajak bicara. Diam-diam ia terisak. Dia merasa sangat beruntung beroleh suami macam Hasbi. Ingin rasanya ia menyusul Hasbi ke tempat kerjannya, mengucup tangannya agak lama, dan meminta maaf. Ida tercenung lama. Beberapa saat kemudian ia tersenyum menuju dapur.
***
Sepulang dari kerjanya, Hasbi terkejut setengah mati. Ia hampir tak percaya. Dilihatnya meja makan yang penuh dengan aneka macam masakkan. Tapi satu tatapnya tertuju: seruit. Buru-buru Hasbi meletakkan tas dan melingkar di hadap meja makan.

“Percaya tak percaya. Sedap tak sedap. Itu, Ida yang bikin, Bang,” tutur Ida kalem.
Hasbi menggeleng-geleng kepala. “Ini benar-benar kejutan paling menyenangkan yang pernah Abang dapat, Da. Kau tahu itu?” Hasbi mendekati istrinya dan mengucup keningnya agak lama.
“Ayolah Abang cuba! Moga tidak mengecewakan,” gumam Ida.
“Kau mau bikin seruwit saja, itu sudah bikin Abang senang bukan kepalang. Pun kalau rasanya kelewat masin, Abang akan tetap santap.”

Ida tersenyum. Menunggu suaminya mencoba masakan yang telah susah payah diraciknya. Ida mengambilkan sepiring nasi buat suaminya. Pun Hasbi mulai mencicipi seruwit yang sudah tertata di hadapannya. Ida deg-degan. Tak sabar menunggu komentar dari suaminya. Setelah beberapa kunyah. Hasbi terdiam sejenak.
“Tak enak, ya, Bang?” lirih Ida.

Hasbi menatap istrinya saksama. Menyiapka kata-kata.
“Bagaimana, Bang?” Ida penasaran.
“Abang akan buka kedai, dan seruwit bikinanmu akan jadi menu utamanya. Kedai Seruwit Hasida: Hasbi-Ida,” ucap Hasbi yakin.
Mereka saling tatap lalu tertawa agak panjang. Seolah saling memastikan, bahwa hari-hari mereka ke depan akan dipenuhi dengan kejutan-kejutan. ***

Lembah Ibarat
Malang, 2010, 2011
Catatan:
Seruwit: Seruit adalah makanan khas provinsi Lampung, yaitu masakan ikan yang digoreng atau dibakar dan dicampur sambel terasi, dan tempoyak (olahan durian).

Style Fashion Reggae Bangkit Lagi

Trend Reggae

Warna merah, kuning, hijau, dipadu dalam satu wadah baik di baju, tas, sendal, topi atau pun aksesoris kecil, kerap terlihat meramaikan penampilan seseorang belakangan ini. Bahkan rambut gimbal atau yang dikenal dreadlock pun tak lagi malu untuk tampil ke permukaan.

Ya, penampilan itu pun menghantar pikiran kepada salah satu jenis musik, reggae. Musik reggae awal
nya dipopulerkan warga negara Jamaika, Bob Marley ke seluruh dunia di era 1970-an. Dan untuk menghargai kontribusinya, para pecinta reggae kerap menggabung symbol-simbol tersebut, warna pada bendera Jamaika, Bob Marley, atau mariyuana (ganja) dalam atributnya.

Warna-warna tadi pun belakangan mulai terlihat di berbagai sisi Kota Medan. Baju kemeja berukuran besar bergambar Bob Marley dalam berbagai ekspresi, atau pun pesan-pesan perdamaian yang dibuat dengan kreatif.
Tidak hanya baju dan topi, simbol-simbol tadi bahkan menyebar untuk tas, sandal, jaket, sepatu, hingga dalam bentuk aksesoris kecil lainnya. Misalnya, kalung, gelang, kaos kaki, sarung tangan, hingga sarung handphone. Juga celana pendek yang dikenal dengan boxer turut mengadopsi simbol-simbol reggae tadi.

Menarik perhatian di sekitar untuk menatap dan sekaligus membaca tulisan yang ditingkahi warna dan gambar mencolok itu. Begitu juga dengan topi rajut yang dibuat dengan tiga warna tersebut.

Kesan itu pula yang dirasakan mahasiswi di salah satu universitas swasta ternama di Kota Medan, Susi (19) yang ditemui di SUN Plaza Jalan Zainul Arifin Medan, Jumat (24/6). Kemeja sedikit gombor bergambar Bob Marley di belakang dan simbol gambar daun ganja tujuh bunga yang melekat di baju dipadukan dengan pada hotpants (celana pendek) berwarna putih, memperjelas perangainya yang periang.

Begitu juga sandal jepit berwarna merah, kuning, hijau dan topi koplok yang dikenakan membuat gadis mungil ini jadi pusat perhatian. “Sebenarnya tidak ada maksud untuk jadi pusat perhatian. Uci memang suka warnanya walaupun untuk musiknya cuma tahu dikit. Kesannya damai dan lebih leluasa untuk pergerakan bagian atas. Mungkin karena komprang ini ya,” kata warga Medan Johor ini.

Sedikit unik dengan topi koplok yang digunakan Rio (21), warga Jalan Pabrik Tenun Medan. Tampak seperti rambut berjuntai di kepalanya yang setelah dilihat dari dekat ternyata hanya aksesoris tambahan. Rio sendiri memiliki rambut ikal yang pendek.

Begitu juga dengan kain sal, sandal, dan tas mungil yang digunakan Popy (21) seperti menyatu dengan kaos kuning dan celana pendek hitam di tubuhnya. Hal itu menunjukkan adanya pergeseran pada dunia fashion belakangan ini. Aksesoris yang dulunya hanya ditemukan di kalangan pencinta musik reggae kian melebarkan pengaruhnya.

Kesan lusuh dan masa bodoh yang ada perlahan pun mulai menemukan kelasnya. Begitu juga dengan pemahaman akan reggae itu sendiri yang lebih melihat pada semangat yang diusung sang legendaries. “Irama musik reggae yang dinamis membuat pendengarnya terhanyut dan tak jarah memberikan kedamaian. Begitu juga lirik-lirik dari lagu reggae juga sangat kental dengan pesan-pesan cinta perdamaian. Saya pikir semangat itu yang lebih dilihat sekarang ini daripada ganja, alkohol, dan gaya hidup negatif lainnya,” tegas Anonie Purba yang ditemui di Distro Rasta Medan Jalan Pabrik Tenun No 105 Medan.

Hal itu pula yang ingin diwujudkan Anonie bersama Ion Saragih saat mendirikan Distro Rasta Medan sebagai counter fashion khusus reggae di Kota Medan tepatnya 4 Juni lalu. Berbagai aksesoris dengan warna khas ala reggae pun terpajang di situ. Baik baju, kaos maupun kemeja, celana, tas, topi, jaket, sendal, sepatu, tali pinggang, jam tangan, kalung, kerabu, kain pantai, mancis, poster, stiker dengan motif-motif unik.

“Semua fashion bergaya reggae ini kita datangkan dari pulau Jawa dan Bali. Namun ke depan kita mau mengangkat kreatifitas lokal dengan membuat logo sendiri. Begitu juga kita akan menambah item yang ada seperti kaset-kaset reggae,” tambahnya.

Dengan harga yang terjangkau, mulai Rp10.000 hingga Rp200.000, toko yang dibuka hampir satu bulan ini sudah mendapat antusias dari masyarakat. Meskipun tidak dalam jumlah besar, dipastikan setiap harinya ada item yang terjual.

Tidak hanya penjualan aksesoris, pembuatan tato maupun rambut gimbal atau dreadlock dapat dilakukan. Meskipun hal itu tidak sebuah keharusan dalam kehidupan seorang pecinta reggae. “Seperti lirik Bapak Reggae Indonesia Tony Q Rastavara, reggae tidak harus gimbal, gimbal tidak harus reggae, ganja tidak harus reggae, reggae tidak harus ganja,” pungkasnya. (jul)

Berjuang dalam Damai

SOAL penggunaan ganja untuk menikmati musik reggae tidaklah selalu diterima oleh seluruh penikmat musik reggae.
Menurut mereka, reggae sebetulnya adalah musik yang membawa pesan perdamaian. Jadi tak ada hubungannya sama sekali dengan penggunaan ganja yang merupakan benda ilegal untuk dikonsumsi secara bebas.

“Reggae sebetulnya dapat memberikan pengaruh yang positif. Selain lirik lagu reggae berisi pesan perdamaian, juga memberikan dorongan untuk membuat hidup lebih baik,” ucap Ketua Pelaksana Komunitas Rasta Medan, Anonie Purba yang ditemui di Jalan Pabrik Tenun Medan, Jumat (24/6).

Lewat musik dan simbol-simbol pada busana yang dikenakan, masyarakat Jamaika menyampaikan keinginannya akan sebuah kebebasan. Penolakan sebuah suku bangsa dari penindasan yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa.
Begitu juga dengan rastafari, sebuah paham yang mucul untuk pembebasan bangsa Afrika tadi. Penganut rastafarian yang disebut sebagai rastamania, atau rastafarian bahkan tidak mengkonsumsi alkohol, obat bius, ganja, dan beberapa diantaranya adalah vegetarian.

Begitu kentalnya nuansa falsafah rastafarian dalam ratusan tembang yang dicipta dan dibawakan, membuat citra reggae dan rastafarian sulit untuk dipisahkan. Reggae dan rastafarian bisa dibilang punya arah yang sama.
Bahkan, membawa pesan kasih sayang dan perdamaian, bukan sekadar berambut gimbal atau tampil berantakan. Tak kenal maka tak sayang. Itulah jeritan hati pecinta reggae sejati. Kebebasan yang mereka inginkan, bukanlah kebebasan tanpa batas lewat pengaruh daun ganja. (jul)

Alamak, Wali Kota Gila Kawin

Gadis Kafe Jadi Istri Keempat

BOGOR-Wali kota yang satu ini memang gila kawin. Pria bernama Diani Budiarto yang kini menjabat sebagai Wali Kota Bogor ini kembali menikah dengan seorang remaja berusia 19 tahun bernama Siti Indriyani. Ini adalah pernikahaan keempat Diani.

Pernikahan itu berlangsung dengan pengamanan ketat di Perumahan Bogor Nirwana Residence (BNR). “Iya benar Pak Wali Kota Diani sudah menikah lagi. Ini istri keempatnya,” kata Kabag Humas Pemkot Bogor Asep Firdaus, Jumat (24/6).

Meski demikian, Asep membantah kalau Diani menikahi ABG. Menurut dia, istri keempatnya sudah berumur 19 tahun dan sudah dianggap dewasa. “Tapi itu bukan ABG lagi perempuannya, sudah 19 tahun. Jadi tidak ada yang salah,” katanya.

“Meskipun dia masih menjabat sebagai walikota, tapi dia sudah pensiun dari jabatan PNS-nya sejak 4 bulan lalu,” kata Asep Firdaus.

Karena Diani sudah pensiun dari jabatan PNS-nya, poligami yang dilakukannya diyakini tidak melanggar aturan pemerintah. Dalam PP No 10/1983, ada aturan agar PNS tidak berpoligami. “Jadi tidak melanggar PP No 10/1983. Tidak ada yang salah, perempuannya sudah dewasa. Menikahnya secara sah menurut agama dan negara,” jelas Asep.
Resepsi telah berlangsung Kamis (23/6) kemarin dengan undangan terbatas di Cluster Panorama Bogor Nirwana Residence, Bogor, tempat kediaman Wali Kota. Para undangan berbaju batik datang dengan bus Blue Bird. Jika ada tamu undangan yang memakai mobil pribadi harus menunjukkan undangan. Bahkan, wartawan sempat melihat mobil pribadi Wali Kota Bogor Diani Budiarto bernomor polisi F 1678 BE yang biasa digunakan untuk bertugas memasuki area cluster Panorama.

Meski ini pernikahan keempat, tapi Siti Indriyani merupakan istri ketiganya saat ini. Menurut seorang politisi yang merupakan kolega Diani, dengan pernikahan terakhir ini, Diani sudah menikah empat kali. “Ibu Fauziah yang menjadi ibu Wali  Kota, itu istri dari pernikahan kedua. Yang sebelumnya cerai,” kata sumber itu, Jumat (24/6).
Ketika bercerai dari istri pertama, Diani dekat dengan Fauziah yang rupanya teman sesama alumnus STPDN, kini IPDN. Fauziah pun bercerai dengan suaminya, lantas dekat dengan Diani dan lalu menikah. Lantas, beberapa tahun kemudian, Diani pun berpoligami. “Pada 2004, ketika dia mau maju sebagai calon wali kota, Diani menikah lagi,” kata dia.

Istri kedua dari pernikahan ketiga ini adalah seorang pengurus organisasi. Namun setelah 7 tahun berpoligami, Diani rupanya menikah lagi. Gadis yang ia pilih kali ini adalah Siti Indriyani (19). “Kalau kemarin itu resepsinya. Kalau menikahnya sih sebelum itu,” ujar dia.

Diani adalah Wali Kota Bogor yang menjabat untuk periode keduanya, 2009-2014. Pria kelahiran Bandung, 14 Januari 1955 ini, menjadi Wali Kota berpasangan dengan Ahmad Ru’yat itu diusung oleh Partai Golkar, PDIP, PKS, Partai Patriot, PKPI, PPDI, PSI, PBSD, dan PDK.

Kemarin, Diani Budiarto tidak tampak seharian di Balaikota Bogor. Berbagai agenda kerja sepanjang Jumat ini tidak dihadirinya. Pantauan wartawan sepanjang Jumat (24/6), Diani tidak datang ke Balaikota Bogor. Padahal, ada acara peringatan Hari Anti Narkoba Sedunia di jajaran Pemkot Bogor.

Alhasil, acara itu hanya dihadiri pejabat teras di bawah Wali Kota. Sejumlah pejabat Pemkot Bogor enggan berkomentar soal menghilangnya orang nomor satu di Kota Bogor ini kemarin. Kabag Humas Pemkot Bogor, Asep Firdaus  juga tidak mau memberikan penjelasan seputar agenda Diani kemarin.

Bahkan, Diani sebenarnya sudah menghilang sejak Kamis (23/6). Pada Kamis malam itu, Diani seharusnya menerima penghargaan MUI atas prestasi Pemkot Bogor terhadap komitmen produk halal.

Penghargaan diberikan dalam acara Gala Dinner jelang Pameran Indonesia Halal Expo di Gedung Smesco, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Tapi, rupanya hal itu bertepatan dengan resepsi pernikahan Diani. Wali kota hanya mengirimkan asisten wali kota untuk menerima penghargaan tersebut.

Pegawai Kafe Bertubuh Sintal

Siapakah Siti Indriyani? Gadis berusia 19 tahun ini menjadi istri Wali Kota Bogor Diani Budiarto dalam pernikahannya yang keempat. Siti rupanya dikenal sebagai pegawai kafe yang berparas cantik. Menurut seorang sumber orang dekat wali kota, dia mengaku mengenalkan Siti dengan Diani. Menurutnya Siti berkenalan dengan Diani, kemudian dari perkenalan itu lama-lama berlanjut dengan pernikahan.

“Siti merupakan salah seorang karyawan sebuah kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan,” kata dia.
Saat itu, lanjutnya, Siti sempat drop out dari sekolahnya. Namun setelah kenal dengan Diani, Diani lantas membiayai sekolah Siti sampai gadis belia itu tamat sekolah.

“Siti kembali melanjutkan sekolahnya dan dibiayai oleh Pak Wali Kota, hingga akhirnya dinikahi,” ujar dia.
Meski baru berusia 19 tahun, namun postur tubuh Siti terbilang aduhai. Paras wajah Siti pun cantik dan memikat hati Diani. “Keduanya menikah di Masjid Pondok Indah, Jaksel,” jelasnya. (net/bbs/jpnn)

Ditanya Nasib TKI, Menkum dan HAM Berang

Pemerintah Perbanyak Atase Hukum

MEDAN-Banyaknya persoalan hukum yang dialami Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri diakui tak lepas dari minimnya bantuan hokum yang diberikan negara dan pemerintah. ‘’Hal ini disebabkan keterbatasan yang dimiliki. Walaupun perwakilan kita di luar negeri telah bekerja maksimal, atase nya yang terbatas hingga tidak dapat mengcover permasalahan yang ada,’’ ujar Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkum HAM) Republik Indonesia Patrialis Akbar pada Sumut Pos, Jumat (24/6).

Politisi dari Partai Amanat Rakyat (PAN) ini mengatakan, peristiwa yang dialami para TKI di luar negeri sudah dilaporkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Alhamdullilah, bapak presiden merespon dengan baik. Untuk itu Pak Presiden mengintruksi agar segera dibuka atase-atase di berbagai negara yang banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja. Terutama di Arab Saudi, Timur Tengah, Hongkong, Malaysia dan beberapa Negara lainnya,’’ tegas Patrialis.

Menkum HAM mengaku telah berkoordinasi dengan Kementrian Luar Negeri dan perwakilam beberapa negera yang banyak menampung TKI.

Patrialis menegaskan, kemenlu bertindak dan lebih berwenang mengurusi warga Indonesia di luar negeri. Namun demikian, kemenlu telah mempercayakan penanganan hukum TKI di luar negeri kepada kemenhum HAM.
‘’Kemenlu kita mengatakan, kasus ini akan ditangani secara langsung Sekjen Kemenhum dan HAM. Tugas-tugas yang dilakukan pembelaan dan perbandingan. Pembelaan itu tidak melulu di kerjakan pengacara kita, kita juga memakai pengacara dari luar negeri dimana TKI kita bekerja,’’ ucap Patrialis.

Kehadiran perwakilan pemerintah Indonesia di negera dimana TKI bekerja, katanya, juga bentuk dari pembelaan. ‘’Kalau memang dibutuhkan pengacara, akan kita siapkan. Tentunya bukan pengacara dari Indonesia, dari negara dimana TKI bekerja. Tetapi pengacara yang benar-benar yang ingin memberikan perlindungan pada TKI kita,’’ ucap Petralis.

Ketika ditanya mengapa pemerintah terkesan lambat menangani TKI dan baru bereaksi setelah Ruyati dihukum pancung, Patrialis Akbar tampak berang. ‘’Mengurusi masalah TKI ini bukan semudah membalikan telapak tangan. Karena bukan TKI saja yang diurusi,” ketusnya.

Hukuman yang ditimpakan pada Ruyati dijadikan pengalaman untuk bertindak lebih baik. “Di Arab Saudi, ada 22 lagi TKI kita yang akan di pancung. Itulah alasan kita membuka atase hukum untuk membelanya TKI, khususnya di negara dengan hokum Islam. Bukan hanya di Arab Saudi saja yang banyak dihukum mati, di Indonesia pun juga banyak yang dihukum mati,’’ ucapnya.

Petralis juga mengimbau pada masyarakat Indonesia agar tidak berpikir negatif pada pemerintah soal penangan TKI.
Patrialis kemarin berada di Hotel Grand Angkasa Jalan Perintis Kemerdekaan Medan dalam rangka Rapat Koordinasi dan Konsultasi Penegak Hukum Dilkumjakpol, dan Peresmian Gugus Tugas Penanggulangan Imigran Ilegal di Bandara Internasional dan domestic Polonia Medan. Selain itu, penandatangan nota kesepahaman (MoU) Pelesiran Desa Sadar Hukum Penyerahan surat hibah tanah.(rud)

MK Sahkan Kemenangan Bonaran-Sukran

JAKARTA-Kemenangan pasangan calon bupati-wakil bupati Bonaran Situmeang-Sukran Jamilan Tanjung (Bosur) di pemilukada Tapanuli Tengah (Tapteng), disahkan Mahkamah Konstitusi (MK).

MK menyatakan, pasangan Albiner Sitompul-dr Steven PB Simanungkalit, tidak memenuhi syarat dukungan partai untuk maju sebagai pasangan calon. MK menyatakan, pasangan yang sebelumnya dicoret dari daftar pencolanan oleh KPU Tapteng itu memang tidak mendapat dukungan dari Partai Hanura. DPP partai pimpinan Wiranto itu dinyatakan majelis hakim MK mengusung pasangan Bosur. Dengan putusan ini, maka tidak ada pemilukada ulang di Tapteng.

“Mahkamah menilai, hasil verifikasi dan klarifikasi termohon (KPU Tapteng) terhadap Partai Hanura yang dinyatakan memenuhi syarat untuk mendukung pemohon (Albiner-Steven) tidaklah benar, karena telah nyata berdasarkan fakta-fakta yang telah ditemukan dalam persidangan dan pemeriksaan bukti-bukti, dukungan yang diberikan Partai Hanura tidaklah diberikan kepada pemohon, melainkan kepada pihak terkait (Bosur),” demikian bunyi putusan yang dibacakan majelis MK yang dipimpin Mahfud MD, di gedung MK, Jakarta, Jumat (24/6).

Albiner yang hadir di persidangan, tampak serius menyimak amar putusan. Pria yang kemarin mengenakan baju putih lengan pendek itu membaca teks putusan yang ditampilkan di layar lebar di ruang sidang. Wajahnya tampak tegang dan berulang-ulang dia meremas-remas jari kedua tangannya.

Bonaran, yang duduk di balkon penonton sidang, juga tampak serius. Namun, begitu mendengar bunyi putusan, wajahnya yang tegang nampak mengendur. Bahkan, ada seulas senyum dari bibirnya. Dina Riana Samosir tidak nampak hadir di persidangan.

Majelis hakim menguraikan, lantaran tidak mendapat dukungan dari Partai Hanura, pasangan Albiner-Steven jumlah suara dukungan partai pengusungnya tinggal 17.379 suara. Padahal, syarat minimal adalah 19.370 suara. Lantaran dengan tidak didukung Hanura Albiner-Steven sudah tidak memenuhi syarat, maka majelis hakim menyatakan tidak perlu membahas lagi  masalah terkait dengan dukungan Partai Buruh, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Kasih Demokrasi Indonesis (PKDI).

Berdasarkan hasil verifikasi dan klarifikasi KPU Tapteng, Albiner-Steven dinyatakan memenuhi syarat dukungan lantaran juga diusung Hanura. Hanya saja, hasil itu dimentahkan MK. Hakim MK lebih memercayai keterangan DPP Hanura yang disampaikan Ketuanya, Djafar Badjeber di persidangan terdahulu, yang menyatakan bahwa KPU Tapteng hanya mendasarkan sikapnya pada Berita Acara Klarifikasi yang diteken Kepala Sekretariat DPP Hanura, Selamat Rujito tertanggal 9 Desember 2010.  Padahal, Selamat tidak punya kewenangan membuat berita acara.
DPP dan DPW Hanura Sumut, lanjut majelis hakim mengutip keterangan Djafar Badjeber, telah memecat Ali Basir Batubara dan Himawati Tanjung sebagai ketua dan sekretaris DPC Hanura Tapteng pada 13 November 2010. Sedang Ali-Himawati memberikan dukungan ke Albiner-Steven, pada 16 November 2010.

“Menolak permohonan pemohon (Albiner-Steven) untuk seluruhnya. Pemohon tidak memenuhi syarat menjadi pasangan calon dalam pemilukada Tapanuli Tengah Tahun 2011,” ujar Mahfud MD membacakan amar putusan.
Setelah selesai membacakan putusan untuk gugatan yang diajukan Albiner-Steven, majelis MK langsung membacakan putusan untuk gugatan yang diajukan Dina Riana Samosir -Drs. Hikmal Batubara.  Gugatan pasangan ini juga ditolak MK.

Terkait tuduhan pelanggaran pemilukada yang melibatkan aparat kepolisian misalnya, MK menyatakan, tuduhan itu tidak terbukti. Kalau pun ada, kata hakim, hanyalah bersifat sporadis semata. Pasangan Dina-Hikmal, oleh hakim dinyatakan tidak mampu membuktikan kaitan tuduhannya dengan perubahan perolehan suara para pasangan calon. Tuduhan mengenai adanya politik uang juga dinilai hakim tidak meyakinkan.
Sementara, permintaan Dina-Hikmal agar Bonaran didiskualifikasi sebagai calon dengan dalih terkait perkara Anggodo Widjoyo, hakim MK juga menilai kasus itu tidak bisa menghilangkan hak Bonaran menjadi calon bupati. Hakim MK juga menegaskan, Bonaran tidak pernah dijatuhi pidana penjara. “Sekiranya kemudian terdapat proses hukum yang harus dijalani Raja Bonaran Situmeang, SH,MHum, hal demikian merupakan kewenangan lembaga peradilan lain. Dengan demikian, dalil pemohon a quo tidak terbukti menurut hukum,” beber hakim.
Menanggapi putusan itu, kuasa hukum Dina-Hikmal, Roder Nababan, menyatakan menolak putusan hakim MK. Alasannya, sudah ada putusan PTUN Medan yang menyatakan Albiner-Steven memenuhi syarat dukungan. MK, katanya, tidak berwenang menafsirkan putusan PTUN yang sudah incraht itu.
Alasan kedua, dalam putusan sela MK, KPU Tapteng diperintahkan untuk melakukan verifikasi dan klarifikasi ulang syarat dukungan empat pasangan calon. Hasilnya, KPU Tapteng menyatakan Albiner-Steven memenuhi syarat. Nyatanya, hasil verifikasi KPU Tapteng itu tidak digubris MK. (sam)

PKS: Urus BUMD Saja tak Mampu…

Konsorsium Pemda di PT Inalum

MEDAN-Permasalahan mendasar untuk mewujudkan keinginan Pemprovsu dan 10 kabupaten/kota untuk memiliki saham di PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) berkaitan erat dengan kelayakan. Terkait hal tersebut, perlu ada visibility study (studi kelayakan, Red).

Ketua Fraksi PKS DPRD Sumut Hidayatullah meragukan Pemprovsu bersama 10 kabupaten/kota mampu mengelola perusahaan itu secara profesional dan berorientasi bisnis murni. “Inilah yang paling mendasar sebenarnya,” jelasnya, Jumat (24/6).

Hidayatullah merujuk kemampuan pemerintah daerah mengelola Badan Usaha Milik daerah (BUMD). Track record pengelolaan perusahaan daerah sangat buruk dan tidak mampu menyumbang pemasukan APBD yang signifikan.
“Seluruh kabupaten/kota di Sumut masih ‘merengek’ meminta tambahan alokasi dana dari APBN maupun APBD provinsi. Jika daerah mampu mengelola BUMD dengan baik, tentunya tak perlu lagi meminta bantuan kepada pemerintah pusat maupun Pemprovsu dan bisa mengelola anggaran dana sebaik mungkin. Nah, selanjutnya barulah kabupaten/kota itu dikatakan layak mengelola PT Inalum sebagai perusahaan bertaraf internasional,” n
terang anggota Komisi C DPRD Sumut ini.

Terkait pendanaan untuk membentuk konsorsium seperti yang disarankan pemerintah pusat bisa memanfaatkan anggaran dari Perusahaan Daerah (PD). Seperti PD Aneka Industri dan Jasa (AIJ) atau PD Perhotelan yang menurut Hidayatullah merupakan perusahaan daerah yang tak lagi efisien untuk diteruskan.

“Masalahnya, pengelolaan PD AIJ sudah tak terkontrol lagi dengan baik dan sebaiknya dilikuidasi. Kasus yang mencuat adanya karyawan yang tak digaji. Begitu pula dengan PD Perhotelan yang bekerja di luar tupoksinya. Karena PD Perhotelan bukan mengurus hotel, tapi perkantoran, juga akan mengurusi rumah sakit serta mall. Nah, anggaran itu bisa dialokasikan untuk mendanai konsorsium tadi,” jelas Hidayatullah.

Alternatif lain, yang disarankan oleh anggota Pansus PT Inalum dari DPRD Sumut Amsal adalah menggunakan sepertiga dana sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa). “Pemprovsu beserta 10 kabupaten/kota tersebut dapat melakukan pemakaian dana silpa asal tetap bisa menekan jumlah dana silpa pada tahun berikutnya. Saya rasa hal itu tak akan mengganggu anggaran,” katanya.

Dengan menggunakan dana silpa ini, plt gubernur beserta 10 bupati/wali kota harus mampu menjelaskan kepada masyarakat apa yang mereka dapatkan jika dana silpa tersebut digunakan demi keuntungan yang lebih besar. “Istilahnya, beli angsa bertelur emas. Jadi pemerintah dituntut serius dan benar-benar fokus untuk mengelola PT Inalum ini nantinya agar menjadi perusahaan yang hasilnya banyak untuk mensejahterakan masyarakat,” katanya.
Hidayatullah tidak setuju bila kabupaten/kota menggandeng pihak ketiga dalam menyediakan anggaran konsorsium. “Kalau saham sudah dikuasai oleh pihak ketiga atau swasta, bukan tak mungkin saham tersebut kembali dijual ke pihak asing,” jelasnya.

Sementara itu, PLt Gubsu Gatot Pujo Nugroho hanya menegaskan, akan selalu berkoordinasi dengan kabupaten/kota dalam mendapatkan hasil terbaik. (saz)

Bintangi Film Hollywood

Cinta Laura

Aktris sekaligus penyanyi belia Cinta Laura bakal membintangi sebuah film Hollywood. Dalam film Hollywood bertajuk The Phillosopher itu, cewek blasteran Jerman-Indonesia tersebut akan beradu akting dengan Bonnie Wright, pemeran Ginny Weaver dalam film Harry Potter.

“Aku baru dikasih tahu tiga minggu lalun Syuting filmnya selesai 11 Agustus. I feel really excited, opportunity kayak gini cuma datang satu kali, jadi kenapa nggak aku coba,” ujar Cinta Laura ketika ditemui di Senayan City kemarin (24/6).

Menurut Cinta, film itu mengisahkan 20 siswa sebuah sekolah internasional yang berupaya menerima tantangan dari guru filsuf mereka pada hari terakhir sebelum kelulusan sekolah. “Guru filosofi kita kasih challenge. Dia bilang kalau besok ada perang nuklir, apa yang kita bakal lakuin untuk survive di dunia ini. Jadi, sedikit kayak inception karena kita sering bolak-balik dari real world ke imagination world,” ungkapnya.

Untuk mendapatkan peran tersebut, Cinta harus mengikuti casting lebih dahulu. “Ada tiga aktris lain yang juga ikut casting. Tapi, akhirnya aku yang kepilih,” kata Cinta. Dia mengaku sangat senang karena bisa bergabung dalam film produksi Hollywood tersebut. “I’m really happy, kita connection-nya gampang banget. Gampang ngobrol, nggak ada yang sombong. Semua profesional,” imbuh dia.

Terlibat dalam film produksi Hollywood, Cinta pun mengakui, ada perbedaan cara kerja yang cukup menonjol antara para kru film asing dan lokal. Menurut dia, para kru film asing sangat disiplin dan selalu on time. Selain itu, syuting yang dilakukan tidak pernah melebihi 12 jam, tidak seperti syuting-syuting film Indonesia pada umumnya.

“Semua selalu on time and superbersih. Setiap artis disediain private room. Kadang kalau film Indonesia kan syuting dari jam 4 pagi sampai jam 4 pagi lagi. Kalau ini nggak, misalnya, jam 6 pagi, ya sampai jam 6 sore. Maksimal 12 hours, itu rule-nya,” urai Cinta. (ken/c10/any/jpnn)