25 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Karya Sastra Bangun Semangat Belajar Siswa

Pendidikan di Indonesia selama ini lebih menekankan pada aspek kognitif dibandingkan dengan kedua aspek lainnya.
Hal ini dapat kita lihat dari substansi kurikulum yang ada, sistem pengajarannya, sistem evaluasi yang dipakai dan lain-lain. Padahal kedua aspek lain yakni afektif dan psikomotorik tidak kalah pentingnya dalam membangun pribadi siswa yang utuh  terutama afektif.

Peran afektif sangat penting diantaranya untuk membentuk karakter siswa yang peduli dengan lingkungan sosialnya. Diakui atau tidak sense of crisis (kepekaan sosial) yang dimiliki oleh pelajar kita masih cenderung rendah, karena ketidak seimbangan antara ketiga aspek pendidikan tersebut yakni, kognitif, afektif dan psikomotor.
Ketidakseimbangan ini menimbulkan ekses bagi pelajar, siswa, murid dan mahasiswa kita.Terindikasi dengan banyaknya tauran antar pelajar, mahasiswa, seks bebas, penggunaan narkoba.

Ketidakseimbangan aspek ini, menumbuhkan kesadaran bagi banyak orang bahwa keunggulan, keberhasilan dan kesuksesan seseorang bukan semata–mata ditentukan atau diukur oleh intelligence quotients (IQ).
Dengan IQ yang tinggi, seseorang memang dapat menciptakan berbagai hal yang menakjubkan. Namun yang dibutuhkan dalam kehidupan bukan hanya kecerdasan dalam menciptakan sesuatu, tetapi yang lebih penting juga kecerdasan emosi (Emotional Quotiens) EQ.

Ada penelitian yang dilakukan Danah Zohar dari Universitas Harvard menyatakan bahwa orang yang memiliki IQ biasa–biasa saja, tetapi memiliki tingkat EQ tinggi, memiliki tingkat keberhasilan hidup lebih baik dari pada seseorang dengan IQ yang sangat tinggi dan EQ rendah.

Guna meningkatkan aspek EQ ini, banyak hal yang dapat dilakukan. Salah satu diantaranya dengan pendidikan sastra. Pendidikan sastra selama ini dipandang sebelah mata, pelajaran yang hanya membuat orang untuk menghayal-hayal (berimajinasi), pelajaran yang membuang waktu tanpa berarti (pelengkap) itu adalah anggapan keliru, sebenarnya pelajaran sastra  merupakan cara yang ampuh untuk meningkatkan afeksi siswa.

Tidak jarang kita lihat bahwa banyak orang terharu saat mendengarkan sebuah puisi, atau meneteskan air mata saat membaca sebuah novel. Lebih pentingnya, ketika membaca karya sastra dapat mengasah perasaan, berempati, lebih menghargai orang lain, memperhalus perasaan, membuat kita lebih dewasa.

Karya sastra banyak mengemukakan permasalahan yang sangat bermanfaat bagi perkembangan jiwa anak (siswa).
Maka semakin banyak siswa membaca sastra, semakin kaya lah siswa akan pengalaman batin sehingga lebih arif saat menghadapi problema kehidupan.

Hal ini lah yang tentunya kita tekankan pada siswa secara khusus guru bidang studi bahasa Indonesia untuk selalu gemar menyuguhkan pembelajaran sastra, tidak tertutup kemungkinan bagi guru yang lain. Pembelajaran sastra harus berorientasi pada kegiatan pengalaman bersastra  bukan pada pengembangan teori- teori sastra.
Kendalanya di berbagai sekolah belum banyak buku-buku sastra, serta minat untuk menggauli sastra di kalangan siswa masih minim. Keinginan akan sastra seakan tenggelam akan kehadiran internet, game online, face book.
Sastra semakin termarjinalkan eksistensinya di kalangan pelajar kita. Seharusya di era IT ini kehadiran internet dapat kita manfaatkan untuk mengakses sastra.

Membuat kliping tentang sastra, puisi, cerpen dan lain-lain. Dengan demikian apresiasi akan sastra semakin tajam dan meningkat.

Menurut Aminuddin, (1978) apresiasi sastra adalah kegiatan untuk menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga dapat menimbulkan kepekaan perasaan, daya pikir, dapat memetik nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang terkandung dalam sastra.

Dari pendapat itu dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi sastra  dapat tumbuh bila siswa terlibat dan akrab dengan sastra keterlibatan itu  juga akan memberikan implikasi yang mampu merumuskan rohaninya.
Sastra bersinggungan dengan dunia moral, dunia religius. Relasi antara sastra dan religi memang bukan hal yang baru. Menurut Sultan Takdir Alisahbana, sastra bermuatan religi karena menyelami perasaan beragama. Religi bahkan bisa sebagai dasar penciptaan karya sastra. Karya sastra sebagai media ekspresi manusia dalam mengemukakan perasaan ketuhanan.

Religi berarti keagamaan, perasaan atau pengikatan terhadap Tuhan (Atmosuwito, 1989). Perasaan keagamaan ini dapat dijelaskan sebagai perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan. Perasaan ketuhanan, cinta akan Tuhan merupakan salah satu kepekaan emosi yang harus selalu dikembangkan pada diri siswa. Apresiasi puisi tentunya berpotensi untuk meningkatkan kepekaan emosi siswa karena pada hakikatnya puisi itu berwahana bahasa serta puisi itu adalah bentuk seni dan setiap  bentuk kesenian  pasti melibatkan faktor emultif.

Melalui media puisi, kesadaran religiusitas dapat tersentuh. Kesadaran religiusitas itu bisa berupa kecintaan dan ketaqwaan pada Tuhan, kesadaran akan kebesaran Tuhan, kesadaran akan takdir, kesadaran hidup tak pernah abadi, memperingati hari-hari besar agama.

Semuanya bentuk kesadaran di atas dapat diwadahi dalam bentuk puisi. Puisi yang bisa membangkitkan perasaan religius serta menumbuhkan penghayatan nilai-nilai sikap spiritual,penghayatan akan nilai filosofis ketuhana Dengan tumbuhnya penghayatan tersebut dapat menambah nilai-nilai kesadaran religius, mempertebal rasa iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian guru dituntut tidak sekadar berperan sebagai transformator pengetahuan, tetapi juga sebagai pendamping siswa yang berkewajiban untuk membentuk dan mewarnai kepribadian dan moralitas siswa.
Pembentukan watak dan moralitas siswa bukan hanya kewajiban pelajaran agama, melainkan kewajiban setiap mata pelajaran. Terlebih kita melihat generasi sekarang, generasi yang kehilangan karakter (Soft Skill), generasi yang  mengalami degradasi moralitas.

Maka patutlah kita berjuang untuk membentuk generasi yang berkarakter.
Generasi yang memiliki sence of crisis yang sangat tinggi. Kelak bila hal ini tercapai maka tidak akan ada lagi pelajar yang tawuran, serta tindak moralitas lainya. Anomali akan tujuan hidup sebagai seorang pelajar tidak akan terjadi dengan kepekaan sosial yang tinggi serta dengan nilai-nilai kesadaran religiusitas yang besar.(*)

Pendidikan di Indonesia selama ini lebih menekankan pada aspek kognitif dibandingkan dengan kedua aspek lainnya.
Hal ini dapat kita lihat dari substansi kurikulum yang ada, sistem pengajarannya, sistem evaluasi yang dipakai dan lain-lain. Padahal kedua aspek lain yakni afektif dan psikomotorik tidak kalah pentingnya dalam membangun pribadi siswa yang utuh  terutama afektif.

Peran afektif sangat penting diantaranya untuk membentuk karakter siswa yang peduli dengan lingkungan sosialnya. Diakui atau tidak sense of crisis (kepekaan sosial) yang dimiliki oleh pelajar kita masih cenderung rendah, karena ketidak seimbangan antara ketiga aspek pendidikan tersebut yakni, kognitif, afektif dan psikomotor.
Ketidakseimbangan ini menimbulkan ekses bagi pelajar, siswa, murid dan mahasiswa kita.Terindikasi dengan banyaknya tauran antar pelajar, mahasiswa, seks bebas, penggunaan narkoba.

Ketidakseimbangan aspek ini, menumbuhkan kesadaran bagi banyak orang bahwa keunggulan, keberhasilan dan kesuksesan seseorang bukan semata–mata ditentukan atau diukur oleh intelligence quotients (IQ).
Dengan IQ yang tinggi, seseorang memang dapat menciptakan berbagai hal yang menakjubkan. Namun yang dibutuhkan dalam kehidupan bukan hanya kecerdasan dalam menciptakan sesuatu, tetapi yang lebih penting juga kecerdasan emosi (Emotional Quotiens) EQ.

Ada penelitian yang dilakukan Danah Zohar dari Universitas Harvard menyatakan bahwa orang yang memiliki IQ biasa–biasa saja, tetapi memiliki tingkat EQ tinggi, memiliki tingkat keberhasilan hidup lebih baik dari pada seseorang dengan IQ yang sangat tinggi dan EQ rendah.

Guna meningkatkan aspek EQ ini, banyak hal yang dapat dilakukan. Salah satu diantaranya dengan pendidikan sastra. Pendidikan sastra selama ini dipandang sebelah mata, pelajaran yang hanya membuat orang untuk menghayal-hayal (berimajinasi), pelajaran yang membuang waktu tanpa berarti (pelengkap) itu adalah anggapan keliru, sebenarnya pelajaran sastra  merupakan cara yang ampuh untuk meningkatkan afeksi siswa.

Tidak jarang kita lihat bahwa banyak orang terharu saat mendengarkan sebuah puisi, atau meneteskan air mata saat membaca sebuah novel. Lebih pentingnya, ketika membaca karya sastra dapat mengasah perasaan, berempati, lebih menghargai orang lain, memperhalus perasaan, membuat kita lebih dewasa.

Karya sastra banyak mengemukakan permasalahan yang sangat bermanfaat bagi perkembangan jiwa anak (siswa).
Maka semakin banyak siswa membaca sastra, semakin kaya lah siswa akan pengalaman batin sehingga lebih arif saat menghadapi problema kehidupan.

Hal ini lah yang tentunya kita tekankan pada siswa secara khusus guru bidang studi bahasa Indonesia untuk selalu gemar menyuguhkan pembelajaran sastra, tidak tertutup kemungkinan bagi guru yang lain. Pembelajaran sastra harus berorientasi pada kegiatan pengalaman bersastra  bukan pada pengembangan teori- teori sastra.
Kendalanya di berbagai sekolah belum banyak buku-buku sastra, serta minat untuk menggauli sastra di kalangan siswa masih minim. Keinginan akan sastra seakan tenggelam akan kehadiran internet, game online, face book.
Sastra semakin termarjinalkan eksistensinya di kalangan pelajar kita. Seharusya di era IT ini kehadiran internet dapat kita manfaatkan untuk mengakses sastra.

Membuat kliping tentang sastra, puisi, cerpen dan lain-lain. Dengan demikian apresiasi akan sastra semakin tajam dan meningkat.

Menurut Aminuddin, (1978) apresiasi sastra adalah kegiatan untuk menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga dapat menimbulkan kepekaan perasaan, daya pikir, dapat memetik nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang terkandung dalam sastra.

Dari pendapat itu dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi sastra  dapat tumbuh bila siswa terlibat dan akrab dengan sastra keterlibatan itu  juga akan memberikan implikasi yang mampu merumuskan rohaninya.
Sastra bersinggungan dengan dunia moral, dunia religius. Relasi antara sastra dan religi memang bukan hal yang baru. Menurut Sultan Takdir Alisahbana, sastra bermuatan religi karena menyelami perasaan beragama. Religi bahkan bisa sebagai dasar penciptaan karya sastra. Karya sastra sebagai media ekspresi manusia dalam mengemukakan perasaan ketuhanan.

Religi berarti keagamaan, perasaan atau pengikatan terhadap Tuhan (Atmosuwito, 1989). Perasaan keagamaan ini dapat dijelaskan sebagai perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan. Perasaan ketuhanan, cinta akan Tuhan merupakan salah satu kepekaan emosi yang harus selalu dikembangkan pada diri siswa. Apresiasi puisi tentunya berpotensi untuk meningkatkan kepekaan emosi siswa karena pada hakikatnya puisi itu berwahana bahasa serta puisi itu adalah bentuk seni dan setiap  bentuk kesenian  pasti melibatkan faktor emultif.

Melalui media puisi, kesadaran religiusitas dapat tersentuh. Kesadaran religiusitas itu bisa berupa kecintaan dan ketaqwaan pada Tuhan, kesadaran akan kebesaran Tuhan, kesadaran akan takdir, kesadaran hidup tak pernah abadi, memperingati hari-hari besar agama.

Semuanya bentuk kesadaran di atas dapat diwadahi dalam bentuk puisi. Puisi yang bisa membangkitkan perasaan religius serta menumbuhkan penghayatan nilai-nilai sikap spiritual,penghayatan akan nilai filosofis ketuhana Dengan tumbuhnya penghayatan tersebut dapat menambah nilai-nilai kesadaran religius, mempertebal rasa iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian guru dituntut tidak sekadar berperan sebagai transformator pengetahuan, tetapi juga sebagai pendamping siswa yang berkewajiban untuk membentuk dan mewarnai kepribadian dan moralitas siswa.
Pembentukan watak dan moralitas siswa bukan hanya kewajiban pelajaran agama, melainkan kewajiban setiap mata pelajaran. Terlebih kita melihat generasi sekarang, generasi yang kehilangan karakter (Soft Skill), generasi yang  mengalami degradasi moralitas.

Maka patutlah kita berjuang untuk membentuk generasi yang berkarakter.
Generasi yang memiliki sence of crisis yang sangat tinggi. Kelak bila hal ini tercapai maka tidak akan ada lagi pelajar yang tawuran, serta tindak moralitas lainya. Anomali akan tujuan hidup sebagai seorang pelajar tidak akan terjadi dengan kepekaan sosial yang tinggi serta dengan nilai-nilai kesadaran religiusitas yang besar.(*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/