Tahun ini, aturan Bank Indonesia terkait loan to value (LTV) dan kenaikan suku bunga serta pengetatan kredit, tampaknya masih menjadi momok bagi para pengembang, khususnya yang beroperasi di daerah. Mereka mengeluhkan kebijakan BI ini seharusnya hanya berlaku di wilayah Jadebotabek, di mana banyak properti dijadikan sebagai instrumen investasi. Ketua DPD REI Sumatera Selatan, Moeroed, mengatakan hal tersebut kepada wartawan, Jumat (3/1).
Menurut Moeroed, di daerah kebijakan BI tersebut hanya akan membuat sektor properti menjadi tersendat. “Properti di daerah masih didominasi oleh pembeli pertama, bukan investor. Jadi dengan kebijakan BI ini, mereka memiliki kesulitan untuk mengakses rumah. Tak hanya rumah melalui mekanisme KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), rumah komersial pun terkena imbasnya,” papar Moeroed. Lebih jauh lagi, kata Moeroed, target pembangunan rumah tidak akan tercapai. Tahun 2013, jumlah rumah yang terbangun hanya 5.000 unit. Sejumlah 3.600 unit di antaranya merupakan hunian subsidi, sebagian sisanya merupakan rumah komersial.
“Hanya separuh dari target yang ditetapkan yakni 10.000 unit. Untuk tahun ini, kami tidak berani mematok target lebih dari 7.000 unit, karena aturan BI ini hanya akan membuat daya beli masyarakat di daerah melemah. Mereka tidak sanggup lagi mencicil angsuran yang besarannya membengkak akibat kenaikan suku bunga,” ujar Moeroed.
Jika pemerintah serius dan konsisten membangun rumah untuk masyarakat, imbuh Moeroed, seharusnya kebijakan tersebut ditinjau ulang. “Sektor perumahan ini sangat besar pasarnya. Kami, pengembang daerah punya peluang besar untuk lebih berkembang. Akan tetapi dengan kebijakan seperti ini, hanya pengembang dengan cadangan lahan besar saja yang akan bertahan, sementara kami terancam berhenti berproduksi,” tandasnya.
Untuk diketahui, BI telah menerapkan aturan pengenaan LTV untuk pembelian rumah . Beberapa bulan sebelum aturan ini berlaku, pertumbuhan KPR/KPA sangat pesat yakni mencapai 45 persen secara tahunan. (net/azw)