31.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Cyber War akan Mewarnai Pilkada Serentak 2020

Dirjen Polpum Kemendagri Bahtiar
Dirjen Polpum Kemendagri Bahtiar

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tahun 2020, kembali akan digelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pemilihan serentak ini digelar untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021.

Untuk mengupas lebih lanjut, apa saja potensi konflik yang mungkin terjadi di Pilkada serentak 2020, wartawan mewawancarai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Polpum Kemendagri) Bahtiar di Jakarta.

Tahun depan kembali akan digelar Pilkada serentak di 270 daerah. Mungkin bisa dipetakan sumber konflik yang mungkin terjadi dan perlu diantisipasi?

Kami, Kemendagri, khususnya Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum telah melakukan pemetaan potensi kerawanan Pilkada serentak. Ada beberapa kerawanan yang perlu diwaspadai.

Salah satunya adalah cyber war dan politik identitas. Politik di media sosial saat pemilu serentak begitu mengharu biru. Ini yang banyak dibicarakan, ini juga ancaman. Media sosial ini repotnya semua orang bisa jadi pewarta. Di sinilah pentingnya produksi konten positif untuk melawan hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye negatif. Begitu juga politik identitas pada pemilu serentak kemarin begitu kuat.

Politik identitas itu adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut. Nah, soal politik identitas, ini yang mengasah ini adalah konsestan, calon, supaya dapat dukungan dan membuat sentimental.

Sentimentil kesukuan atau SARA itu diangkat dikentalkan, dan biasanya diproduksi oleh calon atau pendukungnya supaya pemilih menjadi fanatik. Saya kira partisipasi publik menjadi kata kunci terakhir dan menjadi sangat penting, partipasi bukan hanya di TPS tetapi di seluruh proses ini, terlibat memberikan edukasi dan pencerahan kepada masyarakat. Semua proses pilkada yang sehat harus dalam suasana rileks, santai, tak tegang, bersahabat dan damai walau berbeda pilihan.

Polarisasi masyarakat akankah mungkin terjadi di Pilkada seperti dalam pemilu serentak 2019?

Potensi terjadinya polarisasi di tengah masyarakat ini juga harus diantisipasi dengan baik. Utamanya, dalam media sosial yang memungkinkan setiap orang membuat konten sesuai kehendaknya masing-masing.

Hoaks, ujaran kebencian, kampanye negatif yang dapat menggangu persatuan dan kesatuan harus dicegah secara maksimal. Intinya hati-hati juga dengan produksi konflik yang ditimbulkan media sosial, ada hoaks, dan lain-lain.

Apalagi mendekati hari pelaksanaannya, biasanya suasana menjadi panas, kampanye tersebut harus dilawan dengan kampanye positif. Di sinilah peran peserta Pilkada dan partai politik agar ikut serta meminimalisir suasana panas dan konflik di tengah masyarakat. (bbs/azw)

Dirjen Polpum Kemendagri Bahtiar
Dirjen Polpum Kemendagri Bahtiar

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tahun 2020, kembali akan digelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pemilihan serentak ini digelar untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021.

Untuk mengupas lebih lanjut, apa saja potensi konflik yang mungkin terjadi di Pilkada serentak 2020, wartawan mewawancarai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Polpum Kemendagri) Bahtiar di Jakarta.

Tahun depan kembali akan digelar Pilkada serentak di 270 daerah. Mungkin bisa dipetakan sumber konflik yang mungkin terjadi dan perlu diantisipasi?

Kami, Kemendagri, khususnya Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum telah melakukan pemetaan potensi kerawanan Pilkada serentak. Ada beberapa kerawanan yang perlu diwaspadai.

Salah satunya adalah cyber war dan politik identitas. Politik di media sosial saat pemilu serentak begitu mengharu biru. Ini yang banyak dibicarakan, ini juga ancaman. Media sosial ini repotnya semua orang bisa jadi pewarta. Di sinilah pentingnya produksi konten positif untuk melawan hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye negatif. Begitu juga politik identitas pada pemilu serentak kemarin begitu kuat.

Politik identitas itu adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut. Nah, soal politik identitas, ini yang mengasah ini adalah konsestan, calon, supaya dapat dukungan dan membuat sentimental.

Sentimentil kesukuan atau SARA itu diangkat dikentalkan, dan biasanya diproduksi oleh calon atau pendukungnya supaya pemilih menjadi fanatik. Saya kira partisipasi publik menjadi kata kunci terakhir dan menjadi sangat penting, partipasi bukan hanya di TPS tetapi di seluruh proses ini, terlibat memberikan edukasi dan pencerahan kepada masyarakat. Semua proses pilkada yang sehat harus dalam suasana rileks, santai, tak tegang, bersahabat dan damai walau berbeda pilihan.

Polarisasi masyarakat akankah mungkin terjadi di Pilkada seperti dalam pemilu serentak 2019?

Potensi terjadinya polarisasi di tengah masyarakat ini juga harus diantisipasi dengan baik. Utamanya, dalam media sosial yang memungkinkan setiap orang membuat konten sesuai kehendaknya masing-masing.

Hoaks, ujaran kebencian, kampanye negatif yang dapat menggangu persatuan dan kesatuan harus dicegah secara maksimal. Intinya hati-hati juga dengan produksi konflik yang ditimbulkan media sosial, ada hoaks, dan lain-lain.

Apalagi mendekati hari pelaksanaannya, biasanya suasana menjadi panas, kampanye tersebut harus dilawan dengan kampanye positif. Di sinilah peran peserta Pilkada dan partai politik agar ikut serta meminimalisir suasana panas dan konflik di tengah masyarakat. (bbs/azw)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/