32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Berharap MK Segera Putuskan Sistem Pemilu 2024, Bacaleg Merasa Dirugikan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem Pemilu, kini sangat dinanti para bakal calon anggota legislatif (Bacaleg). Putusan itu akan memberikan kepastian dalam memantapkan langkah mereka berkontestasi di Pemilu 2024

Bacaleg petahana dari Partai Gerindra, Mulia Syahputra Nasution mengaku masih menunggu keputusan MK terkait sistem Pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup. Menurutnya, putusan MK tersebut sangat dinanti, karena sampai saat ini para Bacaleg termasuk dirinya belum bisa melakukan gerakan politik strategis dan terstruktur.

“Memang keputusan MK terkait proporsional terbuka atau tertutup ini menjadi sesuatu yang di tunggu-tunggu. Mengingat hal itu akan mengubah strategi politik, baik partai maupun calegnya sendiiri,” kata Mulia kepada Sumut Pos, Senin (12/6).

Dikatakan Mulia, akibat belum finalnya keputusan tersebut, maka seluruh partai dan Bacaleg mengurangi intensitas gerakannya ke masyarakat. “Ini sebenarnya merugikan para caleg untuk mensosialisasikan dirinya ke masyarakat, mengingat waktu kampanye pemilu sangat pendek, yaitu hanya 75 hari,” kata Anggota DPRD Kota Medan dari Fraksi Partai Gerindra ini.

Untuk itu, Mulia berharap MK dapat secepatnya memberikan keputusan terkait sistem Pemilu 2024, apakah tetap proprosional terbuka atau berubah menjadi proporsional tertutup. “Berdasarkan info yang kami terima, tanggal 15 (Juni) ini keputusan terkait hal itu akan diumumkan oleh MK. Semoga saja informasi tersebut benar adanya agar partai politik dan para bacaleg dapat menentukan strategi dalam menghadapi Pemilu 2024,” katanya.

Terpisah, Ketua DPD Partai Gelora Kota Medan, Muhammad Nasir, juga mengatakan hal senada. “Akibat terlalu lamanya keputusan MK tentang pelaksanaan Pemilu legislatif 2024 ini, sebagian besar bacaleg enggan mensosialisasikan dirinya ke publik yang ada di dapilnya,” terang Nasir.

Untuk itu, kata Nasir, Partai Gelora berharap agar DPR RI dapat menyuarakan dan meminta pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sekaligus meminta MK agar segera memberikan keputusan. “Kami berharap kepada DPR RI agar dapat segera menyuarakan dan meminta pertanggungjawaban KPU RI dan putusan MK,” kata mantan Anggota DPRD Medan periode 2014 – 2019 itu.

Nasir yang akan maju sebagai bacaleg DPRD Sumut pada Pemilu 2024 ini berharap, keputusan MK dapat diumumkan pada bulan ini. “Kami berharap Bulan Juni ini, kejelasan terbuka atau tertutup sudah bisa dipastikan agar semua Caleg lintas parpol dapat berbuat dan mensosialisasikan diri program-programnya jika kelak menjadi anggota legislatif di semua jenjangnya masing-masing,” tutupnya.

Sementara, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pengucapan putusan judicial review (JR) atau uji materi sistem Pemilu pada Kamis (15/6), pekan ini. Jadwal sidang itu telah dikirimkan kepada para penggugat, pemerintah, DPR dan para pihak terkait dalam gugatan.

“Semuanya dikasih surat panggilan untuk hadir sidang. Hari ini, untuk perkara 114 itu sudah diagendakan nanti pengucapan putusan hari Kamis tanggal 15 Juni, jam 09.30 WIB di Ruang Sidang Pleno bersama dengan beberapa putusan yang lain,” kata juru bicara MK Fajar Laksono di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (12/6).

Fajar mengakui, perkara ini berlangsung cukup lama. Namun, ia membantah pihaknya sengaja menunda-nunda proses penyelesaian perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini.

Dia mengungkapkan, perkara ini sejatinya telah selesai pada 31 Mei 2023, dengan agenda kesimpulan para pihak. Setelah itu, hakim MK mendalami dan menggelar rapat musyawarah untuk membuat keputusan.

Fajar memastikan pihaknya menyiapkan pengamanan khusus di hari sidang putusan gugatan UU Pemilu itu. Sebab, perkara ini sangat menjadi sorotan publik. “Tentu karena kami sadar bahwa ini perkara 114 ini atensi publik luar biasa, ditunggu banyak orang ya. Tentu ada hal-hal yang (harus) kami siapkan berkaitan dengan pengamanan terutama ya,” pungkasnya.

Sementara itu, jelang putusan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei terkait sikap publik terhadap sistem Pemilu. Survei sendiri dilakukan pada 30-31 Mei 2023 dengan metode random digit dailing (RDD).

Direktur Riset SMRC Deni Irvani mengatakan, 76 persen publik Indonesia menginginkan sistem Pemilu proporsional terbuka. Di mana warga bisa memilih secara langsung calon anggota DPR yang mewakili partai tersebut. “Ditentukan oleh pemilih atau rakyat secara langsung, bukan oleh pimpinan partai,” ujarnya. Sementara yang menghendaki sistem tertutup, hanya 15 persen. Kemudian, sembilan persen sisanya tidak punya sikap.

Deni menjelaskan, sikap mayoritas warga yang menginginkan sistem terbuka sangat konsisten. Dalam empat survei terakhir sejak Januari 2023, yang menginginkan sistem proporsional terbuka ada di kisaran 71-76 persen. “Jauh lebih banyak dibanding yang menginginkan proporsional tertutup, 15-19 persen,” imbuhnya.

Bahkan, aspirasi itu mayoritas di setiap massa pemilih partai. Bahkan meski PDIP mendukung tertutup, 69 persen pemilihnya menginginkan terbuka. “Usulan sistem pemilu proporsional tertutup bertentangan dengan aspirasi mayoritas pemilih,” jelas Deni.

Lebih lanjut lagi, survei SMRC juga memotret potensi menurunnya partisipasi pemilih. Jika pemilu 2024 nanti dilakukan sistem tertutup, hanya 58 persen warga yang menyatakan akan ikut memilih. Tidak ikut memilih sebesar 36 persen dan ada enam persen yang tidak menjawab. Jika hanya 58 persen angka partisipasi, itu artinya jauh dari capaian pemilu 2019 yang mencapai 82 persen.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap Hakim MK memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Dalam demokrasi, lanjut dia, hal yang menyangkut kepentingan umum jika semakin terbuka maka semakin demokratis. “Kami berharap MK akan meneruskan tradisi demokrasi dan tradisi masyarakat demokrasi,” ujarnya.

Menurut Fahri, bangsa ini tidak bisa kembali lagi ke belakang menganut paham tertutup. “Jangan lagi kita menyerahkan urusan umum, urusan publik kepada segelintir orang elite Indonesia. Tetapi harus diserahkan kepada seluruh rakyat Indonesia,” imbuhnya. Dalam sistem tertutup, partai akan menjadi pemegang kontrol penuh terhadap kadernya yang duduk di DPR RI maupun DPRD Kabupaten/Kota.

Sebelumnya, Ketua Bidang Legislatif Partai Nasdem Atang Irawan juga mengatakan, partainya berharap sistem Pemilu 2024 tetap terbuka seperti sebelumnya. Dia menyebut, sistem proporsional tertutup akan menggerus daulat rakyat dan kembali menjadi daulat tuan. Padahal, konstitusi yang lebih maju meletakkan kedaulatan rakyat tidak hanya sebagai norma konstitusional, tetapi moralitas konstitusional.

Jika nanti kedaulatan rakyat diserahkan kepada parpol melalui sistem tertutup, lanjut dia, hal itu merupakan langkah mundur dalam perjalanan sejarah pertumbuhan demokrasi di Republik ini. “Rakyat tidak lagi menitipkan kedaulatannya pada institusi tertentu, seperti sebelum amandemen diserahkan kepada MPR,” katanya kemarin (11/6).

Atang juga mengingatkan, proporsional tertutup akan berimplikasi tergerusnya keterwakilan perempuan. Saat ini, sudah semakin menunjukan peningkatan, yaitu sebanyak 120 perempuan terpilih duduk di Senayan. Jumlah itu setara dengan 20,87 persen dari total anggota DPR sebanyak 575 orang.

Dia menegaskan, proporsional terbuka sudah teruji dalam mendorong kemajuan demokrasi. Kalau memperhatikan dinamika kontestasi politik dari 2014 mengalami perkembangan yang cukup baik. Sebab, berdasarkan data, warga yang memilih caleg mencapai 71, 4 persen, sedangkan mereka yang memilih partai hanya 28,6 persen. Begitu pula pada Pemilu 2019. Pemilih caleg ada 73,9 persen dan memilih partai hanya 26,1 persen.

“Sehingga yang mengatakan proporsional terbuka menyulitkan rakyat untuk memilih hanyalah pandangan yang skeptis terhadap daulat rakyat, bahkan menganggap rakyat tidak cerdas dalam berdemokrasi,” paparnya. (far/jpg/map/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem Pemilu, kini sangat dinanti para bakal calon anggota legislatif (Bacaleg). Putusan itu akan memberikan kepastian dalam memantapkan langkah mereka berkontestasi di Pemilu 2024

Bacaleg petahana dari Partai Gerindra, Mulia Syahputra Nasution mengaku masih menunggu keputusan MK terkait sistem Pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup. Menurutnya, putusan MK tersebut sangat dinanti, karena sampai saat ini para Bacaleg termasuk dirinya belum bisa melakukan gerakan politik strategis dan terstruktur.

“Memang keputusan MK terkait proporsional terbuka atau tertutup ini menjadi sesuatu yang di tunggu-tunggu. Mengingat hal itu akan mengubah strategi politik, baik partai maupun calegnya sendiiri,” kata Mulia kepada Sumut Pos, Senin (12/6).

Dikatakan Mulia, akibat belum finalnya keputusan tersebut, maka seluruh partai dan Bacaleg mengurangi intensitas gerakannya ke masyarakat. “Ini sebenarnya merugikan para caleg untuk mensosialisasikan dirinya ke masyarakat, mengingat waktu kampanye pemilu sangat pendek, yaitu hanya 75 hari,” kata Anggota DPRD Kota Medan dari Fraksi Partai Gerindra ini.

Untuk itu, Mulia berharap MK dapat secepatnya memberikan keputusan terkait sistem Pemilu 2024, apakah tetap proprosional terbuka atau berubah menjadi proporsional tertutup. “Berdasarkan info yang kami terima, tanggal 15 (Juni) ini keputusan terkait hal itu akan diumumkan oleh MK. Semoga saja informasi tersebut benar adanya agar partai politik dan para bacaleg dapat menentukan strategi dalam menghadapi Pemilu 2024,” katanya.

Terpisah, Ketua DPD Partai Gelora Kota Medan, Muhammad Nasir, juga mengatakan hal senada. “Akibat terlalu lamanya keputusan MK tentang pelaksanaan Pemilu legislatif 2024 ini, sebagian besar bacaleg enggan mensosialisasikan dirinya ke publik yang ada di dapilnya,” terang Nasir.

Untuk itu, kata Nasir, Partai Gelora berharap agar DPR RI dapat menyuarakan dan meminta pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sekaligus meminta MK agar segera memberikan keputusan. “Kami berharap kepada DPR RI agar dapat segera menyuarakan dan meminta pertanggungjawaban KPU RI dan putusan MK,” kata mantan Anggota DPRD Medan periode 2014 – 2019 itu.

Nasir yang akan maju sebagai bacaleg DPRD Sumut pada Pemilu 2024 ini berharap, keputusan MK dapat diumumkan pada bulan ini. “Kami berharap Bulan Juni ini, kejelasan terbuka atau tertutup sudah bisa dipastikan agar semua Caleg lintas parpol dapat berbuat dan mensosialisasikan diri program-programnya jika kelak menjadi anggota legislatif di semua jenjangnya masing-masing,” tutupnya.

Sementara, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pengucapan putusan judicial review (JR) atau uji materi sistem Pemilu pada Kamis (15/6), pekan ini. Jadwal sidang itu telah dikirimkan kepada para penggugat, pemerintah, DPR dan para pihak terkait dalam gugatan.

“Semuanya dikasih surat panggilan untuk hadir sidang. Hari ini, untuk perkara 114 itu sudah diagendakan nanti pengucapan putusan hari Kamis tanggal 15 Juni, jam 09.30 WIB di Ruang Sidang Pleno bersama dengan beberapa putusan yang lain,” kata juru bicara MK Fajar Laksono di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (12/6).

Fajar mengakui, perkara ini berlangsung cukup lama. Namun, ia membantah pihaknya sengaja menunda-nunda proses penyelesaian perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini.

Dia mengungkapkan, perkara ini sejatinya telah selesai pada 31 Mei 2023, dengan agenda kesimpulan para pihak. Setelah itu, hakim MK mendalami dan menggelar rapat musyawarah untuk membuat keputusan.

Fajar memastikan pihaknya menyiapkan pengamanan khusus di hari sidang putusan gugatan UU Pemilu itu. Sebab, perkara ini sangat menjadi sorotan publik. “Tentu karena kami sadar bahwa ini perkara 114 ini atensi publik luar biasa, ditunggu banyak orang ya. Tentu ada hal-hal yang (harus) kami siapkan berkaitan dengan pengamanan terutama ya,” pungkasnya.

Sementara itu, jelang putusan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei terkait sikap publik terhadap sistem Pemilu. Survei sendiri dilakukan pada 30-31 Mei 2023 dengan metode random digit dailing (RDD).

Direktur Riset SMRC Deni Irvani mengatakan, 76 persen publik Indonesia menginginkan sistem Pemilu proporsional terbuka. Di mana warga bisa memilih secara langsung calon anggota DPR yang mewakili partai tersebut. “Ditentukan oleh pemilih atau rakyat secara langsung, bukan oleh pimpinan partai,” ujarnya. Sementara yang menghendaki sistem tertutup, hanya 15 persen. Kemudian, sembilan persen sisanya tidak punya sikap.

Deni menjelaskan, sikap mayoritas warga yang menginginkan sistem terbuka sangat konsisten. Dalam empat survei terakhir sejak Januari 2023, yang menginginkan sistem proporsional terbuka ada di kisaran 71-76 persen. “Jauh lebih banyak dibanding yang menginginkan proporsional tertutup, 15-19 persen,” imbuhnya.

Bahkan, aspirasi itu mayoritas di setiap massa pemilih partai. Bahkan meski PDIP mendukung tertutup, 69 persen pemilihnya menginginkan terbuka. “Usulan sistem pemilu proporsional tertutup bertentangan dengan aspirasi mayoritas pemilih,” jelas Deni.

Lebih lanjut lagi, survei SMRC juga memotret potensi menurunnya partisipasi pemilih. Jika pemilu 2024 nanti dilakukan sistem tertutup, hanya 58 persen warga yang menyatakan akan ikut memilih. Tidak ikut memilih sebesar 36 persen dan ada enam persen yang tidak menjawab. Jika hanya 58 persen angka partisipasi, itu artinya jauh dari capaian pemilu 2019 yang mencapai 82 persen.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap Hakim MK memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Dalam demokrasi, lanjut dia, hal yang menyangkut kepentingan umum jika semakin terbuka maka semakin demokratis. “Kami berharap MK akan meneruskan tradisi demokrasi dan tradisi masyarakat demokrasi,” ujarnya.

Menurut Fahri, bangsa ini tidak bisa kembali lagi ke belakang menganut paham tertutup. “Jangan lagi kita menyerahkan urusan umum, urusan publik kepada segelintir orang elite Indonesia. Tetapi harus diserahkan kepada seluruh rakyat Indonesia,” imbuhnya. Dalam sistem tertutup, partai akan menjadi pemegang kontrol penuh terhadap kadernya yang duduk di DPR RI maupun DPRD Kabupaten/Kota.

Sebelumnya, Ketua Bidang Legislatif Partai Nasdem Atang Irawan juga mengatakan, partainya berharap sistem Pemilu 2024 tetap terbuka seperti sebelumnya. Dia menyebut, sistem proporsional tertutup akan menggerus daulat rakyat dan kembali menjadi daulat tuan. Padahal, konstitusi yang lebih maju meletakkan kedaulatan rakyat tidak hanya sebagai norma konstitusional, tetapi moralitas konstitusional.

Jika nanti kedaulatan rakyat diserahkan kepada parpol melalui sistem tertutup, lanjut dia, hal itu merupakan langkah mundur dalam perjalanan sejarah pertumbuhan demokrasi di Republik ini. “Rakyat tidak lagi menitipkan kedaulatannya pada institusi tertentu, seperti sebelum amandemen diserahkan kepada MPR,” katanya kemarin (11/6).

Atang juga mengingatkan, proporsional tertutup akan berimplikasi tergerusnya keterwakilan perempuan. Saat ini, sudah semakin menunjukan peningkatan, yaitu sebanyak 120 perempuan terpilih duduk di Senayan. Jumlah itu setara dengan 20,87 persen dari total anggota DPR sebanyak 575 orang.

Dia menegaskan, proporsional terbuka sudah teruji dalam mendorong kemajuan demokrasi. Kalau memperhatikan dinamika kontestasi politik dari 2014 mengalami perkembangan yang cukup baik. Sebab, berdasarkan data, warga yang memilih caleg mencapai 71, 4 persen, sedangkan mereka yang memilih partai hanya 28,6 persen. Begitu pula pada Pemilu 2019. Pemilih caleg ada 73,9 persen dan memilih partai hanya 26,1 persen.

“Sehingga yang mengatakan proporsional terbuka menyulitkan rakyat untuk memilih hanyalah pandangan yang skeptis terhadap daulat rakyat, bahkan menganggap rakyat tidak cerdas dalam berdemokrasi,” paparnya. (far/jpg/map/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/