25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Koalisi Merah Putih Ditantang Vote Terbuka

Koalisi Merah Putih
Koalisi Merah Putih

SUMUTPOS.CO – Partai-partai yang tergabung di Koalisi Merah Putih belum banyak bergerak dari posisinya mendukung penghapusan pilkada langsung. Dalam situasi yang semakin mepet dengan agenda pengambilan keputusan RUU Pilkada di parlemen, PKB sebagai bagian pendukung pilkada agar tetap langsung, akhirnya melempar tantangan kepada partai-partai tersebut.

Rencananya, RUU yang belakangan memancing perhatian banyak pihak tersebut akan diambil keputusan di tingkat panitia kerja (Panja) RUU Pilkada pada 23 September nanti. Selanjutnya, pada 25 September, RUU akan dibawa ke sidang paripurna kalau ternyata kata sepakat belum tercapai di tingkat panja.

“Boleh pilkada lewat DPRD, tapi syaratnya (pemilihannya) harus dilakukan secara terbuka, berani tidak?” tantang anggota Panja RUU Pilkada dari PKB A Malik Haramain dalam sebuah acara seminar di Hotel Acacia, Jakarta, kemarin (14/9). Dengan sistem tersebut, pemilihan tidak akan dilakukan secara rahasia seperti pada umumnya. Masing-masing anggota DPRD harus menyampaikan hak pilihnya secara terbuka. Semisal, secara sederhana, dengan berdiri sementara yang lain duduk atau dengan mengangkat tangan.

Dia lalu menyinggung tentang fenomena politik uang di pilkada. Malik mengatakan, pemilihan lewat DPRD tidak menjadi jaminan money politic akan hilang. Sebagaimana, lanjut dia, politik uang juga tidak menjamin calon kepala daerah bisa otomatis menang dalam pilkada langsung.

Dalam sistem pilkada langsung selama ini, menurut dia, publik bisa saja tetap menerima uang dari seorang calon kepala daerah. Namun, hal itu tidak bisa menjadi jaminan, masyarakat akan otomatis menjatuhkan pilihannya pada yang bersangkutan. “Tapi, kalau DPRD kan ketahuan yang memilih. Jadi tanpa mengurangi rasa hormat (pada DPRD), mudharat-nya akan lebih besar jika dipilih DPRD,” tegas ketua DPP PKB tersebut.

Pada kesempatan itu, dia juga membantah anggapan kalau pilkada langsung lebih boros. Sebab, hal tersebut bisa diatasi dengan melaksanakan pilkada serentak. “Kalau pilkada serentak, satu provinsi itu dapat irit hingga 30 persen,” bebernya.

Untuk upaya penghematan pula, lanjut dia, PKB juga terus mengusulkan agar pilkada bisa digelar satu putaran. Legitimasinya, jelas dia, threshold (ambang batas) partai atau kumpulan partai bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah bisa dinaikkan. Kalau saat ini, aturannya hanya 15 persen, maka nantinya bisa ditingkatkan hingga 20 persen.

“Kalau 15 persen, bisa 5-6 pasangan belum termasuk independen. Maka, kalau treshold dinaikkan 20 persen, kemungkinan hanya tiga pasang,” paparnya.

Selain itu, Malik juga mengutarakan persoalan lain jika pilkada dipaksakan tetap dikembalikan ke DPRD. Sebab, hal itu nantinya akan menafikkan peran KPUD dan bawaslu. “Ngeri, di draft lewat DPRD, menafikan peran KPU, enggak ada itu peran KPU, karena nanti ketua DPRD membentuk panitia seleksi. Tidak ada pula peran bawaslu, karena DPRD relatif tertutup,” tandasnya.

Terpisah, Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyatakan, pemilihan melalui DPRD bukan merupakan solusi maju terhadap demokrasi di Indonesia. Justru, proses demokratisasi pilkada di Indonesia sudah berjalan 10 tahun, tidak boleh dirusak oleh segelintir orang di DPR.

“Semangat perbaikan ke depan itulah yang sama sekali tidak terlihat dari pembahasan RUU Pilkada oleh Pemerintah dan DPR saat ini,” ujar Masykurudin.

Menurut dia, sebagian besar fraksi di DPR justru bersikeras agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Sementara Pemerintah di bawah arahan politik hukum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sudah bersusah payah melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung sejak 2005, belum menunjukkan sikap yang tegas.”

“SBY sebagai presiden pertama dalam sejarah negeri ini yang terpilih melalui pemilihan presiden secara langsung, haruslah bersikap tegas mempertahankan hal tersebut,” ujarnya.

Masykurudin menilai, anggapan bahwa pilkada berjalan dengan kualitas buruk, dengan adanya konflik horizontal, tidak bisa dibuktikan secara kuat. Sebagian fraksi di DPR hanya melihat kasus demi kasus, yang tidak mewakili proses pilkada secara keseluruhan.

“DPR dan Pemerintah harus membuka lagi semua data dan perjalanan pemilihan kepala daerah secara langsung, yang terbukti 90% pilkada langsung berjalan damai,” ujarnya.

Dia menambahkan, proses pemilihan kepala daerah secara langsung lebih menjamin terpenuhinya layanan publik dan pembangunan di daerah yang berbasis pada pemahaman mengenai kebutuhan dan aspirasi warga daerah. Hal tersebut sejalan dengan prinsip otonomi daerah yaitu partisipasi, akuntabilitas, dan demokrasi.

“Jika yang dikhawatirkan adalah persoalan biaya penyelenggaraan, maka pelaksanaan pilkada lebih efisien dengan cara serentak, yang telah disahkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Sementara itu Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermasyah Djohan menuturkan, pihaknya menginginkan agar RUU Pilkada ini segera diketok. Soal pilihan pilkada langsung atau tidak langsung, itu diserahkan pada DPR. “Kami hanya tidak ingin semua pembahasan RUU Pilkada selama 2 tahun 7 bulan ini sia-sia,” ujarnya.

Sebab, untuk pembahasan RUU di DPR tidak ada istilah carryover. Artinya, jika gagal diketok, maka RUU pilkada harus diulang dari awal. Padahal, dana dan waktu yang dikeluarkan untuk RUU sangat banyak. “Yang dirugikan tentu masyarakat, ini uang masyarakat,” ujarnya.

Namun, dia mengaku jika mendapatkan indikasi jika RUU Pilkada ini akan segera diketok. “Saya dapat informasi dari DPR kalau memang akan diketok dan tidak usah khawatir. Aspirasi masyarakat akan dipenuhi,” ujarnya. (dyn/bay/idr)

Koalisi Merah Putih
Koalisi Merah Putih

SUMUTPOS.CO – Partai-partai yang tergabung di Koalisi Merah Putih belum banyak bergerak dari posisinya mendukung penghapusan pilkada langsung. Dalam situasi yang semakin mepet dengan agenda pengambilan keputusan RUU Pilkada di parlemen, PKB sebagai bagian pendukung pilkada agar tetap langsung, akhirnya melempar tantangan kepada partai-partai tersebut.

Rencananya, RUU yang belakangan memancing perhatian banyak pihak tersebut akan diambil keputusan di tingkat panitia kerja (Panja) RUU Pilkada pada 23 September nanti. Selanjutnya, pada 25 September, RUU akan dibawa ke sidang paripurna kalau ternyata kata sepakat belum tercapai di tingkat panja.

“Boleh pilkada lewat DPRD, tapi syaratnya (pemilihannya) harus dilakukan secara terbuka, berani tidak?” tantang anggota Panja RUU Pilkada dari PKB A Malik Haramain dalam sebuah acara seminar di Hotel Acacia, Jakarta, kemarin (14/9). Dengan sistem tersebut, pemilihan tidak akan dilakukan secara rahasia seperti pada umumnya. Masing-masing anggota DPRD harus menyampaikan hak pilihnya secara terbuka. Semisal, secara sederhana, dengan berdiri sementara yang lain duduk atau dengan mengangkat tangan.

Dia lalu menyinggung tentang fenomena politik uang di pilkada. Malik mengatakan, pemilihan lewat DPRD tidak menjadi jaminan money politic akan hilang. Sebagaimana, lanjut dia, politik uang juga tidak menjamin calon kepala daerah bisa otomatis menang dalam pilkada langsung.

Dalam sistem pilkada langsung selama ini, menurut dia, publik bisa saja tetap menerima uang dari seorang calon kepala daerah. Namun, hal itu tidak bisa menjadi jaminan, masyarakat akan otomatis menjatuhkan pilihannya pada yang bersangkutan. “Tapi, kalau DPRD kan ketahuan yang memilih. Jadi tanpa mengurangi rasa hormat (pada DPRD), mudharat-nya akan lebih besar jika dipilih DPRD,” tegas ketua DPP PKB tersebut.

Pada kesempatan itu, dia juga membantah anggapan kalau pilkada langsung lebih boros. Sebab, hal tersebut bisa diatasi dengan melaksanakan pilkada serentak. “Kalau pilkada serentak, satu provinsi itu dapat irit hingga 30 persen,” bebernya.

Untuk upaya penghematan pula, lanjut dia, PKB juga terus mengusulkan agar pilkada bisa digelar satu putaran. Legitimasinya, jelas dia, threshold (ambang batas) partai atau kumpulan partai bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah bisa dinaikkan. Kalau saat ini, aturannya hanya 15 persen, maka nantinya bisa ditingkatkan hingga 20 persen.

“Kalau 15 persen, bisa 5-6 pasangan belum termasuk independen. Maka, kalau treshold dinaikkan 20 persen, kemungkinan hanya tiga pasang,” paparnya.

Selain itu, Malik juga mengutarakan persoalan lain jika pilkada dipaksakan tetap dikembalikan ke DPRD. Sebab, hal itu nantinya akan menafikkan peran KPUD dan bawaslu. “Ngeri, di draft lewat DPRD, menafikan peran KPU, enggak ada itu peran KPU, karena nanti ketua DPRD membentuk panitia seleksi. Tidak ada pula peran bawaslu, karena DPRD relatif tertutup,” tandasnya.

Terpisah, Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyatakan, pemilihan melalui DPRD bukan merupakan solusi maju terhadap demokrasi di Indonesia. Justru, proses demokratisasi pilkada di Indonesia sudah berjalan 10 tahun, tidak boleh dirusak oleh segelintir orang di DPR.

“Semangat perbaikan ke depan itulah yang sama sekali tidak terlihat dari pembahasan RUU Pilkada oleh Pemerintah dan DPR saat ini,” ujar Masykurudin.

Menurut dia, sebagian besar fraksi di DPR justru bersikeras agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Sementara Pemerintah di bawah arahan politik hukum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sudah bersusah payah melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung sejak 2005, belum menunjukkan sikap yang tegas.”

“SBY sebagai presiden pertama dalam sejarah negeri ini yang terpilih melalui pemilihan presiden secara langsung, haruslah bersikap tegas mempertahankan hal tersebut,” ujarnya.

Masykurudin menilai, anggapan bahwa pilkada berjalan dengan kualitas buruk, dengan adanya konflik horizontal, tidak bisa dibuktikan secara kuat. Sebagian fraksi di DPR hanya melihat kasus demi kasus, yang tidak mewakili proses pilkada secara keseluruhan.

“DPR dan Pemerintah harus membuka lagi semua data dan perjalanan pemilihan kepala daerah secara langsung, yang terbukti 90% pilkada langsung berjalan damai,” ujarnya.

Dia menambahkan, proses pemilihan kepala daerah secara langsung lebih menjamin terpenuhinya layanan publik dan pembangunan di daerah yang berbasis pada pemahaman mengenai kebutuhan dan aspirasi warga daerah. Hal tersebut sejalan dengan prinsip otonomi daerah yaitu partisipasi, akuntabilitas, dan demokrasi.

“Jika yang dikhawatirkan adalah persoalan biaya penyelenggaraan, maka pelaksanaan pilkada lebih efisien dengan cara serentak, yang telah disahkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Sementara itu Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermasyah Djohan menuturkan, pihaknya menginginkan agar RUU Pilkada ini segera diketok. Soal pilihan pilkada langsung atau tidak langsung, itu diserahkan pada DPR. “Kami hanya tidak ingin semua pembahasan RUU Pilkada selama 2 tahun 7 bulan ini sia-sia,” ujarnya.

Sebab, untuk pembahasan RUU di DPR tidak ada istilah carryover. Artinya, jika gagal diketok, maka RUU pilkada harus diulang dari awal. Padahal, dana dan waktu yang dikeluarkan untuk RUU sangat banyak. “Yang dirugikan tentu masyarakat, ini uang masyarakat,” ujarnya.

Namun, dia mengaku jika mendapatkan indikasi jika RUU Pilkada ini akan segera diketok. “Saya dapat informasi dari DPR kalau memang akan diketok dan tidak usah khawatir. Aspirasi masyarakat akan dipenuhi,” ujarnya. (dyn/bay/idr)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/