JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Manuver Ketua Umum DPP Partai Golongan Karya (Golkar) Aburizal Bakrie untuk menentukan posisi koalisi partainya terus berlanjut. Pertemuan Ical “sapaan akrab Aburizal- dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, menjadi episode tambahan atas peluang koalisi antara kubu beringin dengan banteng.
Kedatangan Ical di kediaman Mega di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta kemarin didampingi tiga pengurus DPP, yakni Sekretaris Jenderal Idrus Marham, Bendahara Umum Setya Novanto, serta Ketua DPP Fuad Hasan Mansur. Ical dan Mega melakukan pertemuan tertutup selama sekitar satu jam. Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo menyatakan, kedatangan Ical bersama pengurus DPP bukan merupakan undangan Mega.
“Ini merupakan inisiatif pak Ical bersama pengurus yang hadir,” ujar Tjahjo dalam keterangan pers usai pertemuan itu, kemarin (15/5).
Menurut Tjahjo, pertemuan Ical dan Mega berlangsung tertutup, hanya disaksikan oleh Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP Puan Maharani. Kehadiran Ical dan tiga pengurus teras beringin itu menarik perhatian Tjahjo karena mereka kompak mengenakan baju serba putih. “Kami tidak tahu kenapa sepakat berbaju putih, apa karena kuningnya sudah luntur,” ujarnya disambut tawa para wartawan.
Kehadiran Ical yang luput dari wartawan, juga mendapat tanggapan dari Tjahjo. Ini karena, Ical bersama para pengurus DPP Partai Golkar hadir sekitar pukul 11.30 WIB melalui pintu samping, bukan melalui pintu utama kediaman Megawati. “Pak Ical datang naik mobil, tidak helikopter, tidak juga dengan kuda. Kami minum kopi bersama, kita sambut makanan khas Jawa Tengah,” ujarnya.
Menyambut pernyataan Tjahjo, Ical menjelaskan terkait kekompakan dirinya bersama pengurus mengenakan baju putih. Dia menyatakan, sebelum hadir di kediaman Mega, Ical menyempatkan diri berolahraga tenis dengan perlengkapan kombinasi antara warna merah dengan kuning. “Tadi tenis pake sepatu merah, armband kuning, headband warna merah. Insya Allah warna ini akan berarti bagi Indonesia lebih baik ke depan,” ujarnya “membalas” pernyataan Tjahjo.
Ical menyatakan, pertemuan dirinya dengan Mega dengan disaksikan Puan adalah membicarakan peluang koalisi kedua partai. Partai Golkar sebagai pemenang kedua di pemilu legislatif, ingin membahas potensi koalisi dengan PDIP sebagai pemenang pileg. “Kami berbicara, dan itu sudah ada kecocokan,” ujarnya memberi kepastian.
Meski cocok, Ical menegaskan bahwa hal itu bukan berarti bahwa Partai Golkar resmi bergabung dalam gerbong koalisi PDIP. Ical menyatakan akan melaporkan hasil pertemuan itu dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar yang akan digelar pada 18 Mei mendatang.
“Saya tentu akan meminta ijin dalam Rapimna tentang ini. Mudah-mudahan, ada pendapat di Rapimnas dalam koalisi ini,” ujarnya.
Sampai saat ini, kata Ical, dirinya masih merupakan calon presiden dari Partai Golkar. Proses di Rapimnas nanti akan menentukan apakah posisinya tetap sebagai capres atau cawapres, atau mungkin ada tokoh Partai Golkar lain yang dicalonkan. “Sampai saat ini, tidak ada pembahasan terkait posisi capres ataupun cawapres dengan PDIP,” ujarnya menegaskan.
Ical menambahkan, laporan dirinya dalam Rapimnas tidak hanya terkait hasil pembahasan koalisi dengan PDIP. Sejumlah pertemuan antara dirinya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketum Partai Demokrat, termasuk pertemuan dengan Capres Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto, dan tokoh partai lain juga menjadi topik pembahasan.
“Bila ada perkembangan-perkembangan, saya akan sampaikan ke Bu Mega sebelum tanggal 18. Saya tidak ingin ada surprise, karena saya dengan Mbak Mega teman sejak kecil. Saya dengan Puan saja dipanggil Om,” ujarnya.
Puan menambahkan, dirinya merupakan mata keenam dalam pertemuan empat mata antara Mega dengan Ical. Dari pertemuan itu, dibahas apa yang bisa dilakukan PDIP dengan Partai Golkar bersama-sama untuk kepentingan bangsa ke depan. “Insya Allah sudah sampai pada kesepakatan adanya persamaan visi dan misi,” ujar Puan.
Namun, PDIP tidak ingin memaksakan proses kesepakatan langsung terjalin antar kedua partai. Menurut Puan, proses Rapimnas Partai Golkar yang menjadi landasan pengambilan keputusan partai harus dihormati oleh PDIP.
“Di rapimnas Golkar kami menunggu, supaya tidak melangkahi aturan. Kami klir supaya tidak ada perseteruan internal, supaya bulat mendukung PDIP,” ujarnya.
Puan menambahkan, PDIP tidak pernah mengistilahkan kerjasama antar partai sebagai bentuk koalisi. PDIP lebih cenderung menggunakan istilah menjalin kerjasama melalui silaturahmi politik. Dalam konteks itu, hal yang lebih besar adalah menjaga silaturahmi antar partai, tanpa memunculkan masalah politik.
“Insya Allah (antara PDIP dan Golkar) ada titik temu. Ada jalan terbuka bagi PDIP dan Golkar untuk bangsa yang lebih hebat dan lebih baik,” jelasnya.
PDIP, lanjut Puan, sampai saat ini juga belum menetapkan cawapres pendamping calon presiden Joko Widodo. Sejumlah nama yang muncul, seperti Jusuf Kalla, Abraham Samad sampai saat ini belum diputuskan siapa yang akan terpilih mendampingi Jokowi.
“Nama-nama yang ada jadi pertimbangan Ibu Ketum, termasuk akan dibicarakan dengan partai pendukung yakni Partai Nasdem dan PKB,” ujarnya.
Jika Partai Golkar belum mengambil keputusan koalisi, Puan menyebut adanya potensi penambahan partai pendukung PDIP dari Partai Hati Nurani Rakyat. Sinyal merapatnya Partai Hanura akan segera definitif melalui pertemuan antara Megawati dengan Ketum Partai Hanura Wiranto.
“Kalau tidak ada perubahan dalam waktu dekat akan ada pertemuan Bu ketum (Megawati) dengan Wiranto. Insya Allah kalau itu terjadi, akan tambah satu parpol yang dukung capres Joko Widodo,” tandasnya.
Meski telah ada pertemuan antara Aburizal Bakrie dengan Megawati Soekarnoputri, tidak dapat dijadikan dasar Partai Golkar telah berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Pengamat politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menegaskan, Aburizal Bakrie bukan pengambil keputusan akhir tentang koalisi. Kewenangan ada di forum Rapimnas yang baru akan digelar pada 18 Mei mendatang.
“Seharusnya Rapimnas di percepat karena laporan ke KPU terakhir tanggal 18 Mei, terahir jam 00.00. Mau ke Jokowi atau Prabowo itu hak Rapimnas, bukan hak ketua umum,” jelas dia.
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung menegaskan, peluang untuk menjadikan ketua umum Golkar sebagai calon presiden sudah habis karena ditolak PDIP dan Gerindra. Karena itu, rapimnas Golkar nantinya akan membahas calon wakil presiden. “Tidak ada partai satupun yang mendekat ke Golkar, (opsi mencapreskan Ical) ini terlihat sudah ketutup. Saat ini ada peluang dengan Demokrat, tapi saya tidak tahu perkembangannya,” jelas dia.
Golkar saat ini tengah menggodok enam kader potensial untuk diusung sebagai cawapres, yakni Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Luhut Panjaitan, Ginandjar Kartasasmita, Priyo Budi Santoso, dan Agung Laksono.
Ketua DPP Partai Golkar Rizal Mallarangeng menambahkan, PDIP dan Partai Golkar merupakan dua partai yang eksis di jajaran partai besar. Jika kekuatan dua partai digabungkan, kekuatan di legislatif bersama koalisi partai Nasdem dan PKB juga akan mudah dalam proses pengambilan keputusan. “Akan ada sekitar 252 kursi, ada majority government,” ujar Celi, sapaan akrabnya.
Sementara itu, pesan Mega kepada Jokowi untuk tak melupakan perannya sebagai kader PDIP, pada kesempatan deklarasi koalisi PDIP, Partai Nasdem, dan PKB sehari sebelumnya (14/5), mengundang reaksi sejumlah pihak.
Anggota DPR dari Fraksi PAN Taslim Chaniago diantara yang menilai, pernyataan tersebut justru kontraproduktif. Hal tersebut semakin menegaskan anggapan banyak orang selama ini, bahwa Jokowi jika terpilih sebagai presiden akan menjadi boneka Megawati.
“Itu artinya, apapun kebijakan Jokowi harus sesuai perintah Megawati. Jokowi tidak punya kewenangan saat memimpin negeri,” kata Taslim.
Dia juga menilai pernyataan Mega tersebut menunjukkan dirinya belum sepenuhnya legowo ketika menunjuk Jokowi sebagai calon presiden PDIP. “Megawati masih menganggap dirinya jadi presiden, cuma badan saja yang tidak jadi presiden.
Saya menangkap, apa yang disampaikan Megawati itu membuktikan bahwa Megawati ingin menjadi presiden,” tandasnya.
Padahal, lanjut Taslim, siapapun presiden RI terpilih mendatang tidak boleh disetir oleh siapapun, termasuk partai pengusung. Dia mengingatkan, pengabdian pada negara jauh lebih penting dari pada pengabdian pada partai. “Megawati seharusnya belajar dari negarawan Inggris, Winston Churchill yang terkenal dengan prinsipnya, ketika pengabdian kepada negara dimulai, maka berakhirlah pengabdian kepada partai,” tutupnya. (bay/dyn)