28.9 C
Medan
Sunday, May 12, 2024

PDIP: Liberalisasi Politik Sejak 2008

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – PDIP merespons pernyataan SBY. Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto menilai, SBY lupa perilakunya ketika berkuasa. Pada Desember 2008 saat pemerintahan SBY, beberapa kader Demokrat mengubah sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review ke MK.

Hasto menegaskan, gugatan ke MK itu diajukan sekitar empat bulan menjelang pemilu. Padahal, seharusnya tidak boleh ada perubahan.

“Pak SBY kan tidak memahami jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah, red),” ungkap Hasto, Minggu (19/2) lalu.

Hasto menilai, gugatan tersebut adalah strategi jangka pendek Demokrat untuk meraih kemenangan. Dengan melakukan sejumlah cara, Demokrat akhirnya mengalami kenaikan suara 300 persen. Bandingkan dengan PDIP yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen.

Mantan anggota DPR itu menegaskan, mustahil dengan sistem multipartai yang kompleks, sebuah partai bisa menaikkan suaranya sampai 300 persen.

“Itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif dan tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral,” jelas Hasto.

Politikus asal Jogjakarta itu menjelaskan, judicial review yang sekarang berbeda dengan 2008. Hasto menambahkan, saat ini yang berproses di MK tidak diajukan partai. Sebab, PDIP juga tidak memiliki hak dan legal standing untuk melakukannya. Namun, lanjut dia, judicial review tersebut dilakukan beberapa pakar. Mereka menilai, demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan sejak masa kepemimpinan SBY ternyata mengakibatkan liberalisasi politik yang luar biasa.

“Yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, akademisi, budayawan, dan tokoh-tokoh lainnya,” tegasnya.

Hasto menuturkan, proporsional terbuka membuat partai digerakkan kekuatan kapital. Ada investor-investor yang menyandera demokrasi.

“Jadi, SBY sebaiknya mengingat, liberalisasi itu justru terjadi pada masa pemerintahannya,” pungaksnya. (jpc/saz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – PDIP merespons pernyataan SBY. Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto menilai, SBY lupa perilakunya ketika berkuasa. Pada Desember 2008 saat pemerintahan SBY, beberapa kader Demokrat mengubah sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review ke MK.

Hasto menegaskan, gugatan ke MK itu diajukan sekitar empat bulan menjelang pemilu. Padahal, seharusnya tidak boleh ada perubahan.

“Pak SBY kan tidak memahami jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah, red),” ungkap Hasto, Minggu (19/2) lalu.

Hasto menilai, gugatan tersebut adalah strategi jangka pendek Demokrat untuk meraih kemenangan. Dengan melakukan sejumlah cara, Demokrat akhirnya mengalami kenaikan suara 300 persen. Bandingkan dengan PDIP yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen.

Mantan anggota DPR itu menegaskan, mustahil dengan sistem multipartai yang kompleks, sebuah partai bisa menaikkan suaranya sampai 300 persen.

“Itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif dan tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral,” jelas Hasto.

Politikus asal Jogjakarta itu menjelaskan, judicial review yang sekarang berbeda dengan 2008. Hasto menambahkan, saat ini yang berproses di MK tidak diajukan partai. Sebab, PDIP juga tidak memiliki hak dan legal standing untuk melakukannya. Namun, lanjut dia, judicial review tersebut dilakukan beberapa pakar. Mereka menilai, demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan sejak masa kepemimpinan SBY ternyata mengakibatkan liberalisasi politik yang luar biasa.

“Yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, akademisi, budayawan, dan tokoh-tokoh lainnya,” tegasnya.

Hasto menuturkan, proporsional terbuka membuat partai digerakkan kekuatan kapital. Ada investor-investor yang menyandera demokrasi.

“Jadi, SBY sebaiknya mengingat, liberalisasi itu justru terjadi pada masa pemerintahannya,” pungaksnya. (jpc/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/