28.4 C
Medan
Saturday, May 11, 2024

Pelembagaan Parpol dan Perubahan Sistem Pemilihan Harus Sejalan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengatakan, partai politik (parpol) memiliki tantangan berat dalam membangun kepercayaan masyarakat. Karena itu, upaya perubahan parpol harus juga disertai perubahan sistem pemilihan.

Hasto mengatakan, pihaknya mengapresiasi hasil riset yang menemukan PDIP menjadi parpol dengan survei tertinggi dalam konteks party id atau identifikasi masyarakat terhadap parpol, dan dipersepsikan paling positif di dalam melakukan pelembagaan partai.

Masalahnya, lanjut Hasto, walaupun tertinggi, secara total angka party id seluruh parpol sangat rendah, yakni hanya 6,8 persen.

“Ini tolok ukur kepuasannya sangat rendah. Satu sisi ini tantangan buat parpol untuk membangun kepercayaan. Sementara di sisi lain, ini satu sebabnya liberalisasi politik, dan juga sistem proporsional terbuka yang menyebabkan party id tereduksi oleh elektoral individual-individual yang seringkali tidak membawa platform dan ideologi parpol. Karena itu, PDI Perjuangan mendorong untuk proporsional tertutup,” ungkap Hasto saat menjawab wartawan di sela Seminar Nasional bertema ‘Pelembagaan Partai dan Kepemimpinan Strategis Nasional’ yang dilaksanakan oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) bersama Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG), Pascasarjana UI di Hotel Savoy Homann, Bandung, Kamis (26/1) lalu. Saat itu, Hasto menjadi seorang pembicara bersama Burhanuddin Muhtadi, dan Ketua Prodi SKSG A Hanief Saka Ghafur.

Menurut Hasto, dengan sistem proporsional tertutup, maka untuk menjadi pemimpin legislatif harus melalui persiapan, tidak bisa hanya berbasis elektoral dan popularitas. Seorang yang populer harus memahami bagaimana fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di DPR, misalnya.

“Partai punya tanggung jawab terhadap kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan partai tidak bisa terlepas dari kepentingan rakyat itu. Kita melihat pendidikan kita tertinggal, maka partai memberikan sentuhan bagaimana politik pendidikan yang mencerdaskan anak bangsa. Ini harus dijawab juga oleh partai melalui kebijakan-kebijakan politiknya,” jelas Hasto.

Pakar Politik dari Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, tentang party id yang drop itu, ada kaitannya dengan hilangnya sistem proporsional tertutup. Saat sistem Pemilu kita masih proporsional tertutup pada 1999, party id masih di atas 80 persen. Tapi ketika proporsional terbuka diperkenalkan di 2009, tingkat kedekatan partai dengan pemilih drop sampai 20-an persen.

“Pertanyaannya, kenapa? Karena dalam proporsional tertutup itu yang bertarung adalah partai, karena orang nyoblos partai. Tapi dalam sistem proporsional terbuka, itu aktor atau pemainnya bukan hanya partai, tapi caleg-calegnya pun bertarung. Dan ketika para caleg bertarung, tidak ada insentif untuk mempromosikan ideologi partai,” urainya.

“Kenapa? Karena caleg dalam satu partai pun bertarung satu sama lain. Yang terjadi adalah kapitalisasi. Uang menjadi sangat penting untuk membedakan antara satu caleg dengan caleg lainnya dalam satu partai. Akhirnya orang tak bicara platform partai. Itu yang membuat publik makin jauh dengan ideologi partai,” kata Burhanuddin.

Karena sistem proporsional tertutup juga ada kelemahannya, Burhanudin pun menawarkan mix proportional system, yakni satu formula dengan kelebihan proporsional tertutup dan kelebihan proporsional terbuka disatukan.

Dia merinci model Jerman, yang punya 299 dapil. Setiap pemilih diberi 2 kertas suara. Satu untuk memilih partai, dan satu kertas untuk memilih caleg.

“Kenapa 2? Satu buat kader partai bisa masuk melalui jalur partai. Tetapi untuk kedaulatan pemilih, mereka diberi peluang untuk memperebutkan caleg. Di Jerman, ini cukup sukses mengurangi jumlah partai dan mengurangi jumlah politik uang secara masif,” pungkas Burhanuddin. (jpc/saz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengatakan, partai politik (parpol) memiliki tantangan berat dalam membangun kepercayaan masyarakat. Karena itu, upaya perubahan parpol harus juga disertai perubahan sistem pemilihan.

Hasto mengatakan, pihaknya mengapresiasi hasil riset yang menemukan PDIP menjadi parpol dengan survei tertinggi dalam konteks party id atau identifikasi masyarakat terhadap parpol, dan dipersepsikan paling positif di dalam melakukan pelembagaan partai.

Masalahnya, lanjut Hasto, walaupun tertinggi, secara total angka party id seluruh parpol sangat rendah, yakni hanya 6,8 persen.

“Ini tolok ukur kepuasannya sangat rendah. Satu sisi ini tantangan buat parpol untuk membangun kepercayaan. Sementara di sisi lain, ini satu sebabnya liberalisasi politik, dan juga sistem proporsional terbuka yang menyebabkan party id tereduksi oleh elektoral individual-individual yang seringkali tidak membawa platform dan ideologi parpol. Karena itu, PDI Perjuangan mendorong untuk proporsional tertutup,” ungkap Hasto saat menjawab wartawan di sela Seminar Nasional bertema ‘Pelembagaan Partai dan Kepemimpinan Strategis Nasional’ yang dilaksanakan oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) bersama Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG), Pascasarjana UI di Hotel Savoy Homann, Bandung, Kamis (26/1) lalu. Saat itu, Hasto menjadi seorang pembicara bersama Burhanuddin Muhtadi, dan Ketua Prodi SKSG A Hanief Saka Ghafur.

Menurut Hasto, dengan sistem proporsional tertutup, maka untuk menjadi pemimpin legislatif harus melalui persiapan, tidak bisa hanya berbasis elektoral dan popularitas. Seorang yang populer harus memahami bagaimana fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di DPR, misalnya.

“Partai punya tanggung jawab terhadap kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan partai tidak bisa terlepas dari kepentingan rakyat itu. Kita melihat pendidikan kita tertinggal, maka partai memberikan sentuhan bagaimana politik pendidikan yang mencerdaskan anak bangsa. Ini harus dijawab juga oleh partai melalui kebijakan-kebijakan politiknya,” jelas Hasto.

Pakar Politik dari Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, tentang party id yang drop itu, ada kaitannya dengan hilangnya sistem proporsional tertutup. Saat sistem Pemilu kita masih proporsional tertutup pada 1999, party id masih di atas 80 persen. Tapi ketika proporsional terbuka diperkenalkan di 2009, tingkat kedekatan partai dengan pemilih drop sampai 20-an persen.

“Pertanyaannya, kenapa? Karena dalam proporsional tertutup itu yang bertarung adalah partai, karena orang nyoblos partai. Tapi dalam sistem proporsional terbuka, itu aktor atau pemainnya bukan hanya partai, tapi caleg-calegnya pun bertarung. Dan ketika para caleg bertarung, tidak ada insentif untuk mempromosikan ideologi partai,” urainya.

“Kenapa? Karena caleg dalam satu partai pun bertarung satu sama lain. Yang terjadi adalah kapitalisasi. Uang menjadi sangat penting untuk membedakan antara satu caleg dengan caleg lainnya dalam satu partai. Akhirnya orang tak bicara platform partai. Itu yang membuat publik makin jauh dengan ideologi partai,” kata Burhanuddin.

Karena sistem proporsional tertutup juga ada kelemahannya, Burhanudin pun menawarkan mix proportional system, yakni satu formula dengan kelebihan proporsional tertutup dan kelebihan proporsional terbuka disatukan.

Dia merinci model Jerman, yang punya 299 dapil. Setiap pemilih diberi 2 kertas suara. Satu untuk memilih partai, dan satu kertas untuk memilih caleg.

“Kenapa 2? Satu buat kader partai bisa masuk melalui jalur partai. Tetapi untuk kedaulatan pemilih, mereka diberi peluang untuk memperebutkan caleg. Di Jerman, ini cukup sukses mengurangi jumlah partai dan mengurangi jumlah politik uang secara masif,” pungkas Burhanuddin. (jpc/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/