32 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Catatan-Catatan Mimpi

Di belakang rumah, kudapati Bik Iyah tengah mengumpulkan kayu bakar, aku tersenyum memandanginya, sarung lusuh bermotifkan bunga teratai yang dikenakannya membuat dia terlihat cantik dan wajahnya tampak bersih dari biasanya, kicauan burung terdengar sedikit menakutkan ditambah lagi dengan sinar matahari yang semakin menghilang menandakan sebentar lagi magrib. Bik Iyah memandangiku sambil tersenyum, tak berkedip sedikit pun. Senyum yang sedari tadi aku arahkan kepadanya kini tak lagi ada, entah kenapa senyum Bik Iyah membuatku ketakutan.

Cerpen:  Sarah Yuna Matahari

“Bik Iyah tidak pulang?.” Aku membuka suara agar kesunyian sedikit lenyap.

Bik Iyah sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, dia masih saja tersenyum, aku semakin ketakutan saja dibuatnya. Tangannya bergerak mengambil sebatang kayu kecil, namun tatapannya masih mengarah kepadaku. Kayu tersebut diarahkannya ke tanah, dia kemudian bergerak membuat garis sambil masih menatapku tanpa berkedip, aku memperhatikan gerak kayunya, membentuk persegi panjang, tepat di tengah persegi panjang itu kini Bik Iyah berdiri ditemani kayu-kayu yang dikumpulkannya.

“Iya Neli, Bibik pulang sekarang.” Bik Iyah akhirnya bicara sembari melambaikan tangannya ke arahku, aku pun membalas lambaian tangannya. Aku tersenyum, ketakutan itu hilang.

Mimpiku tentang Bik Iyah menjadi kenyataan, “Iya Nel, Bibik pulang sekarang.” Kata-kata itu benar adanya, keesokan harinya sepulang sekolah, rumah Bik Iyah sudah banyak oleh para pelayat. Aku menutup wajahku setelah mengetahui kematiannya. Bulu kudukku berdiri, ada sedikit rasa takut tebersit karena sempat memimpikannya. Bik Iyah meninggal digigit ular ketika mencari kayu bakar di kebun pak Ahmad.

Berbeda dengan mimpi yang bertafsirkan duka, hari selanjutnya sekolah digemparkan dengan berita bahagia yang datang dari Bu Mira, beliau yang tengah memasuki usia 30 tahun akan segera menikah. Sebelumnya aku memimpikan beliau berjalan dengan riangnya di taman bunga, dengan gaun putih selutut, rambut panjangnya yang ombak terurai dengan indahnya, tengah digenggamnya pula beberapa tangkai bunga yang berbeda-beda. Langkahnya terhenti ketika tepat di hadapannya ada sosok laki-laki yang begitu tampan, dengan wajah malu-malu bu Mira memberikan bunga itu kepada laki-laki itu.

Tak semua mimpiku menjadi kenyataan, atau mungkin belum waktunya menjadi kenyataan. Aku pernah bermimpi, Ayah memanggilku dari balik tirai kamarnya, aku segera melangkah menemuinya, kamar ayah gelap namun aku masih bisa melihatnya, ayah duduk di tepi ranjang, begitu melihatku ayah segera menyuruhku duduk disampingnya.

“Kapan kamu wisuda? Cepatlah, mumpung ayah masih sehat!.”

Begitulah yang dikatakan ayah dalam mimpiku, mimpi yang singkat, namun mampu membuatku menangis begitu terbangun, aku sempat khawatir, apakah ayahku akan meninggal dalam waktu dekat ini. Wisuda? Aneh memang, aku masih duduk di bangku SMP kelas 2. Namun itulah mimpi, dalam mimpi hal yang mustahil sekalipun bisa terjadi, contohnya ketika aku bermimpi memiliki kekuatan super, bisa terbang, melihat surga, walaupun surga dalam mimpiku tidak  terlihat indah, bahkan lebih indah taman di sekolahku.

Bermimpi aku akan mati dalam waktu dekat pun pernah, mimpi itu terjadi sekitar setahun yang lalu, mimpi itu membuatku ketakutan karena dua kali mimpi itu hadir, bahkan terasa sangat nyata, yang pertama ayah mengatakan bahwa waktuku sudah tidak lama lagi. Selanjutnya bukan ayah lagi yang hadir, namun nenek, nenek membelai rambutku dengan lembutnya dan berkata waktumu semakin dekat. Ah, dua mimpi yang menyampaikan pesan sama. Banyak orang yang bilang jika kita mimpi buruk, sebaiknya kita menceritakan mimpi itu kepada orang lain agar tidak terjadi dalam dunia nyata, dan aku melakukannya, aku menceritakannya kepada Ibu dan teman-temanku di sekolah.

Mimpi yang tidak menjadi kenyataan itu adalah mimpi lama. Sekarang terasa berbeda. Aku masih tertegun mengingat rangkaian peristiwa yang aku alami seminggu terakhir ini, semua terangkai dalam mimpi-mimpi yang menjadi nyata. Walaupun dalam setiap tidur aku tak selalu bermimpi, namun begitu bermimpi ternyata langsung menjadi kenyataan. Aku mulai berfikir bahwa tuhan memberikan kelebihan padaku. Terkadang aku ketakutan jika mimpi itu adalah mimpi buruk. Semuanya terekam jelas diingatanku, awalnya aku merasa semuanya adalah kebetulan semata.

Dua hari yang lalu aku sempat bermimpi. Di pojok kelas. Sepi, aku adalah orang pertama yang datang. Ruangan tampak gelap. Bertolak belakang memang, orang sekolah pagi hari, namun di mimpiku sekolah dilaksanakan menjelang magrib. Aku duduk di pojok sembari membaca ulang pelajaran hari lalu. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh jin-jin yang beterbangan bak burung-burung dara yang tengah asyik mematuk makanannya dan segera beterbangan ketika dihampiri. Wajah mereka tampak menyeramkan, sekonyong-konyong membuatku berteriak dan menutup mata. Teriakanku disusul dalam bangunku. Benar saja, keesokan harinya di sekolah, saat pelajaran tengah berlangsung, kami dikagetkan oleh teriakan histeris para siswi. Ada yang tiba-tiba kejang-kejang, ada yang berlari keluar sambil berteriak bak orang gila, ada pula yang pingsan. Aku adalah satu-satunya murid perempuan yang tidak kesurupan.

Kejadian mengerikan itu membuat temanku Ena memilih untuk pindah sekolah. Sekolah akhirnya membuat program baru, yakni membaca surah yasin setiap paginya di kelas masing-masing sebelum memulai pelajaran, membaca surah yasin sendiri sebelumnya hanya kami lakukan tiap hari jum’at bersama teman-teman dari semua kelas dan para guru di lapangan.

Kini aku masih terduduk di bangku panjang di bawah pohon beringin tua, di depanku terdapat telaga yang cukup besar dengan kedalaman yang tidak bisa aku jangkau sewaktu masih kecil. Pohon beringin yang besar melindungiku dari sinar matahari pagi yang masih bersahabat.  Aku merebahkan tubuhku di atas bangku panjang yang sedari tadi aku duduki, menatap birunya langit yang sedikit tertutupi awan. Aku menutup mataku mencoba mengingat mimpiku semalam, aku kesulitan untuk mengingatnya, justru yang terbayang adalah mimpi-mimpi sebelumnya.

Aku sendiri merasa ada yang aneh dengan diriku pagi ini, entahlah, namun aku merasa seharusnya sekarang aku berada di sekolah. Sepertinya aku sudah mulai pikun, tak seharusnya terjadi di usiaku yang masih tergolong muda. Segera aku membuka mata setelah menyadarinya, kupandangi diriku, ternyata benar. Memang benar, seharusnya aku berada di sekolah pagi ini. Aku menoleh ke kiri dan kekanan mencari sesuatu yang selalu aku bawa. Dimana tasku? Aku bergumam seraya berdiri. Seragam sekolah lengkap dan sepatu putih bersih sudah terpasang dengan rapinya tapi tanpa tas.

Sepertinya aku tengah bermimpi sekarang ini. Ah tidak mungkin, aku merasa sangat sadar, aku segera berlari melewati jalan yang tiap harinya aku lewati, tak terasa sedikit pun rasa lelah. Terus berlari dengan penuh kebingungan.
Di jalan raya, ku dapati jalanan tengah macet. Sepertinya aku pernah mendapati kejadian yang persis seperti ini, aku berjalan pelan menuju sumber kemacetan sembari mengingat-ngingat kapan kejadian ini pernah aku alami. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.

Kerumunan? Aku menghentikan langkahku, berhenti sejenak dan tersenyum bahagia, meyakinkan diri bahwa kejadian ini memang pernah aku alami. Kejadian inilah yang menjadi mimpiku semalam. Lagi, lagi, dan lagi mimpiku menjadi kenyataan, kelebihan yang luar biasa ini terjadi kepadaku. Dalam mimpi aku belum sempat melihat apa yang ada di tengah kerumunan tersebut. Aku penasaran, aku kembali melanjutkan langkahku dengan senyuman bak bulan sabit.
“Kasihan ya!”

Kasihan? Beberapa orang yang tengah ikut dalam kerumunan mengucapkan kata itu. Aku semakin penasaran, aku akan mencoba untuk menembus kerumunan itu, menyelinap diantara tubuh-tubuh orang dewasa itu. Aku mematung, senyumku lenyap, aku tidak mengerti, bagaimana mungkin tubuhku bisa menembus tubuh-tubuh besar itu. Tuhan, apakah ini mimpi, seseorang dari mereka mendekat kea rah sesuatu yang ditutupi oleh beberapa lembar Koran, tangannya mendekat menyentuh lembar Koran itu, aku masih kebingungan. Orang itu menutup matanya sembari menyingkirkan lembar Koran yang dipenuhi oleh darah yang tampak mengering.
Aku terbelalak. Ku perhatikan baik-baik, mencoba meyakinkan diri. Itu adalah aku.  Praya, Oktober 2012

Sarah Yuna Matahari, lahir di Lombok Tengah 14 Mei 1990. Saat ini tengah aktif menjadi  sebagai anggota LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Ro’yuna IAIN Mataram.
Salah satu penulis dalam buku Antologi cerpen Goresan Pena Patung Bernyawa,  Lelaki Purnama dan Wanita penunggu taman.

Di belakang rumah, kudapati Bik Iyah tengah mengumpulkan kayu bakar, aku tersenyum memandanginya, sarung lusuh bermotifkan bunga teratai yang dikenakannya membuat dia terlihat cantik dan wajahnya tampak bersih dari biasanya, kicauan burung terdengar sedikit menakutkan ditambah lagi dengan sinar matahari yang semakin menghilang menandakan sebentar lagi magrib. Bik Iyah memandangiku sambil tersenyum, tak berkedip sedikit pun. Senyum yang sedari tadi aku arahkan kepadanya kini tak lagi ada, entah kenapa senyum Bik Iyah membuatku ketakutan.

Cerpen:  Sarah Yuna Matahari

“Bik Iyah tidak pulang?.” Aku membuka suara agar kesunyian sedikit lenyap.

Bik Iyah sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, dia masih saja tersenyum, aku semakin ketakutan saja dibuatnya. Tangannya bergerak mengambil sebatang kayu kecil, namun tatapannya masih mengarah kepadaku. Kayu tersebut diarahkannya ke tanah, dia kemudian bergerak membuat garis sambil masih menatapku tanpa berkedip, aku memperhatikan gerak kayunya, membentuk persegi panjang, tepat di tengah persegi panjang itu kini Bik Iyah berdiri ditemani kayu-kayu yang dikumpulkannya.

“Iya Neli, Bibik pulang sekarang.” Bik Iyah akhirnya bicara sembari melambaikan tangannya ke arahku, aku pun membalas lambaian tangannya. Aku tersenyum, ketakutan itu hilang.

Mimpiku tentang Bik Iyah menjadi kenyataan, “Iya Nel, Bibik pulang sekarang.” Kata-kata itu benar adanya, keesokan harinya sepulang sekolah, rumah Bik Iyah sudah banyak oleh para pelayat. Aku menutup wajahku setelah mengetahui kematiannya. Bulu kudukku berdiri, ada sedikit rasa takut tebersit karena sempat memimpikannya. Bik Iyah meninggal digigit ular ketika mencari kayu bakar di kebun pak Ahmad.

Berbeda dengan mimpi yang bertafsirkan duka, hari selanjutnya sekolah digemparkan dengan berita bahagia yang datang dari Bu Mira, beliau yang tengah memasuki usia 30 tahun akan segera menikah. Sebelumnya aku memimpikan beliau berjalan dengan riangnya di taman bunga, dengan gaun putih selutut, rambut panjangnya yang ombak terurai dengan indahnya, tengah digenggamnya pula beberapa tangkai bunga yang berbeda-beda. Langkahnya terhenti ketika tepat di hadapannya ada sosok laki-laki yang begitu tampan, dengan wajah malu-malu bu Mira memberikan bunga itu kepada laki-laki itu.

Tak semua mimpiku menjadi kenyataan, atau mungkin belum waktunya menjadi kenyataan. Aku pernah bermimpi, Ayah memanggilku dari balik tirai kamarnya, aku segera melangkah menemuinya, kamar ayah gelap namun aku masih bisa melihatnya, ayah duduk di tepi ranjang, begitu melihatku ayah segera menyuruhku duduk disampingnya.

“Kapan kamu wisuda? Cepatlah, mumpung ayah masih sehat!.”

Begitulah yang dikatakan ayah dalam mimpiku, mimpi yang singkat, namun mampu membuatku menangis begitu terbangun, aku sempat khawatir, apakah ayahku akan meninggal dalam waktu dekat ini. Wisuda? Aneh memang, aku masih duduk di bangku SMP kelas 2. Namun itulah mimpi, dalam mimpi hal yang mustahil sekalipun bisa terjadi, contohnya ketika aku bermimpi memiliki kekuatan super, bisa terbang, melihat surga, walaupun surga dalam mimpiku tidak  terlihat indah, bahkan lebih indah taman di sekolahku.

Bermimpi aku akan mati dalam waktu dekat pun pernah, mimpi itu terjadi sekitar setahun yang lalu, mimpi itu membuatku ketakutan karena dua kali mimpi itu hadir, bahkan terasa sangat nyata, yang pertama ayah mengatakan bahwa waktuku sudah tidak lama lagi. Selanjutnya bukan ayah lagi yang hadir, namun nenek, nenek membelai rambutku dengan lembutnya dan berkata waktumu semakin dekat. Ah, dua mimpi yang menyampaikan pesan sama. Banyak orang yang bilang jika kita mimpi buruk, sebaiknya kita menceritakan mimpi itu kepada orang lain agar tidak terjadi dalam dunia nyata, dan aku melakukannya, aku menceritakannya kepada Ibu dan teman-temanku di sekolah.

Mimpi yang tidak menjadi kenyataan itu adalah mimpi lama. Sekarang terasa berbeda. Aku masih tertegun mengingat rangkaian peristiwa yang aku alami seminggu terakhir ini, semua terangkai dalam mimpi-mimpi yang menjadi nyata. Walaupun dalam setiap tidur aku tak selalu bermimpi, namun begitu bermimpi ternyata langsung menjadi kenyataan. Aku mulai berfikir bahwa tuhan memberikan kelebihan padaku. Terkadang aku ketakutan jika mimpi itu adalah mimpi buruk. Semuanya terekam jelas diingatanku, awalnya aku merasa semuanya adalah kebetulan semata.

Dua hari yang lalu aku sempat bermimpi. Di pojok kelas. Sepi, aku adalah orang pertama yang datang. Ruangan tampak gelap. Bertolak belakang memang, orang sekolah pagi hari, namun di mimpiku sekolah dilaksanakan menjelang magrib. Aku duduk di pojok sembari membaca ulang pelajaran hari lalu. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh jin-jin yang beterbangan bak burung-burung dara yang tengah asyik mematuk makanannya dan segera beterbangan ketika dihampiri. Wajah mereka tampak menyeramkan, sekonyong-konyong membuatku berteriak dan menutup mata. Teriakanku disusul dalam bangunku. Benar saja, keesokan harinya di sekolah, saat pelajaran tengah berlangsung, kami dikagetkan oleh teriakan histeris para siswi. Ada yang tiba-tiba kejang-kejang, ada yang berlari keluar sambil berteriak bak orang gila, ada pula yang pingsan. Aku adalah satu-satunya murid perempuan yang tidak kesurupan.

Kejadian mengerikan itu membuat temanku Ena memilih untuk pindah sekolah. Sekolah akhirnya membuat program baru, yakni membaca surah yasin setiap paginya di kelas masing-masing sebelum memulai pelajaran, membaca surah yasin sendiri sebelumnya hanya kami lakukan tiap hari jum’at bersama teman-teman dari semua kelas dan para guru di lapangan.

Kini aku masih terduduk di bangku panjang di bawah pohon beringin tua, di depanku terdapat telaga yang cukup besar dengan kedalaman yang tidak bisa aku jangkau sewaktu masih kecil. Pohon beringin yang besar melindungiku dari sinar matahari pagi yang masih bersahabat.  Aku merebahkan tubuhku di atas bangku panjang yang sedari tadi aku duduki, menatap birunya langit yang sedikit tertutupi awan. Aku menutup mataku mencoba mengingat mimpiku semalam, aku kesulitan untuk mengingatnya, justru yang terbayang adalah mimpi-mimpi sebelumnya.

Aku sendiri merasa ada yang aneh dengan diriku pagi ini, entahlah, namun aku merasa seharusnya sekarang aku berada di sekolah. Sepertinya aku sudah mulai pikun, tak seharusnya terjadi di usiaku yang masih tergolong muda. Segera aku membuka mata setelah menyadarinya, kupandangi diriku, ternyata benar. Memang benar, seharusnya aku berada di sekolah pagi ini. Aku menoleh ke kiri dan kekanan mencari sesuatu yang selalu aku bawa. Dimana tasku? Aku bergumam seraya berdiri. Seragam sekolah lengkap dan sepatu putih bersih sudah terpasang dengan rapinya tapi tanpa tas.

Sepertinya aku tengah bermimpi sekarang ini. Ah tidak mungkin, aku merasa sangat sadar, aku segera berlari melewati jalan yang tiap harinya aku lewati, tak terasa sedikit pun rasa lelah. Terus berlari dengan penuh kebingungan.
Di jalan raya, ku dapati jalanan tengah macet. Sepertinya aku pernah mendapati kejadian yang persis seperti ini, aku berjalan pelan menuju sumber kemacetan sembari mengingat-ngingat kapan kejadian ini pernah aku alami. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.

Kerumunan? Aku menghentikan langkahku, berhenti sejenak dan tersenyum bahagia, meyakinkan diri bahwa kejadian ini memang pernah aku alami. Kejadian inilah yang menjadi mimpiku semalam. Lagi, lagi, dan lagi mimpiku menjadi kenyataan, kelebihan yang luar biasa ini terjadi kepadaku. Dalam mimpi aku belum sempat melihat apa yang ada di tengah kerumunan tersebut. Aku penasaran, aku kembali melanjutkan langkahku dengan senyuman bak bulan sabit.
“Kasihan ya!”

Kasihan? Beberapa orang yang tengah ikut dalam kerumunan mengucapkan kata itu. Aku semakin penasaran, aku akan mencoba untuk menembus kerumunan itu, menyelinap diantara tubuh-tubuh orang dewasa itu. Aku mematung, senyumku lenyap, aku tidak mengerti, bagaimana mungkin tubuhku bisa menembus tubuh-tubuh besar itu. Tuhan, apakah ini mimpi, seseorang dari mereka mendekat kea rah sesuatu yang ditutupi oleh beberapa lembar Koran, tangannya mendekat menyentuh lembar Koran itu, aku masih kebingungan. Orang itu menutup matanya sembari menyingkirkan lembar Koran yang dipenuhi oleh darah yang tampak mengering.
Aku terbelalak. Ku perhatikan baik-baik, mencoba meyakinkan diri. Itu adalah aku.  Praya, Oktober 2012

Sarah Yuna Matahari, lahir di Lombok Tengah 14 Mei 1990. Saat ini tengah aktif menjadi  sebagai anggota LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Ro’yuna IAIN Mataram.
Salah satu penulis dalam buku Antologi cerpen Goresan Pena Patung Bernyawa,  Lelaki Purnama dan Wanita penunggu taman.

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/