28 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Sugar Ray, Ali, Elly Pical, Julio Cesar Chavez

Oleh: T. Agus Khaidir

PERTANDINGAN akan berlangsung kira-kira tiga puluh menit. Lelehan keringatnya membanjir. Sejak sepuluh menit lalu, Rahmat Yanis terus melakukan shadow boxing, sembari bersenandung.

Rindu lukisan mata suratan hatimu nan merindu…

Lagu ini melintas begitu saja di kepalanya. Lagu asmara tempo dulu yang sesungguhnya janggal dilantunkan di tempat seperti ini. Tapi siapa berhak melarang? Apakah lantaran akan beradu pukul maka harus dihentakkan rock atau hip-hop? Tak ada aturan demikian. Lagipula, bukan urusan siapa pun jika lagu ini, sejak mendengarnya mengalir dari panggung satu bar kecil di pinggir kota kira-kira sebulan lewat, ternyata telah menjadi bagian yang sentimentil pada diri Rahmat Yanis.

“Sebentar lagi kita keluar. Sini kupasang sarung tinjumu,” kata Zainuddin.

Rahmat Yanis menurut. Sementara sarung tinju dipasang, ia menatap lekat wajahnya di cermin. Aih, wajah yang hilang rupa. Wajah penuh bekas luka. Tapi Rahmat Yanis lupa, benar-benar lupa, kapan dan bagaimana didapatnya luka-luka itu.

Umumnya petinju menyimpan kenangan kekalahan. Terlebih-lebih jika kekalahan itu meninggalkan cacat pula. Rahmat Yanis tidak. Dua bulan lalu ia naik ring untuk kali ke 299. Usai pertandingan, Zainuddin menyodorkan secarik kertas bertuliskan 256. Itulah angka kekalahannya. Rahmat Yanis nyengir. Zainuddin ikut nyengir. Lalu di sudut ring itu mereka terbahak-bahak.

Zainuddin memang sekadar pendamping di sisi ring. Selama 15 tahun ia mengerjakan tugas yang tak pernah berubah: mengoles krim pelicin, memberi air untuk berkumur-kumur, mengikat dan memotong tali pengikat sarung tinju, juga –tentunya– membersihkan serta menutup luka. Tak pernah datang darinya dorongan semangat. Apalagi saran. Zainuddin mematung saja di sisi ring, menatap kosong sembari mengisap rokok yang kadang-kadang dicampur ganja. Rahmat Yanis tak pernah bertanya. Tapi ia yakin, saat ia dipukuli habis-habisan, Zainuddin sedang berkhayal, atau bahkan bermimpi, dan bel itulah yang membawa kesadarannya kembali. Atas kerja ini, Rahmat Yanis memberi lelaki 65 tahun itu seperempat dari bayarannya, berapa pun jumlahnya.
*****
SUNGGUH mati, Rahmat Yanis tak pernah betul-betul paham kenapa ia memilih jalan hidup sebagai petinju. Sekali pun begitu, ia selalu ingat pertandingan pertamanya. Di gelanggang olahraga kota kelahirannya 19 tahun lalu, Rahmat Yanis naik ring dengan celana merah, sepatu merah, sarung tinju merah. Ia  masih 20 tahun dan merasa segagah Sugar Ray Leonard, petinju Amerika yang pada satu Minggu siang pernah ia saksikan rekaman pertarungannya lewat acara Dari Gelanggang ke Gelanggang di TVRI.

Pertarungan itu begitu memesona Rahmat Yanis. Ronde pertama, Thomas Hearns langsung menyerang lewat kombinasi jab dan hook. Hingga ronde delapan Hearns di atas angin. Namun ronde berikut Sugar Ray bangkit. Ia sudah tertinggal sangat jauh dalam pengumpulan angka, hingga jika ingin menang, tak ada jalan lain kecuali menjatuhkan Hearns. Komentator laga berulangkali menyebut kata miracle.

Tapi kemudian memang keajaibanlah yang terjadi. Ronde 13, Sugar Ray menghajar Hearns sampai terjajar di tali ring. Ronde 14, wasit menghentikan laga setelah Hearn menerima 25 pukulan beruntun tanpa mampu membalas.

Pertarungan pertama Rahmat Yanis tentu tak menjadi legendaris macam laga di Caesar Palace pada 16 September 1981 itu. Namun di hadapan penonton yang sebagian besar mengenakan kaus kebesaran satu organisasi kepemudaan, ia juga menang secara mengesankan. Ronde tiga berjalan 16 detik, straight kiri diikuti kombinasi uppercut telak menyambar dagu lawannya yang jauh lebih berpengalaman. Sadar dari keterkejutan, Rahmat Yanis berlari ke sudut ring, memanjat, lantas memukulkan tinju ke udara. Rahmat Yanis berteriak seraya menyapu pandang ke bangku penonton.
“Wooiii…, lihat aku, Amelia! Lihat aku, Togi!

Iya, malam itu tepat tiga tahun setelah Amelia pergi. Di antara sorak penonton yang rata-rata sudah mabuk, wajah Amelia, wajah Togi, juga wajah-wajah orang yang dulu pernah memukulinya atas suruhan Togi, bergantian mampir. Togi menganggap Rahmat Yanis musuh besar setelah Amelia menolak cintanya.

Jadi ini perkara dendam cinta? Entahlah, Rahmat Yanis tak terlalu yakin. Ia dan Amelia tidak pernah pacaran. Iya, bagaimana mungkin jika untuk sekadar menyatakan cinta saja ia tak punya keberanian. Sampai Amelia pergi dibawa ibunya yang kawin dengan lelaki dari kota lain, Rahmat Yanis tak kunjung buka mulut.

Rahmat Yanis juga ragu apakah ia benar-benar mendendam pada Togi. Ia sudah melupakan sakit hati sejak tinjunya pertama kali menghantam sansak. Di kepalanya justru berkelebat bayangan lain: medali PON, Sarung Tinju Emas, SEA Games, Asian Games, Olimpiade. Juga sabuk-sabuk juara dunia. Semangatnya kian meletup setelah Om Jon bilang, jika diasah serius, tangan kirinya bisa menyengat sedahsyat punya Elly Pical.

“Bung Rahmat bisa setara Elly Pical. Bahkan lebih! Saya sudah lihat potensi bung tadi. Jadi buat apa buang waktu? Buat apa di amatir? Mau jadi apa setelah itu? Pegawai negeri? Bung harus secepatnya ke pro. Hanya perlu sepuluh pertandingan untuk sampai ke juara nasional. Setelah itu kita tantang juara OPBF. Lalu juara dunia.”

Kalimat ini meluncur dari mulut seorang lelaki ceking berpenampilan perlente –jas, dasi, dan topi cowboy-nya berwarna putih. Cerutu berukuran sebesar jempol terselip di antara jemarinya. Rahmat Yanis sering melihat lelaki berpotongan seperti ini di film-film mafia. Apakah dia juga mafia? Rahmat Yanis tak tahu. Usai pertarungan, dia masuk ke kamar ganti bersama Om Liem, promotor rangkaian laga malam itu.

“Bagaimana, Bung?
Terlanjur terlambung, Rahmat Yanis menyambut tawaran. “Dua syarat,” katanya.
“Bilang saja.”
“Om Jon tetap pelatihku.”
“Tak masalah.”
“Aku tak mau ganti nama.”
“Tak masalah.”

Rahmat Yanis berbunga-bunga. Ia memang tak mengira, betapa nanti keputusan ini akan sungguh disesalinya.
****
DALAM empat tahun Rahmat Yanis mulus melakoni 25 pertarungan. Namanya mulai sering dibicarakan. Koran-koran dan tabloid olahraga muat profilnya. Mereka menyebutnya sebagai calon juara dunia Indonesia berikutnya.

Pujian yang agak berlebihan lantaran ia baru sampai pada tahap akan menantang juara OPBF. Elly Pical masih jauh. Rahmat Yanis sendiri berupaya tak jumawa. Tapi memang, pada akhirnya bukan kejumawaan yang membuatnya ambruk.

Persis seperti pada laga pertamanya, usai pertarungan ke 26 yang kembali ia menangi, yaitu laga terakhir sebelum ia menantang juara OPBF, lelaki perlente masuk ke ruang ganti. Bedanya, kali ini ia datang membawa koper berisi bertumpuk-tumpuk uang.

“Ini ada Rp 45 juta. Bung Rahmat Yanis boleh ambil semua asal bung main biasa-biasa saja lawan juara OPBF itu. Tidak perlu KO. Kalah angka saja cukuplah,” katanya.

Rahmat Yanis tak paham. Bukankah dulu lelaki ini yang mengupayakan jalan agar dia bisa sampai ke level seperti sekarang? Rahmat Yanis sudah menonton rekaman pertandingan juara OPBF itu. Sama sekali tak istimewa. Ia yakin bisa menang.
“Maaf, Anda boleh bawa pergi uang itu. Saya bisa juara tanpa Anda.”

Rahmat Yanis sadar benar penolakannya beresiko. Pikirnya, jika pun lelaki perlente meninggalkannya, promotor lain siap membawanya ke tangga juara. Tapi ia salah berhitung.  Tak sampai 24 jam berselang, Om Jon ditemukan polisi mati tergantung di langit-langit kamar rumahnya. Polisi bilang lelaki tua itu bunuh diri. Rahmat Yanis terkesiap, baru sadar betapa hitung-hitungannya kelewat lugu. Om Jon sama sekali tak punya alasan untuk bunuh diri. Ia dibunuh dan Rahmat Yanis tahu pasti siapa pelakunya. Tapi polisi lebih percaya lelaki perlente. Mereka tertawa sinis saat dikatakannya lelaki itu datang pada malam setelah kematian Om Jon dan menyodorkan lagi tawaran yang sama. Mereka tak percaya malam itu lelaki perlente mengakui Om Jon memang tak bunuh diri.

Rahmat Yanis memutuskan berhenti berharap pada polisi. Tak ada gunanya. Tapi uang itu pun tetap tak diambilnya. Ia mengalah begitu saja. Mau apa lagi? Untuk apa ia bersikeras memburu sabuk juara jika tak ada orang yang bisa diajak berbagi rasa bangga? Elly Pical punya Mama Ana. Om Jon tewas. Sedang Amelia tak tentu rimba.

Maka rekor kekalahan cepat melampaui rekor kemenangannya. Pesanlah ia harus kalah dengan cara seperti apa. Bilang saja di ronde berapa. Sejak terkapar dipukul KO juara OPBF itu di ronde pertama, bagi Rahmat Yanis, tinju cuma lelucon yang tak lucu.
****
PERTANDINGAN lima menit lagi. Rahmat Yanis tersenyum menatap Zainuddin. Pastilah si tua sontoloyo ini heran. Tiga pekan terakhir ia kembali ke sasana. Padahal biasanya, jelang pertarungan ia lebih suka duduk di depan televisi, memutar serial Rocky atau Raging Bull yang telah ditontonnya ratusan kali. Dulu ia banyak mengoleksi rekaman pertandingan Sugar Ray, Muhammad Ali, dan Julio Cesar Chavez. Dari sini dipelajari teknik mereka. Tapi sekarang ia lebih mencintai Stallone dan Robert De Niro.

Rahmat Yanis sengaja membiarkan Zainuddin penasaran. Termasuk perihal keputusannya mengakhiri karier usai pertandingan ini. Angka 300 cukuplah. Bahkan Chavez hanya sampai di angka 115, bukan? Ia sudah memutuskan. Augusto Da Lopez, lawannya malam ini, akan jadi lawan terakhir.
Rahmat Yanis mengenal Da Lopez. Aslinya Agus Subagyo. Bertahun-tahun lalu, nyaris saban dia hari datang ke sasana menyaksikan Rahmat Yanis berlatih. Sekarang mereka berhadapan. Seperti Rocky V, Balboa versus Tommy Gunn. Bedanya, Rahmat Yanis tak pernah melatih Da Lopez. Sejak ia jadi pecundang, Da Lopez tak lagi datang. Konon setelah melewatinya, Da Lopez diproyeksi menantang juara nasional.

Zainuddin beberapa hari lalu sebenarnya sempat bertanya, apakah keputusannya didorong kesadaran terkait usia? Rahmat Yanis tertawa. Zainuddin memang tak perlu tahu tentang peristiwa lain yang memicu perubahan rencana itu. Peristiwa yang bagi orang lain mungkin biasa saja, sama sekali tak istimewa.

Begitulah. Sebulan lalu, usai menandatangani kontrak pertarungan kontra Da Lopez, Rahmat Yanis pergi ke bar. Tanpa alasan yang bisa dijelaskan, ia tak pergi ke bar yang bertahun-tahun jadi langganannya. Di bar itu, bar baru agak jauh di pinggir kota, Rahmat Yanis terkesiap mendengar seuntai suara. Setengah tak yakin ia memalingkan pandang ke panggung kecil yang nyaris tersembunyi di pojok ruangan. Amelia!
Rindu katakan rindu usah kau malu karena asmara…

Rahmat Yanis bersiap pergi. Sumpah, ia tak ingin Amelia melihat wajahnya yang hilang rupa. Tapi Amelia keburu menarik tangannya, lalu memeluknya erat sekali.
***
RONDE pertama. Da Lopez yang bersikap seolah tak pernah mengenal Rahmat Yanis, menggempur lewat rangkaian jab, berupaya mendesak ke sudut ring. Dalam hati Rahmat Yanis tertawa. Seperti ia duga, Da Lopez masih terlalu mentah.
Rahmat Yanis menghempaskan punggungnya ke tali ring. Oi, maka Muhammad Ali pun terhuyung ke kanan dan ke kiri. Da Lopez kian bernafsu memburu. Hahaha! Apakah kau tak paham ini hanya jebakan, kawan? Rahmat Yanis kian yakin Da Lopez tak pernah melihat bagaimana Sugar Ray menuntaskan Thomas Hearns.

Sudahlah, memang tak perlu Sugar Ray. Cukup Elly Pical. Da Lopez datang menantang cuma untuk disongsong hook kiri dengan ancang-ancang setengah terbang. Seperti Ju-Do Chun, ia terhuyung, gelagapan coba merangkul. Ia tak awas pula, tak paham Julio Cesar Chavez sudah menunggu. Kombinasi uppercut kiri kanan cepat menerjang dagu. Da Lopez terjengkang.
Ballroom yang telah disulap jadi arena itu seketika hening.

Medan, November 2008
Revisi, Juni 2010/Februari 2013

Oleh: T. Agus Khaidir

PERTANDINGAN akan berlangsung kira-kira tiga puluh menit. Lelehan keringatnya membanjir. Sejak sepuluh menit lalu, Rahmat Yanis terus melakukan shadow boxing, sembari bersenandung.

Rindu lukisan mata suratan hatimu nan merindu…

Lagu ini melintas begitu saja di kepalanya. Lagu asmara tempo dulu yang sesungguhnya janggal dilantunkan di tempat seperti ini. Tapi siapa berhak melarang? Apakah lantaran akan beradu pukul maka harus dihentakkan rock atau hip-hop? Tak ada aturan demikian. Lagipula, bukan urusan siapa pun jika lagu ini, sejak mendengarnya mengalir dari panggung satu bar kecil di pinggir kota kira-kira sebulan lewat, ternyata telah menjadi bagian yang sentimentil pada diri Rahmat Yanis.

“Sebentar lagi kita keluar. Sini kupasang sarung tinjumu,” kata Zainuddin.

Rahmat Yanis menurut. Sementara sarung tinju dipasang, ia menatap lekat wajahnya di cermin. Aih, wajah yang hilang rupa. Wajah penuh bekas luka. Tapi Rahmat Yanis lupa, benar-benar lupa, kapan dan bagaimana didapatnya luka-luka itu.

Umumnya petinju menyimpan kenangan kekalahan. Terlebih-lebih jika kekalahan itu meninggalkan cacat pula. Rahmat Yanis tidak. Dua bulan lalu ia naik ring untuk kali ke 299. Usai pertandingan, Zainuddin menyodorkan secarik kertas bertuliskan 256. Itulah angka kekalahannya. Rahmat Yanis nyengir. Zainuddin ikut nyengir. Lalu di sudut ring itu mereka terbahak-bahak.

Zainuddin memang sekadar pendamping di sisi ring. Selama 15 tahun ia mengerjakan tugas yang tak pernah berubah: mengoles krim pelicin, memberi air untuk berkumur-kumur, mengikat dan memotong tali pengikat sarung tinju, juga –tentunya– membersihkan serta menutup luka. Tak pernah datang darinya dorongan semangat. Apalagi saran. Zainuddin mematung saja di sisi ring, menatap kosong sembari mengisap rokok yang kadang-kadang dicampur ganja. Rahmat Yanis tak pernah bertanya. Tapi ia yakin, saat ia dipukuli habis-habisan, Zainuddin sedang berkhayal, atau bahkan bermimpi, dan bel itulah yang membawa kesadarannya kembali. Atas kerja ini, Rahmat Yanis memberi lelaki 65 tahun itu seperempat dari bayarannya, berapa pun jumlahnya.
*****
SUNGGUH mati, Rahmat Yanis tak pernah betul-betul paham kenapa ia memilih jalan hidup sebagai petinju. Sekali pun begitu, ia selalu ingat pertandingan pertamanya. Di gelanggang olahraga kota kelahirannya 19 tahun lalu, Rahmat Yanis naik ring dengan celana merah, sepatu merah, sarung tinju merah. Ia  masih 20 tahun dan merasa segagah Sugar Ray Leonard, petinju Amerika yang pada satu Minggu siang pernah ia saksikan rekaman pertarungannya lewat acara Dari Gelanggang ke Gelanggang di TVRI.

Pertarungan itu begitu memesona Rahmat Yanis. Ronde pertama, Thomas Hearns langsung menyerang lewat kombinasi jab dan hook. Hingga ronde delapan Hearns di atas angin. Namun ronde berikut Sugar Ray bangkit. Ia sudah tertinggal sangat jauh dalam pengumpulan angka, hingga jika ingin menang, tak ada jalan lain kecuali menjatuhkan Hearns. Komentator laga berulangkali menyebut kata miracle.

Tapi kemudian memang keajaibanlah yang terjadi. Ronde 13, Sugar Ray menghajar Hearns sampai terjajar di tali ring. Ronde 14, wasit menghentikan laga setelah Hearn menerima 25 pukulan beruntun tanpa mampu membalas.

Pertarungan pertama Rahmat Yanis tentu tak menjadi legendaris macam laga di Caesar Palace pada 16 September 1981 itu. Namun di hadapan penonton yang sebagian besar mengenakan kaus kebesaran satu organisasi kepemudaan, ia juga menang secara mengesankan. Ronde tiga berjalan 16 detik, straight kiri diikuti kombinasi uppercut telak menyambar dagu lawannya yang jauh lebih berpengalaman. Sadar dari keterkejutan, Rahmat Yanis berlari ke sudut ring, memanjat, lantas memukulkan tinju ke udara. Rahmat Yanis berteriak seraya menyapu pandang ke bangku penonton.
“Wooiii…, lihat aku, Amelia! Lihat aku, Togi!

Iya, malam itu tepat tiga tahun setelah Amelia pergi. Di antara sorak penonton yang rata-rata sudah mabuk, wajah Amelia, wajah Togi, juga wajah-wajah orang yang dulu pernah memukulinya atas suruhan Togi, bergantian mampir. Togi menganggap Rahmat Yanis musuh besar setelah Amelia menolak cintanya.

Jadi ini perkara dendam cinta? Entahlah, Rahmat Yanis tak terlalu yakin. Ia dan Amelia tidak pernah pacaran. Iya, bagaimana mungkin jika untuk sekadar menyatakan cinta saja ia tak punya keberanian. Sampai Amelia pergi dibawa ibunya yang kawin dengan lelaki dari kota lain, Rahmat Yanis tak kunjung buka mulut.

Rahmat Yanis juga ragu apakah ia benar-benar mendendam pada Togi. Ia sudah melupakan sakit hati sejak tinjunya pertama kali menghantam sansak. Di kepalanya justru berkelebat bayangan lain: medali PON, Sarung Tinju Emas, SEA Games, Asian Games, Olimpiade. Juga sabuk-sabuk juara dunia. Semangatnya kian meletup setelah Om Jon bilang, jika diasah serius, tangan kirinya bisa menyengat sedahsyat punya Elly Pical.

“Bung Rahmat bisa setara Elly Pical. Bahkan lebih! Saya sudah lihat potensi bung tadi. Jadi buat apa buang waktu? Buat apa di amatir? Mau jadi apa setelah itu? Pegawai negeri? Bung harus secepatnya ke pro. Hanya perlu sepuluh pertandingan untuk sampai ke juara nasional. Setelah itu kita tantang juara OPBF. Lalu juara dunia.”

Kalimat ini meluncur dari mulut seorang lelaki ceking berpenampilan perlente –jas, dasi, dan topi cowboy-nya berwarna putih. Cerutu berukuran sebesar jempol terselip di antara jemarinya. Rahmat Yanis sering melihat lelaki berpotongan seperti ini di film-film mafia. Apakah dia juga mafia? Rahmat Yanis tak tahu. Usai pertarungan, dia masuk ke kamar ganti bersama Om Liem, promotor rangkaian laga malam itu.

“Bagaimana, Bung?
Terlanjur terlambung, Rahmat Yanis menyambut tawaran. “Dua syarat,” katanya.
“Bilang saja.”
“Om Jon tetap pelatihku.”
“Tak masalah.”
“Aku tak mau ganti nama.”
“Tak masalah.”

Rahmat Yanis berbunga-bunga. Ia memang tak mengira, betapa nanti keputusan ini akan sungguh disesalinya.
****
DALAM empat tahun Rahmat Yanis mulus melakoni 25 pertarungan. Namanya mulai sering dibicarakan. Koran-koran dan tabloid olahraga muat profilnya. Mereka menyebutnya sebagai calon juara dunia Indonesia berikutnya.

Pujian yang agak berlebihan lantaran ia baru sampai pada tahap akan menantang juara OPBF. Elly Pical masih jauh. Rahmat Yanis sendiri berupaya tak jumawa. Tapi memang, pada akhirnya bukan kejumawaan yang membuatnya ambruk.

Persis seperti pada laga pertamanya, usai pertarungan ke 26 yang kembali ia menangi, yaitu laga terakhir sebelum ia menantang juara OPBF, lelaki perlente masuk ke ruang ganti. Bedanya, kali ini ia datang membawa koper berisi bertumpuk-tumpuk uang.

“Ini ada Rp 45 juta. Bung Rahmat Yanis boleh ambil semua asal bung main biasa-biasa saja lawan juara OPBF itu. Tidak perlu KO. Kalah angka saja cukuplah,” katanya.

Rahmat Yanis tak paham. Bukankah dulu lelaki ini yang mengupayakan jalan agar dia bisa sampai ke level seperti sekarang? Rahmat Yanis sudah menonton rekaman pertandingan juara OPBF itu. Sama sekali tak istimewa. Ia yakin bisa menang.
“Maaf, Anda boleh bawa pergi uang itu. Saya bisa juara tanpa Anda.”

Rahmat Yanis sadar benar penolakannya beresiko. Pikirnya, jika pun lelaki perlente meninggalkannya, promotor lain siap membawanya ke tangga juara. Tapi ia salah berhitung.  Tak sampai 24 jam berselang, Om Jon ditemukan polisi mati tergantung di langit-langit kamar rumahnya. Polisi bilang lelaki tua itu bunuh diri. Rahmat Yanis terkesiap, baru sadar betapa hitung-hitungannya kelewat lugu. Om Jon sama sekali tak punya alasan untuk bunuh diri. Ia dibunuh dan Rahmat Yanis tahu pasti siapa pelakunya. Tapi polisi lebih percaya lelaki perlente. Mereka tertawa sinis saat dikatakannya lelaki itu datang pada malam setelah kematian Om Jon dan menyodorkan lagi tawaran yang sama. Mereka tak percaya malam itu lelaki perlente mengakui Om Jon memang tak bunuh diri.

Rahmat Yanis memutuskan berhenti berharap pada polisi. Tak ada gunanya. Tapi uang itu pun tetap tak diambilnya. Ia mengalah begitu saja. Mau apa lagi? Untuk apa ia bersikeras memburu sabuk juara jika tak ada orang yang bisa diajak berbagi rasa bangga? Elly Pical punya Mama Ana. Om Jon tewas. Sedang Amelia tak tentu rimba.

Maka rekor kekalahan cepat melampaui rekor kemenangannya. Pesanlah ia harus kalah dengan cara seperti apa. Bilang saja di ronde berapa. Sejak terkapar dipukul KO juara OPBF itu di ronde pertama, bagi Rahmat Yanis, tinju cuma lelucon yang tak lucu.
****
PERTANDINGAN lima menit lagi. Rahmat Yanis tersenyum menatap Zainuddin. Pastilah si tua sontoloyo ini heran. Tiga pekan terakhir ia kembali ke sasana. Padahal biasanya, jelang pertarungan ia lebih suka duduk di depan televisi, memutar serial Rocky atau Raging Bull yang telah ditontonnya ratusan kali. Dulu ia banyak mengoleksi rekaman pertandingan Sugar Ray, Muhammad Ali, dan Julio Cesar Chavez. Dari sini dipelajari teknik mereka. Tapi sekarang ia lebih mencintai Stallone dan Robert De Niro.

Rahmat Yanis sengaja membiarkan Zainuddin penasaran. Termasuk perihal keputusannya mengakhiri karier usai pertandingan ini. Angka 300 cukuplah. Bahkan Chavez hanya sampai di angka 115, bukan? Ia sudah memutuskan. Augusto Da Lopez, lawannya malam ini, akan jadi lawan terakhir.
Rahmat Yanis mengenal Da Lopez. Aslinya Agus Subagyo. Bertahun-tahun lalu, nyaris saban dia hari datang ke sasana menyaksikan Rahmat Yanis berlatih. Sekarang mereka berhadapan. Seperti Rocky V, Balboa versus Tommy Gunn. Bedanya, Rahmat Yanis tak pernah melatih Da Lopez. Sejak ia jadi pecundang, Da Lopez tak lagi datang. Konon setelah melewatinya, Da Lopez diproyeksi menantang juara nasional.

Zainuddin beberapa hari lalu sebenarnya sempat bertanya, apakah keputusannya didorong kesadaran terkait usia? Rahmat Yanis tertawa. Zainuddin memang tak perlu tahu tentang peristiwa lain yang memicu perubahan rencana itu. Peristiwa yang bagi orang lain mungkin biasa saja, sama sekali tak istimewa.

Begitulah. Sebulan lalu, usai menandatangani kontrak pertarungan kontra Da Lopez, Rahmat Yanis pergi ke bar. Tanpa alasan yang bisa dijelaskan, ia tak pergi ke bar yang bertahun-tahun jadi langganannya. Di bar itu, bar baru agak jauh di pinggir kota, Rahmat Yanis terkesiap mendengar seuntai suara. Setengah tak yakin ia memalingkan pandang ke panggung kecil yang nyaris tersembunyi di pojok ruangan. Amelia!
Rindu katakan rindu usah kau malu karena asmara…

Rahmat Yanis bersiap pergi. Sumpah, ia tak ingin Amelia melihat wajahnya yang hilang rupa. Tapi Amelia keburu menarik tangannya, lalu memeluknya erat sekali.
***
RONDE pertama. Da Lopez yang bersikap seolah tak pernah mengenal Rahmat Yanis, menggempur lewat rangkaian jab, berupaya mendesak ke sudut ring. Dalam hati Rahmat Yanis tertawa. Seperti ia duga, Da Lopez masih terlalu mentah.
Rahmat Yanis menghempaskan punggungnya ke tali ring. Oi, maka Muhammad Ali pun terhuyung ke kanan dan ke kiri. Da Lopez kian bernafsu memburu. Hahaha! Apakah kau tak paham ini hanya jebakan, kawan? Rahmat Yanis kian yakin Da Lopez tak pernah melihat bagaimana Sugar Ray menuntaskan Thomas Hearns.

Sudahlah, memang tak perlu Sugar Ray. Cukup Elly Pical. Da Lopez datang menantang cuma untuk disongsong hook kiri dengan ancang-ancang setengah terbang. Seperti Ju-Do Chun, ia terhuyung, gelagapan coba merangkul. Ia tak awas pula, tak paham Julio Cesar Chavez sudah menunggu. Kombinasi uppercut kiri kanan cepat menerjang dagu. Da Lopez terjengkang.
Ballroom yang telah disulap jadi arena itu seketika hening.

Medan, November 2008
Revisi, Juni 2010/Februari 2013

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/