25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Kuda Akeila

Oleh: DHusen Arifin

Kuda Akeila  Mobil merah Akeila tak segera melaju. Rentetan mobil di depannya membuat laju roda empat amat pelan. Akeila hendak menemui lelaki yang menelponnya sejak tadi pagi. Akeila mencoba menghubungi lewat seluler sebab ia tak mungkin hadir tepat waktu. Namun tak ada jawaban. Akeila gusar. Sesekali ia dimarahi oleh pengemudi mobil dari belakang dengan bel yang cukup panjang.

DAN Akeila merasa kecewa pada kota Moskwa. Kota kelahirannya kini menjelma tempat yang berisik dan amburadul. Hidup seolah-olah berhenti di perjalanan. Deretan mobil semacam semut. Sesekali pula ada yang mengumpat. Teramat malu bila pemerintahnya tak becus mengurusi kemacetan yang merayap. Akeila memeriksa selulernya, adakah pesan? Tak ada.

Sial, di luar hujan salju.

Sementara mobilnya hanya bergerak maju pelan sekali.

Bahkan Akeila makin gelisah. Ia pendarkan pandangan. Segalanya makin pucat. Ia mengingat rumah yang belum rapi. Baju kotor yang menumpuk di pinggir kamar mandi. Buku-buku berserakan di rak kamar.

Akeila mencoba mengalihkan laju ke kiri jalan. Ah, tak bisa! Ia terhimpit oleh mobil lainnya.

Bila hujan salju, kota ini seperti tak memiliki alternatif jalan. Rata-rata macet. Kau akan mengumpat kata-kata serapah berulang kali mungkin, lebih dari itu, kau akan terjebak pada kebiasaan mengumpat. Namun Akeila tak perlu melakukan itu. Sejak ia lahir di kota Moskwa.

Luas jalan di kota ini tak pernah berubah. Kota yang riuh. Sesak oleh mobil-mobil.

Akeila adalah perempuan terakhir dari keluarga Arshavin. Perempuan mungil berusia duapuluh tiga tahun ini sangat mencintai ayahnya.

Baginya, cinta bukan roda yang berputar.

Sebab cinta tak pernah berhenti. Meski terkadang Akeila lupa bahwa ayahnya, Arshavin telah meninggalkannya lima tahun yang lalu.

Dan sekarang Akeila memiliki ayah tiri setelah ibunya menikah lagi. Akeila tak ingin menggantungkan kebutuhan hidup ke ibunya.

*** Ketika rumah adalah singgahan yang menyejukkan. Akeila harus berpisah dengan lelaki terkasih. Kemudian Akeila mendapat surat dari perusahaan tempat ia bekerja bahwa isinya surat pemecatan. Tabungan Akeila makin menipis. Suasana semakin buruk.

Kakak lelakinya baru menghamili perempuan sebelum menikah. Namun ia tak bertanggung jawab, sehingga ia harus tertahan di jeruji besi dalam kurun waktu tertentu. Meski tak akrab dengan kakak lelakinya, Akeila tak percaya dan ia mengingat ayahnya, Arshavin. Berkat didikan Arshavin, Akeila menjadi perempuan yang mandiri. Namun kakaknya justru brutal.

Entahlah, apa yang terjadi dengan Ivan! Akeila hampir gila. Stres. Ia ingin hilang ingatan.

Mata Akeila mulai lebam. Ia tak banyak tidur.

Kecamuk persoalan di hidupnya semakin ruwet. Seolah tak tertolong lagi. Akeila ingin bersembunyi di hutan. Tanpa kabar apapun.

Tak ada kemacetan. Tak ada keributan. Tak ada berita penahanan kakaknya. Tak ada…

Di hutan adalah hunian yang serba ribet juga. Tak ada sinyal telepon. Tak ada kompor gas. Baju kotor susah dijemur. Untuk apa hidup di hutan? Akeila memilih menyelesaikan sendiri masalah-masalahnya.

*** “Baju kotorku biar aku cuci sendiri…,” ucapnya sendiri. Seperti hidupnya terasa berat. Akeila tahu baju kotor tak bisa dipakai ke pasar atau ke toko buku. Kaos biru bau apek. Celana jeans yang dipakai pesta bersama teman-teman juga berbau alkohol.

Dan Akeila pergi ke kamar mandi. Tangannya gemetaran. Dingin. Sungguh ia berusaha mencelupkan tangan dan membasahi kaki.

Baju-baju kotor siap dicuci. Kemudian ia mengeringkannya serta menjemur di belakang rumah.

Akeila gembira. Dan ia melihat matahari.

Kaulah yang harus menjaga baju-bajuku, ya! Ucapnya pada matahari pagi yang cerah.

Ia beranjak ke ruang tengah untuk menonton televisi. Ada Ivan yang sedang menciumi perempuan barunya. Seperti gairah singa menerkam mangsanya. Akeila tak berhak menegurnya.

Akeila pergi ke kamar tidur. Ada ibunya bergelora dengan ayah tirinya. Seperti kucing yang tak terurus. Akeila menuju ke kamar mandi lagi. Tersisa celana dalam merah. Ya, kurang satu. Ia bilas lalu menjemurnya.

Yang tak pernah dihindarinya adalah menonton berita tentang kota Moskwa. Sehabis Ivan pergi dari ruang tengah. Berita tentang kota Moskwa sungguh membuatnya gregetan.

Kota yang mestinya lancar jalan rayanya. Kota yang mestinya peduli pada lingkungan. Justru kota inilah salah satu yang terburuk di dunia.

Ayah Arshavin memang sering mengajak Akeila menjelajahi kota Moskwa. Bila musim liburan semester.

Akeila sangat riang. Apalagi Akeila selalu mendapat hadiah baju dan buku. Komplit.

“Kota ini dulunya memiliki keadilan. Walikotanya teman dekat Ayah,” suatu cerita yang dikenang Akeila. “ayah punya relasi di sana.

Bila suatu waktu kamu mau bekerjalah di kantor.

Ayah pertemukan kamu dengan Walikota.” “Hah? Benarkah Ayah ingin mengenalkan teman Ayah agar aku bisa bekerja di sana?” dan Ayah Arshavin mengangguk. Yes, aku bakal jadi wanita karir. Akeila senang. Lalu ia peluk ayahnya.

Di saat memeluk ayahnya yang sedang mengemudikan mobil, terjadilah naas yang tak diharapkan.

Akeila selamat namun ayahnya tidak.

Akeila menyesali pelukan terima kasih itu.

Kota Moskwa masihlah tak berubah. Kota terburuk yang menjadi tempat lahirnya perempuan mungil bernama Akeila. Akeila menghindari suara-suara ibunya yang melenguh tak beraturan di kamar tidurnya. Aku yakin bukuku pasti berantakan. Majalah dan koran langganan pasti banyak yang sobek.

Seprei serta selimutku pasti dipakai begituan. Ucapnya dalam hati.

Setengah jam kemudian, Akeila baru bisa masuk ke kamar tidur. Oh, tidak! Benar rupanya ranjangnya sudah berantakan. Akeila pun menata kembali seperti semula. Sediakala.

Meski dengan sedikit keluh kesal. Ada dua kondom. Ih, mereka berani begini. Akeila menujum andai ayah tak meninggalkan kami, rasanya ibu pasti tak seliar ini bagai ular hijau.

“Satu-satunya jalan untuk terus bertahan di rumah ini adalah mengakui bahwa cinta tak pernah dipaksakan oleh masa lalumu.” Ucap Ivan di ruang makan. Lelaki sarjana sastra Mandarin ini memang berwatak persis dengan ibu. Untuk bercinta pun mesti dilakukan dengan cara yang menyesakkan dada Akeila.

Sebab rumah ini hampir setiap hari menjadi tempat bercinta mereka dengan pasangannya.

Sedangkan Akeila merasa jijik melihat mereka liar begitu.

“Benar kata Ivan! Akeila harus mengikuti jejak kita. Bukankah cinta adalah dambaan setiap orang. Dan Ivan serta ibu telah melakukannya. Giliranmu anakku!” sambung ibu Akeila sambil tersenyum.

Akeila terdiam saja. Mirip patung yang tak dengar apa-apa.

“Karena cinta seperti belati. Suatu hari akan membunuhmu…,” ucap Akeila di ruang makan.

Dan keduanya terbelalak. Keduanya seolah ditampar dengan buku. Ivan menunda makannya. Ibu dan ayah tirinya mengusap bibir dengan tisu.

“Betul kan? Apakah Akeila salah berkata begitu?” Akeila merasa dikerubung oleh singa yang kelaparan. Mereka hendak menerkam.

Lalu memangsanya. Dicabik-cabik. Dan entahlah, apakah Akeila mati seketika atau masih sempat bernafas? “Seperti Arshavin. Dasar anak tak tahu diuntung.” Kata ibu yang melemparkan sendok ke arahku. Bahkan Ivan menudingkan tangannya dengan geram. Ayah tiri menghentakkan tangan ke meja. Suasananya sudah tak terkendali.

Mereka menafsirkan bahwa Akeila hanyalah perempuan asing di sini. Bahkan mereka ingin menyingkirkan Akeila keluar dari rumahnya.

*** Ada bunyi telepon seluler Akeila. Dan suara lelaki mengucapkan bahasa sapaan yang akrab. Akeila mengangguk. Akeila sesekali tersenyum. Sepertinya ada kabar baik untuknya.

Mungkinkah cinta datang pada Akeila? “Baiklah. Aku segera ke tempatmu.” Akeila menutup telepon.

Di kota Moskwa ini Akeila meyakini selalu ada kebaikan di balik kemacetan jalan. Laju mobilnya menuju apartemen lelakinya masih tersendat. Tak ada yang menyertai dirinya selain buku-buku baru yang dibeli. Akeila ingin berhenti dari perjalanan yang tak sampai ini.

Bilamana mundur akan ditabrak. Bilamana maju cepat akan terjadi laiknya kematian ayahnya. Sampai kapankah kota Moskwa seperti ini? Tak akan selesai perjalanan.

Akeila merasa ingin mobil ini menjelma kuda pacu yang berlarian di atas mobil yang bergerak pelan-pelan. Sebab hanyalah bayangan semacam halusinasi yang bergentayangan di kepalanya yang membuatnya tenang ketika kemacetan di kota Moskwa ini tak kunjung pulih. (*) 23 Desember, 2012

Oleh: DHusen Arifin

Kuda Akeila  Mobil merah Akeila tak segera melaju. Rentetan mobil di depannya membuat laju roda empat amat pelan. Akeila hendak menemui lelaki yang menelponnya sejak tadi pagi. Akeila mencoba menghubungi lewat seluler sebab ia tak mungkin hadir tepat waktu. Namun tak ada jawaban. Akeila gusar. Sesekali ia dimarahi oleh pengemudi mobil dari belakang dengan bel yang cukup panjang.

DAN Akeila merasa kecewa pada kota Moskwa. Kota kelahirannya kini menjelma tempat yang berisik dan amburadul. Hidup seolah-olah berhenti di perjalanan. Deretan mobil semacam semut. Sesekali pula ada yang mengumpat. Teramat malu bila pemerintahnya tak becus mengurusi kemacetan yang merayap. Akeila memeriksa selulernya, adakah pesan? Tak ada.

Sial, di luar hujan salju.

Sementara mobilnya hanya bergerak maju pelan sekali.

Bahkan Akeila makin gelisah. Ia pendarkan pandangan. Segalanya makin pucat. Ia mengingat rumah yang belum rapi. Baju kotor yang menumpuk di pinggir kamar mandi. Buku-buku berserakan di rak kamar.

Akeila mencoba mengalihkan laju ke kiri jalan. Ah, tak bisa! Ia terhimpit oleh mobil lainnya.

Bila hujan salju, kota ini seperti tak memiliki alternatif jalan. Rata-rata macet. Kau akan mengumpat kata-kata serapah berulang kali mungkin, lebih dari itu, kau akan terjebak pada kebiasaan mengumpat. Namun Akeila tak perlu melakukan itu. Sejak ia lahir di kota Moskwa.

Luas jalan di kota ini tak pernah berubah. Kota yang riuh. Sesak oleh mobil-mobil.

Akeila adalah perempuan terakhir dari keluarga Arshavin. Perempuan mungil berusia duapuluh tiga tahun ini sangat mencintai ayahnya.

Baginya, cinta bukan roda yang berputar.

Sebab cinta tak pernah berhenti. Meski terkadang Akeila lupa bahwa ayahnya, Arshavin telah meninggalkannya lima tahun yang lalu.

Dan sekarang Akeila memiliki ayah tiri setelah ibunya menikah lagi. Akeila tak ingin menggantungkan kebutuhan hidup ke ibunya.

*** Ketika rumah adalah singgahan yang menyejukkan. Akeila harus berpisah dengan lelaki terkasih. Kemudian Akeila mendapat surat dari perusahaan tempat ia bekerja bahwa isinya surat pemecatan. Tabungan Akeila makin menipis. Suasana semakin buruk.

Kakak lelakinya baru menghamili perempuan sebelum menikah. Namun ia tak bertanggung jawab, sehingga ia harus tertahan di jeruji besi dalam kurun waktu tertentu. Meski tak akrab dengan kakak lelakinya, Akeila tak percaya dan ia mengingat ayahnya, Arshavin. Berkat didikan Arshavin, Akeila menjadi perempuan yang mandiri. Namun kakaknya justru brutal.

Entahlah, apa yang terjadi dengan Ivan! Akeila hampir gila. Stres. Ia ingin hilang ingatan.

Mata Akeila mulai lebam. Ia tak banyak tidur.

Kecamuk persoalan di hidupnya semakin ruwet. Seolah tak tertolong lagi. Akeila ingin bersembunyi di hutan. Tanpa kabar apapun.

Tak ada kemacetan. Tak ada keributan. Tak ada berita penahanan kakaknya. Tak ada…

Di hutan adalah hunian yang serba ribet juga. Tak ada sinyal telepon. Tak ada kompor gas. Baju kotor susah dijemur. Untuk apa hidup di hutan? Akeila memilih menyelesaikan sendiri masalah-masalahnya.

*** “Baju kotorku biar aku cuci sendiri…,” ucapnya sendiri. Seperti hidupnya terasa berat. Akeila tahu baju kotor tak bisa dipakai ke pasar atau ke toko buku. Kaos biru bau apek. Celana jeans yang dipakai pesta bersama teman-teman juga berbau alkohol.

Dan Akeila pergi ke kamar mandi. Tangannya gemetaran. Dingin. Sungguh ia berusaha mencelupkan tangan dan membasahi kaki.

Baju-baju kotor siap dicuci. Kemudian ia mengeringkannya serta menjemur di belakang rumah.

Akeila gembira. Dan ia melihat matahari.

Kaulah yang harus menjaga baju-bajuku, ya! Ucapnya pada matahari pagi yang cerah.

Ia beranjak ke ruang tengah untuk menonton televisi. Ada Ivan yang sedang menciumi perempuan barunya. Seperti gairah singa menerkam mangsanya. Akeila tak berhak menegurnya.

Akeila pergi ke kamar tidur. Ada ibunya bergelora dengan ayah tirinya. Seperti kucing yang tak terurus. Akeila menuju ke kamar mandi lagi. Tersisa celana dalam merah. Ya, kurang satu. Ia bilas lalu menjemurnya.

Yang tak pernah dihindarinya adalah menonton berita tentang kota Moskwa. Sehabis Ivan pergi dari ruang tengah. Berita tentang kota Moskwa sungguh membuatnya gregetan.

Kota yang mestinya lancar jalan rayanya. Kota yang mestinya peduli pada lingkungan. Justru kota inilah salah satu yang terburuk di dunia.

Ayah Arshavin memang sering mengajak Akeila menjelajahi kota Moskwa. Bila musim liburan semester.

Akeila sangat riang. Apalagi Akeila selalu mendapat hadiah baju dan buku. Komplit.

“Kota ini dulunya memiliki keadilan. Walikotanya teman dekat Ayah,” suatu cerita yang dikenang Akeila. “ayah punya relasi di sana.

Bila suatu waktu kamu mau bekerjalah di kantor.

Ayah pertemukan kamu dengan Walikota.” “Hah? Benarkah Ayah ingin mengenalkan teman Ayah agar aku bisa bekerja di sana?” dan Ayah Arshavin mengangguk. Yes, aku bakal jadi wanita karir. Akeila senang. Lalu ia peluk ayahnya.

Di saat memeluk ayahnya yang sedang mengemudikan mobil, terjadilah naas yang tak diharapkan.

Akeila selamat namun ayahnya tidak.

Akeila menyesali pelukan terima kasih itu.

Kota Moskwa masihlah tak berubah. Kota terburuk yang menjadi tempat lahirnya perempuan mungil bernama Akeila. Akeila menghindari suara-suara ibunya yang melenguh tak beraturan di kamar tidurnya. Aku yakin bukuku pasti berantakan. Majalah dan koran langganan pasti banyak yang sobek.

Seprei serta selimutku pasti dipakai begituan. Ucapnya dalam hati.

Setengah jam kemudian, Akeila baru bisa masuk ke kamar tidur. Oh, tidak! Benar rupanya ranjangnya sudah berantakan. Akeila pun menata kembali seperti semula. Sediakala.

Meski dengan sedikit keluh kesal. Ada dua kondom. Ih, mereka berani begini. Akeila menujum andai ayah tak meninggalkan kami, rasanya ibu pasti tak seliar ini bagai ular hijau.

“Satu-satunya jalan untuk terus bertahan di rumah ini adalah mengakui bahwa cinta tak pernah dipaksakan oleh masa lalumu.” Ucap Ivan di ruang makan. Lelaki sarjana sastra Mandarin ini memang berwatak persis dengan ibu. Untuk bercinta pun mesti dilakukan dengan cara yang menyesakkan dada Akeila.

Sebab rumah ini hampir setiap hari menjadi tempat bercinta mereka dengan pasangannya.

Sedangkan Akeila merasa jijik melihat mereka liar begitu.

“Benar kata Ivan! Akeila harus mengikuti jejak kita. Bukankah cinta adalah dambaan setiap orang. Dan Ivan serta ibu telah melakukannya. Giliranmu anakku!” sambung ibu Akeila sambil tersenyum.

Akeila terdiam saja. Mirip patung yang tak dengar apa-apa.

“Karena cinta seperti belati. Suatu hari akan membunuhmu…,” ucap Akeila di ruang makan.

Dan keduanya terbelalak. Keduanya seolah ditampar dengan buku. Ivan menunda makannya. Ibu dan ayah tirinya mengusap bibir dengan tisu.

“Betul kan? Apakah Akeila salah berkata begitu?” Akeila merasa dikerubung oleh singa yang kelaparan. Mereka hendak menerkam.

Lalu memangsanya. Dicabik-cabik. Dan entahlah, apakah Akeila mati seketika atau masih sempat bernafas? “Seperti Arshavin. Dasar anak tak tahu diuntung.” Kata ibu yang melemparkan sendok ke arahku. Bahkan Ivan menudingkan tangannya dengan geram. Ayah tiri menghentakkan tangan ke meja. Suasananya sudah tak terkendali.

Mereka menafsirkan bahwa Akeila hanyalah perempuan asing di sini. Bahkan mereka ingin menyingkirkan Akeila keluar dari rumahnya.

*** Ada bunyi telepon seluler Akeila. Dan suara lelaki mengucapkan bahasa sapaan yang akrab. Akeila mengangguk. Akeila sesekali tersenyum. Sepertinya ada kabar baik untuknya.

Mungkinkah cinta datang pada Akeila? “Baiklah. Aku segera ke tempatmu.” Akeila menutup telepon.

Di kota Moskwa ini Akeila meyakini selalu ada kebaikan di balik kemacetan jalan. Laju mobilnya menuju apartemen lelakinya masih tersendat. Tak ada yang menyertai dirinya selain buku-buku baru yang dibeli. Akeila ingin berhenti dari perjalanan yang tak sampai ini.

Bilamana mundur akan ditabrak. Bilamana maju cepat akan terjadi laiknya kematian ayahnya. Sampai kapankah kota Moskwa seperti ini? Tak akan selesai perjalanan.

Akeila merasa ingin mobil ini menjelma kuda pacu yang berlarian di atas mobil yang bergerak pelan-pelan. Sebab hanyalah bayangan semacam halusinasi yang bergentayangan di kepalanya yang membuatnya tenang ketika kemacetan di kota Moskwa ini tak kunjung pulih. (*) 23 Desember, 2012

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/