26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Perempuan Sepi, Purnama dan Melati

Cerpen: Intan Hs

Ia melirik bulan. Kelam tertutup awan. Angin berdesir, menyebarkan wangi bunga melati. Malam kian pekat, namun matanya tak hendak pejam. Ia resah. Orangorang menganggap cerita itu benar. Beberapa hari belakangan ini terasa seperti malam, yang menghadirkan hitam pekat kehidupan. “Ada yang tak bisa dijelaskan. Ada yang tak mengerti atau memang tak mau mengerti.” Begitu ia mengeluh.

Dan ia masih saja mengeluh, mengadu pada pekat malam. Sesekali ia menceracau tentang orang-orang kampung yang menyebutnya perempuan celaka. Jika ada yang mati dalam bulan begini, malam ini, disertai wangi bunga melati yang meruap bersama angin, pasti ia yang disalahkan. Dia, ilmu dan dendamnya.

* Seorang ibu kehilangan bayinya tadi malam. Semua orang kampung tahu jika ia tengah hamil tua, tetapi ngidamnya aneh tadi malam. Ia minta suaminya menemaninya mandi.

Mulanya suami menolak, namun ia meraung-raung dan menjerit tak karuan seperti kesetanan. Pasrah.

Suami mengalah. Mau saja menuruti ngidam istrinya. Di bawah bulan yang tertutup awan, ia mandi. Entah karena sial atau sudah nasib, ia terpeleset.

Bercak darah mengaliri kakinya terus-menerus, ada gumpalan sekepal tangan berwarna kehitaman jatuh di lantai kamar mandi. Sorot mata kehilangan. Sorot mata penuh kesumat, siapa lagi jika bukan karena perbuatannya. Dia, ilmu dan dendamnya pada orangorang kampung.

** Gelap pekat malam hablur karena nyala obor. Di seberang terdengar teriakan orang-orang kampung. Ia cepat-cepat masuk dan mengunci pintu. Hanya dapat menahan gigil tubuhnya di sudut rumah.

“Perempuan celaka, keluar kau!” Ia tak mau menuruti perintah itu.

Hanya diam dengan gigil semakin hebat di tubuhnya. Sesaat ia mengingat kematian, mati diterkam harimau seperti ayahnya, mati dimangsa buaya seperti ibunya, mati dibakar orang-orang kampung mungkinkah nasib dirinya.

“Ibu, tolong.” Aneh, tiba-tiba hening. Ia tahu orang- orang kampung belum pergi, masih di depan rumahnya karena nyala obor belum padam, belum hilang.

Tentu ada rencana. Apa? “Bakar, Bakar!” teriak dari luar Dengan sengaja obor di lempar ke atap rumbia. Ia menatap api.

“Aku belum mau mati,ibu. Aku belum menikah.” Api semakin menjalar, nyalanya tampak membesar. Panas api membuatnya terkesiap. Ia menjadi berani untuk keluar daripada mati dilahap api.

“Keluar juga kau.” Ucap pria berseragam “Tetapi apa salahku Pak Kades?” “Kau, ilmu, dan dendammu pada orang kampung ini.” Tak adil. Ia akan dibunuh karena suatu tuduhan, ilmu dan dendamnya.

Ia dianggap sebagai dukun yang berilmu dengan menumbalkan siapapun yang dikehendakinya. Memang sudah dua orang mati secara misterius di kampung. Korban pertama pemuda yang diidamkannya selama ini, mati dengan mengeluarkan darah dari hidung, dan mulutnya.

Korban kedua calon bayi dari pemuda yang selalu mengejeknya “Jelek.” Semula hal ini belum pernah terjadi di kampung sebelumnya. Kematian aneh, beruntun sejak dua purnama belakangan ini.

Ia hanya perempuan biasa karena kesepian sepeninggal ibunya. Semua berawal dari kebiasaan anehnya menyepi diri. Ia tak pernah mau bergaul dengan siapapun setelah ibunya meninggal. Ia kerap menghindar dari kegiatan apapun yang dilakukan orang-orang kampung. Bahkan ia mendirikan pondok yang jauh dari pemukiman warga, agak menjorok ke hutan.

Entah mengapa anak-anak kampung menyebutnya “orang gila.” Sewaktu remaja pekerjaannya hanya macul dan menanam kembang, terutama melati kembang kesukaannya.

Sebelum meninggal, ibunya sudah berusaha mencarikan suami untuknya, tetapi lelaki normal bahkan tidak sekalipun tak sudi memperistrinya.

Mungkin wajah dan fisiknya yang menjadi kendala. Wajahnya tak terlihat proporsional, berambut ikal, berkulit gelap. Terlihat jelek, dan pendek. Menginjak umur empat puluh tahun, kelakuannya semakin aneh, setiap hari pekerjaannya hanya keluar – masuk hutan, menatap purnama berlama-lama sambil menceracau tak karuan seperti berkomat-kamit membaca mantera.

Kelakuannya benar-benar tak lazim, diluar kewajaran.

Ia dendam pada pemuda kampung yang tak sudi memperistrinya hanya karena melihat penampilan dari luar semata. Kesumatnya pun membara pada semua orang di kampung karena memandangnya gila. Ia tahu satu hal, tentu orang tua yang membisikkan ke telinga anak-anaknya kalau ia gila, jika tidak, anak-anak tidak akan menyebutnya gila tanpa sebab. Dendam membuat hidupnya kelam.

Sorot mata dendam. Mata melotot orang-orang kampung. Beradu.

“Bunuh dukun itu!” teriak kompak orang-orang kampung Ia mengalihkan pandanganya pada purnama. Orang-orang kampung berusaha menyembunyikan sebersit ketakutan.

“Habisi Perempuan gila itu!” teriak seseorang dari tengah kerumunan dengan keras. Ia adalah lelaki yang selalu mengejeknya jelek, dan ia juga yang baru saja kehilangan bayi dalam kandungan istrinya.

Sungguh, ia tak tahu persis apa yang akan terjadi. Tangan dan kakinya terikat, hanya tiba-tiba ia merasakan tubuhnya berlubang mendengar teriakan lelaki yang menyebutnya perempuan gila. Lubang itu semakin membesar, berwarna hitam pekat seperti malam. Tubuhnya bergetar, saat ia melihat purnama di langit.

Di langit tampak bulan purnama, perlahan mulai terselubung awan.

Tiba-tiba semua orang bergidik ngeri. Ia melihat ke langit, terdiam dan lama, seolah-olah tak ada orang lain disekelilingnya. Mulutnya mulai menceracau tak karuan. Seperti mengeluh, mengadu entah pada siapa.

Suasana seperti mati tiba-tiba. Ia menangis. Akh entahlah, hanya terlihat sudut matanya mengandung air.

Orang-orang kampung serentak meremas dadanya kencang-kencang, membelalakan mata selebarnya berusaha meyakinkan penglihatannya.

Bulan purnama perlahan redup tertutup awan.

“Hentikan perempuan celaka. Jangan kau buat lagi untuk yang ketiga!” ucap Pak Kades Ia menggeleng.

“Hentikan, jangan!” pinta orangorang kampung hampir serentak Terlambat. Angin berhembus, menyisipkan wangi bunga melati.

Orang-orang kampung yang berkerumun gemetar, gentar tanpa sebab. Entah siapa yang memulai berlari, tetapi yang pasti Pak Kades terlihat tergopoh-gopoh berjalan paling belakang, dan dalam hitungan detik ia hanya tinggal sendiri di depan rumahnya, masih terikat.

Sepi. Hanya tangisnya yang terdengar.

Ia bersyukur orang-orang kampung menganggap cerita itu benar.

***

Cerpen: Intan Hs

Ia melirik bulan. Kelam tertutup awan. Angin berdesir, menyebarkan wangi bunga melati. Malam kian pekat, namun matanya tak hendak pejam. Ia resah. Orangorang menganggap cerita itu benar. Beberapa hari belakangan ini terasa seperti malam, yang menghadirkan hitam pekat kehidupan. “Ada yang tak bisa dijelaskan. Ada yang tak mengerti atau memang tak mau mengerti.” Begitu ia mengeluh.

Dan ia masih saja mengeluh, mengadu pada pekat malam. Sesekali ia menceracau tentang orang-orang kampung yang menyebutnya perempuan celaka. Jika ada yang mati dalam bulan begini, malam ini, disertai wangi bunga melati yang meruap bersama angin, pasti ia yang disalahkan. Dia, ilmu dan dendamnya.

* Seorang ibu kehilangan bayinya tadi malam. Semua orang kampung tahu jika ia tengah hamil tua, tetapi ngidamnya aneh tadi malam. Ia minta suaminya menemaninya mandi.

Mulanya suami menolak, namun ia meraung-raung dan menjerit tak karuan seperti kesetanan. Pasrah.

Suami mengalah. Mau saja menuruti ngidam istrinya. Di bawah bulan yang tertutup awan, ia mandi. Entah karena sial atau sudah nasib, ia terpeleset.

Bercak darah mengaliri kakinya terus-menerus, ada gumpalan sekepal tangan berwarna kehitaman jatuh di lantai kamar mandi. Sorot mata kehilangan. Sorot mata penuh kesumat, siapa lagi jika bukan karena perbuatannya. Dia, ilmu dan dendamnya pada orangorang kampung.

** Gelap pekat malam hablur karena nyala obor. Di seberang terdengar teriakan orang-orang kampung. Ia cepat-cepat masuk dan mengunci pintu. Hanya dapat menahan gigil tubuhnya di sudut rumah.

“Perempuan celaka, keluar kau!” Ia tak mau menuruti perintah itu.

Hanya diam dengan gigil semakin hebat di tubuhnya. Sesaat ia mengingat kematian, mati diterkam harimau seperti ayahnya, mati dimangsa buaya seperti ibunya, mati dibakar orang-orang kampung mungkinkah nasib dirinya.

“Ibu, tolong.” Aneh, tiba-tiba hening. Ia tahu orang- orang kampung belum pergi, masih di depan rumahnya karena nyala obor belum padam, belum hilang.

Tentu ada rencana. Apa? “Bakar, Bakar!” teriak dari luar Dengan sengaja obor di lempar ke atap rumbia. Ia menatap api.

“Aku belum mau mati,ibu. Aku belum menikah.” Api semakin menjalar, nyalanya tampak membesar. Panas api membuatnya terkesiap. Ia menjadi berani untuk keluar daripada mati dilahap api.

“Keluar juga kau.” Ucap pria berseragam “Tetapi apa salahku Pak Kades?” “Kau, ilmu, dan dendammu pada orang kampung ini.” Tak adil. Ia akan dibunuh karena suatu tuduhan, ilmu dan dendamnya.

Ia dianggap sebagai dukun yang berilmu dengan menumbalkan siapapun yang dikehendakinya. Memang sudah dua orang mati secara misterius di kampung. Korban pertama pemuda yang diidamkannya selama ini, mati dengan mengeluarkan darah dari hidung, dan mulutnya.

Korban kedua calon bayi dari pemuda yang selalu mengejeknya “Jelek.” Semula hal ini belum pernah terjadi di kampung sebelumnya. Kematian aneh, beruntun sejak dua purnama belakangan ini.

Ia hanya perempuan biasa karena kesepian sepeninggal ibunya. Semua berawal dari kebiasaan anehnya menyepi diri. Ia tak pernah mau bergaul dengan siapapun setelah ibunya meninggal. Ia kerap menghindar dari kegiatan apapun yang dilakukan orang-orang kampung. Bahkan ia mendirikan pondok yang jauh dari pemukiman warga, agak menjorok ke hutan.

Entah mengapa anak-anak kampung menyebutnya “orang gila.” Sewaktu remaja pekerjaannya hanya macul dan menanam kembang, terutama melati kembang kesukaannya.

Sebelum meninggal, ibunya sudah berusaha mencarikan suami untuknya, tetapi lelaki normal bahkan tidak sekalipun tak sudi memperistrinya.

Mungkin wajah dan fisiknya yang menjadi kendala. Wajahnya tak terlihat proporsional, berambut ikal, berkulit gelap. Terlihat jelek, dan pendek. Menginjak umur empat puluh tahun, kelakuannya semakin aneh, setiap hari pekerjaannya hanya keluar – masuk hutan, menatap purnama berlama-lama sambil menceracau tak karuan seperti berkomat-kamit membaca mantera.

Kelakuannya benar-benar tak lazim, diluar kewajaran.

Ia dendam pada pemuda kampung yang tak sudi memperistrinya hanya karena melihat penampilan dari luar semata. Kesumatnya pun membara pada semua orang di kampung karena memandangnya gila. Ia tahu satu hal, tentu orang tua yang membisikkan ke telinga anak-anaknya kalau ia gila, jika tidak, anak-anak tidak akan menyebutnya gila tanpa sebab. Dendam membuat hidupnya kelam.

Sorot mata dendam. Mata melotot orang-orang kampung. Beradu.

“Bunuh dukun itu!” teriak kompak orang-orang kampung Ia mengalihkan pandanganya pada purnama. Orang-orang kampung berusaha menyembunyikan sebersit ketakutan.

“Habisi Perempuan gila itu!” teriak seseorang dari tengah kerumunan dengan keras. Ia adalah lelaki yang selalu mengejeknya jelek, dan ia juga yang baru saja kehilangan bayi dalam kandungan istrinya.

Sungguh, ia tak tahu persis apa yang akan terjadi. Tangan dan kakinya terikat, hanya tiba-tiba ia merasakan tubuhnya berlubang mendengar teriakan lelaki yang menyebutnya perempuan gila. Lubang itu semakin membesar, berwarna hitam pekat seperti malam. Tubuhnya bergetar, saat ia melihat purnama di langit.

Di langit tampak bulan purnama, perlahan mulai terselubung awan.

Tiba-tiba semua orang bergidik ngeri. Ia melihat ke langit, terdiam dan lama, seolah-olah tak ada orang lain disekelilingnya. Mulutnya mulai menceracau tak karuan. Seperti mengeluh, mengadu entah pada siapa.

Suasana seperti mati tiba-tiba. Ia menangis. Akh entahlah, hanya terlihat sudut matanya mengandung air.

Orang-orang kampung serentak meremas dadanya kencang-kencang, membelalakan mata selebarnya berusaha meyakinkan penglihatannya.

Bulan purnama perlahan redup tertutup awan.

“Hentikan perempuan celaka. Jangan kau buat lagi untuk yang ketiga!” ucap Pak Kades Ia menggeleng.

“Hentikan, jangan!” pinta orangorang kampung hampir serentak Terlambat. Angin berhembus, menyisipkan wangi bunga melati.

Orang-orang kampung yang berkerumun gemetar, gentar tanpa sebab. Entah siapa yang memulai berlari, tetapi yang pasti Pak Kades terlihat tergopoh-gopoh berjalan paling belakang, dan dalam hitungan detik ia hanya tinggal sendiri di depan rumahnya, masih terikat.

Sepi. Hanya tangisnya yang terdengar.

Ia bersyukur orang-orang kampung menganggap cerita itu benar.

***

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/