25.6 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Lorong

Ternyata dia baru menyadari bahwa gelas minumannya sudah tidak ada di atas meja bar, setelah Tom Roberts, orang Palmer Street berambut pirang dengan kancing jas berwarna emas itu menghilang secara tiba-tiba bersama perempuan yang datang bersamanya tadi sore.

Cerpen Delvi Yandra

D   ia hanya mendengus cepat bersama bau rum yang merangsek  ke   lubang hidungnya. Dengan penuh amarah, dia raih kerah baju Lukas sambil mencurigai seseorang yang entah siapa di bar itu.
Memang, tatapan matanya tidak menjurus ke arah Lukas dengan cermat tetapi kecurigaannya mulai leluasa setelah dia tahu bahwa Lukas dengan sengaja membiarkan Tom datang bersama perempuan itu ke Waterloo.
“Kau tahu perempuan yang datang bersamanya itu, Lukas?! Berani-beraninya kau!”

Gnome berusaha mempermalukan Lukas di depan umum. Bartender itu tak peduli, dia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk menyingkirkan pelanggan terbaiknya itu tanpa harus mengotori tangannya sendiri. Dia tahu bagaimana menyulut emosi seorang lelaki penyendiri.

Dengan setengah mabuk, Gnome berdiri di atas meja bar sambil merampas gelas minuman di sana dan bicara tak jelas. “Waterloo, Waterloo, siapa yang ingin menjadi hero? Jadi, jangan main-main denganku.”
Seketika itu juga, dua lelaki bertubuh kekar yang sejak tadi memperhatikan kejadian itu dari ambang pintu, menyeretnya menuju lorong yang tersambung ke lantai dasar Waterloo. Dia memberontak dengan keterbatasan geraknya. Gnome pun tak sadarkan diri setelah salah satu dari mereka meninju perutnya.
Suasana bar kembali seperti semula. Lukas segera membersihkan meja yang basah dan merapikan gelas-gelas. Orang-orang di sana kembali minum dan berbincang dengan tenang seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Tidak pernah terjadi apa-apa.

***
Derap sepatu di lantai kayu terdengar pelan bersama suara debur ombak yang terhalang sebuah dinding. Suara-suara itu menyentuh telinga Gnome dengan cepat. Dia merasakan kepalanya yang sakit karena terbentur sesuatu. Dia merintih dan tetap dalam keadaan terbaring.

Dalam kesadaran yang tidak sempurna, di depannya, seorang lelaki bertubuh jangkung sedikit bungkuk sedang memperhatikannya. Nama laki-laki itu Wolfgang Fried. Di lengan kirinya tampak tato wajah Arthur Streeton dengan latar belakang seekor pari raksasa. Bau ikan di tubuhnya mulai merebak. Mengalahkan bau rum yang dibawa Gnome dari bar.

“Orang itu berani membayar mahal. Sekarang cuci mukamu dan angkat semua perkakas itu ke geladak.”
Gnome tercekat. Berusaha menahan diri setelah menyadari bahwa dia sedang berada di atas kapal barang di tengah lautan. “Apakah kapal ini sempat berlabuh di Suez Canal?”
“Ya.”

“Jam berapa sekarang?”

“Hampir pagi. Dan kau harus segera mengangkat perkakas itu. Atau hiu-hiu lapar akan mengunyahmu pelan-pelan.”
“Tidak mungkin!”

Da tak menyangka dalam waktu singkat telah berada di atas kapal di lautan luas. Dia seperti ingin muntah. Udara menjadi sangat dingin. Fried tak menghiraukannya, hanya menghela nafas agar bau lautan dapat menenangkannya. Gnome berpikir, bagaimana mungkin jarak antara Waterloo dan Suez Canal bisa dilipat seperti papan catur?
“Kau tidak tahu ya? Waterloo itu tempat yang mengerikan. Kau bisa saja berada di suatu tempat asing yang membuat kau tidak bisa pulang, jika kau berani mencari masalah di bar itu.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku pernah sepertimu!”
Tatapan mata Fried memberondongnya seperti kelompok penjahat Harrington Lane. Di lautan semacam ini, tak ada yang dapat menolong. Gnome mulai berusaha mengubur ingatannya tentang Tom. Juga tentang mantan istrinya yang penuh dengan tipu muslihat itu. Dia bergegas memindahkan tumpukan perkakas dan melupakan kejadian di bar.
“Hei anak baru! Selamat datang di bahtera Fried Si Pemburu Pari,” ujar salah seorang pekerja yang sengaja menyikutnya, saat mendapati Gnome sedang membungkus perkakas dengan hati-hati.

Matahari tampak pucat seperti masa lalu Gnome. Gerak ombak biasa-biasa saja. Teratur tetapi angkuh. Tidak tampak burung-burung berkitaran di ujung layar kapal. Hanya angin yang tiba-tiba terasa panas. Sesekali kapal berderik karena dielus ombak.

Sementara itu, Fried berulang-ulang mengetuk jari telunjuknya ke bibir kapal sambil bersandar di sana, memandang ke ujung yang jauh. Perkakas telah selesai dipindahkan. Saatnya bagi Gnome untuk beristirahat. Tetapi dia tidak melakukannya. Dia menyadari telah menumpang pada kapal yang tua dan rapuh. Sama seperti dirinya.
Dia tidak peduli lagi. Dihampirinya Fried dengan perasaan cemas. “Kita akan ke mana?”

Fried hanya membalasnya dengan amarah yang tertahan. Lalu, kembali seperti semula. Sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa perjalanan kapal ini tak akan pernah ada ujungnya tetapi dia urungkan. Begitulah Fried, penuh rahasia.

“Mana yang akan kau pilih, Gnome, kembali ke masa lalu yang pahit atau terus maju melewati lorong-lorong rahasia yang tak pernah sampai pada tujuan?”

Gnome kembali berpikir bahwa pertanyaan itu bagai bumerang. Dia tak hendak menjawab pertanyaan itu. Tubuhnya menjadi lemas sehingga kesedihan menguasainya lebih cepat dari angin laut.

Dan Fried tidak peduli apakah Gnome akan menjawab pertanyaan itu atau tidak. Dia mendengus dan membiarkan lelaki penyendiri itu menangis. Akhirnya, Fried menuntaskan pembicaraan singkat itu dengan menyulut sebatang cerutu.
Seminggu kemudian barulah Gnome menyadari bahwa kapal ini tak akan sampai kemana pun. Tak akan berlabuh di dermaga mana pun. Hanya laut luas yang membentang tak ada ujung. Dia pun mulai berpikir wajar tentang Fried setelah laki-laki jangkung itu berani bicara lebih banyak tentang masa lalunya. Sorot mata Fried mulai tampak kasar disertai lingkaran menghitam di sekitar pelipis.

Ya, Fried memiliki satu anak dari Tilly Devine, perempuan yang dicintainya. Sejak pertemuan pertama mereka yang singkat pada suatu malam di rumah pelacuran dekat pantai timur, nyaris tiap malam Fried berani bertandang ke sana. Setelah berkali-kali dia bercinta dengan Devine di tempat itu, akhirnya Fried jatuh hati kepadanya.

“Aku memintanya tinggal bersamaku. Pada mulanya dia bahagia. Tetapi, dia meninggalkanku dan kembali ke rumah itu setelah dia melahirkan seorang anak dariku. Dia berpikir membangun keluarga tak bisa menyingkirkan lakunya untuk dekat dengan banyak lelaki. Ternyata, selama kami hidup bersama, dia bercinta dengan banyak lelaki.”

Fried tersungkur di punggung tiang layar usai bercerita, “dia tidak pernah mencintaiku. Dia hanya kasihan padaku!”
Setiap orang di atas kapal membiarkan Fried yang tersungkur dan tampak menyedihkan itu sendirian. Jika pun ada yang menoleh kepadanya, mereka hanya menatap dengan cara yang sangat biasa. Kecuali Gnome yang begitu terkejut dan merasa iba kepadanya.

Dia merasa mempunyai nasib yang sama dengan Fried. Dia teringat Tom Roberts dan mantan istrinya. Perempuan itu tidak pernah mencintainya. Hal itu terlihat dari cara dia menatap Gnome. Dan cara mereka bercinta. Sampai akhirnya Tom masuk ke kehidupan mereka, menghancurkan segalanya.

Gnome merasa Fried berusaha masuk melalui lorong-lorong rahasia ke dalam kepalanya secara perlahan. Seperti halnya Waterloo dan Suez Canal yang ajaib. Dia tidak tahu hendak memercayai cerita Fried atau mengingat kembali kejadian di bar sesaat sebelum dihajar dua laki-laki. Yang jelas, dia kini berada di atas kapal yang rapuh. Terombang-ambing bersama sekawanan pekerja dan lelaki jangkung yang tersungkur di punggung tiang layar.

Setiap pagi dia hanya melihat lautan, menumpang di kapal yang rapuh, bercerita sedikit kepada pekerja dan mabuk dengan cerita-cerita Fried. Semakin lama dia semakin terbiasa mencium bau laut dan ikan ketimbang bau rum dan bar yang penuh asap rokok. Dia semakin larut dengan kegilaan yang tak wajar. Dan belajar melupakan masa lalu.
Tahun terus berlanjut. Di suatu waktu, ketika lautan mulai terasa membosankan, sekawanan burung melintasi tiang layar. Langit berwarna krim, bercampur dengan kuning pucat. Matahari tampak sedang berendam di ujung yang jauh.
“Ada daratan di depan kita!” Ujar salah satu pekerja dari menara pemantau.

Dengan malas, Fried bergegas ke haluan dan memutar kemudi kapal. “Jangan harap kita akan pulang.”
Gnome yang menyaksikan kejadian itu bergegas mendekati Fried dan berkata dengan lantang. “Keparat kau pak tua! Aku tidak ingin lautan ini menguburku pelan-pelan.”

Dia raih kemudi dengan kasar dan memutarnya secepat yang dapat dia lakukan. Mereka saling berebut kemudi. Fried lekas mendaratkan tinjunya di perut Gnome sehingga membuat lelaki penyendiri itu tersungkur di buritan. Kapal menjadi oleng, menghantam batu karang yang mencuat ke permukaan. Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu kapal karam pelan-pelan.

Sekali lagi, Fried mendaratkan tinjunya kuat-kuat. Dan hari pun berakhir dengan cepat.
Segera pandangan mata Gnome berkunang-kunang. Dia melihat Tom, dia melihat mantan istrinya, juga Lukas yang menyebalkan. Dan yang tak pernah dia lihat sekali pun adalah, bagaimana Waterloo dan Suez Canal dapat dilipat seperti papan catur. Sampai akhirnya Fried melayangkan tendangannya ke punggung Gnome, semuanya lekas menghilang.
Dan hari pun berakhir dengan cepat.

***
2011
Delvi Yandra, menulis cerpen, esai, resensi dan puisi. Sesekali menulis laporan jurnalistik dan terjemahan. Tinggal di Dumai. Saat ini bekerja di sebuah rumah makan.

 

Ternyata dia baru menyadari bahwa gelas minumannya sudah tidak ada di atas meja bar, setelah Tom Roberts, orang Palmer Street berambut pirang dengan kancing jas berwarna emas itu menghilang secara tiba-tiba bersama perempuan yang datang bersamanya tadi sore.

Cerpen Delvi Yandra

D   ia hanya mendengus cepat bersama bau rum yang merangsek  ke   lubang hidungnya. Dengan penuh amarah, dia raih kerah baju Lukas sambil mencurigai seseorang yang entah siapa di bar itu.
Memang, tatapan matanya tidak menjurus ke arah Lukas dengan cermat tetapi kecurigaannya mulai leluasa setelah dia tahu bahwa Lukas dengan sengaja membiarkan Tom datang bersama perempuan itu ke Waterloo.
“Kau tahu perempuan yang datang bersamanya itu, Lukas?! Berani-beraninya kau!”

Gnome berusaha mempermalukan Lukas di depan umum. Bartender itu tak peduli, dia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk menyingkirkan pelanggan terbaiknya itu tanpa harus mengotori tangannya sendiri. Dia tahu bagaimana menyulut emosi seorang lelaki penyendiri.

Dengan setengah mabuk, Gnome berdiri di atas meja bar sambil merampas gelas minuman di sana dan bicara tak jelas. “Waterloo, Waterloo, siapa yang ingin menjadi hero? Jadi, jangan main-main denganku.”
Seketika itu juga, dua lelaki bertubuh kekar yang sejak tadi memperhatikan kejadian itu dari ambang pintu, menyeretnya menuju lorong yang tersambung ke lantai dasar Waterloo. Dia memberontak dengan keterbatasan geraknya. Gnome pun tak sadarkan diri setelah salah satu dari mereka meninju perutnya.
Suasana bar kembali seperti semula. Lukas segera membersihkan meja yang basah dan merapikan gelas-gelas. Orang-orang di sana kembali minum dan berbincang dengan tenang seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Tidak pernah terjadi apa-apa.

***
Derap sepatu di lantai kayu terdengar pelan bersama suara debur ombak yang terhalang sebuah dinding. Suara-suara itu menyentuh telinga Gnome dengan cepat. Dia merasakan kepalanya yang sakit karena terbentur sesuatu. Dia merintih dan tetap dalam keadaan terbaring.

Dalam kesadaran yang tidak sempurna, di depannya, seorang lelaki bertubuh jangkung sedikit bungkuk sedang memperhatikannya. Nama laki-laki itu Wolfgang Fried. Di lengan kirinya tampak tato wajah Arthur Streeton dengan latar belakang seekor pari raksasa. Bau ikan di tubuhnya mulai merebak. Mengalahkan bau rum yang dibawa Gnome dari bar.

“Orang itu berani membayar mahal. Sekarang cuci mukamu dan angkat semua perkakas itu ke geladak.”
Gnome tercekat. Berusaha menahan diri setelah menyadari bahwa dia sedang berada di atas kapal barang di tengah lautan. “Apakah kapal ini sempat berlabuh di Suez Canal?”
“Ya.”

“Jam berapa sekarang?”

“Hampir pagi. Dan kau harus segera mengangkat perkakas itu. Atau hiu-hiu lapar akan mengunyahmu pelan-pelan.”
“Tidak mungkin!”

Da tak menyangka dalam waktu singkat telah berada di atas kapal di lautan luas. Dia seperti ingin muntah. Udara menjadi sangat dingin. Fried tak menghiraukannya, hanya menghela nafas agar bau lautan dapat menenangkannya. Gnome berpikir, bagaimana mungkin jarak antara Waterloo dan Suez Canal bisa dilipat seperti papan catur?
“Kau tidak tahu ya? Waterloo itu tempat yang mengerikan. Kau bisa saja berada di suatu tempat asing yang membuat kau tidak bisa pulang, jika kau berani mencari masalah di bar itu.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku pernah sepertimu!”
Tatapan mata Fried memberondongnya seperti kelompok penjahat Harrington Lane. Di lautan semacam ini, tak ada yang dapat menolong. Gnome mulai berusaha mengubur ingatannya tentang Tom. Juga tentang mantan istrinya yang penuh dengan tipu muslihat itu. Dia bergegas memindahkan tumpukan perkakas dan melupakan kejadian di bar.
“Hei anak baru! Selamat datang di bahtera Fried Si Pemburu Pari,” ujar salah seorang pekerja yang sengaja menyikutnya, saat mendapati Gnome sedang membungkus perkakas dengan hati-hati.

Matahari tampak pucat seperti masa lalu Gnome. Gerak ombak biasa-biasa saja. Teratur tetapi angkuh. Tidak tampak burung-burung berkitaran di ujung layar kapal. Hanya angin yang tiba-tiba terasa panas. Sesekali kapal berderik karena dielus ombak.

Sementara itu, Fried berulang-ulang mengetuk jari telunjuknya ke bibir kapal sambil bersandar di sana, memandang ke ujung yang jauh. Perkakas telah selesai dipindahkan. Saatnya bagi Gnome untuk beristirahat. Tetapi dia tidak melakukannya. Dia menyadari telah menumpang pada kapal yang tua dan rapuh. Sama seperti dirinya.
Dia tidak peduli lagi. Dihampirinya Fried dengan perasaan cemas. “Kita akan ke mana?”

Fried hanya membalasnya dengan amarah yang tertahan. Lalu, kembali seperti semula. Sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa perjalanan kapal ini tak akan pernah ada ujungnya tetapi dia urungkan. Begitulah Fried, penuh rahasia.

“Mana yang akan kau pilih, Gnome, kembali ke masa lalu yang pahit atau terus maju melewati lorong-lorong rahasia yang tak pernah sampai pada tujuan?”

Gnome kembali berpikir bahwa pertanyaan itu bagai bumerang. Dia tak hendak menjawab pertanyaan itu. Tubuhnya menjadi lemas sehingga kesedihan menguasainya lebih cepat dari angin laut.

Dan Fried tidak peduli apakah Gnome akan menjawab pertanyaan itu atau tidak. Dia mendengus dan membiarkan lelaki penyendiri itu menangis. Akhirnya, Fried menuntaskan pembicaraan singkat itu dengan menyulut sebatang cerutu.
Seminggu kemudian barulah Gnome menyadari bahwa kapal ini tak akan sampai kemana pun. Tak akan berlabuh di dermaga mana pun. Hanya laut luas yang membentang tak ada ujung. Dia pun mulai berpikir wajar tentang Fried setelah laki-laki jangkung itu berani bicara lebih banyak tentang masa lalunya. Sorot mata Fried mulai tampak kasar disertai lingkaran menghitam di sekitar pelipis.

Ya, Fried memiliki satu anak dari Tilly Devine, perempuan yang dicintainya. Sejak pertemuan pertama mereka yang singkat pada suatu malam di rumah pelacuran dekat pantai timur, nyaris tiap malam Fried berani bertandang ke sana. Setelah berkali-kali dia bercinta dengan Devine di tempat itu, akhirnya Fried jatuh hati kepadanya.

“Aku memintanya tinggal bersamaku. Pada mulanya dia bahagia. Tetapi, dia meninggalkanku dan kembali ke rumah itu setelah dia melahirkan seorang anak dariku. Dia berpikir membangun keluarga tak bisa menyingkirkan lakunya untuk dekat dengan banyak lelaki. Ternyata, selama kami hidup bersama, dia bercinta dengan banyak lelaki.”

Fried tersungkur di punggung tiang layar usai bercerita, “dia tidak pernah mencintaiku. Dia hanya kasihan padaku!”
Setiap orang di atas kapal membiarkan Fried yang tersungkur dan tampak menyedihkan itu sendirian. Jika pun ada yang menoleh kepadanya, mereka hanya menatap dengan cara yang sangat biasa. Kecuali Gnome yang begitu terkejut dan merasa iba kepadanya.

Dia merasa mempunyai nasib yang sama dengan Fried. Dia teringat Tom Roberts dan mantan istrinya. Perempuan itu tidak pernah mencintainya. Hal itu terlihat dari cara dia menatap Gnome. Dan cara mereka bercinta. Sampai akhirnya Tom masuk ke kehidupan mereka, menghancurkan segalanya.

Gnome merasa Fried berusaha masuk melalui lorong-lorong rahasia ke dalam kepalanya secara perlahan. Seperti halnya Waterloo dan Suez Canal yang ajaib. Dia tidak tahu hendak memercayai cerita Fried atau mengingat kembali kejadian di bar sesaat sebelum dihajar dua laki-laki. Yang jelas, dia kini berada di atas kapal yang rapuh. Terombang-ambing bersama sekawanan pekerja dan lelaki jangkung yang tersungkur di punggung tiang layar.

Setiap pagi dia hanya melihat lautan, menumpang di kapal yang rapuh, bercerita sedikit kepada pekerja dan mabuk dengan cerita-cerita Fried. Semakin lama dia semakin terbiasa mencium bau laut dan ikan ketimbang bau rum dan bar yang penuh asap rokok. Dia semakin larut dengan kegilaan yang tak wajar. Dan belajar melupakan masa lalu.
Tahun terus berlanjut. Di suatu waktu, ketika lautan mulai terasa membosankan, sekawanan burung melintasi tiang layar. Langit berwarna krim, bercampur dengan kuning pucat. Matahari tampak sedang berendam di ujung yang jauh.
“Ada daratan di depan kita!” Ujar salah satu pekerja dari menara pemantau.

Dengan malas, Fried bergegas ke haluan dan memutar kemudi kapal. “Jangan harap kita akan pulang.”
Gnome yang menyaksikan kejadian itu bergegas mendekati Fried dan berkata dengan lantang. “Keparat kau pak tua! Aku tidak ingin lautan ini menguburku pelan-pelan.”

Dia raih kemudi dengan kasar dan memutarnya secepat yang dapat dia lakukan. Mereka saling berebut kemudi. Fried lekas mendaratkan tinjunya di perut Gnome sehingga membuat lelaki penyendiri itu tersungkur di buritan. Kapal menjadi oleng, menghantam batu karang yang mencuat ke permukaan. Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu kapal karam pelan-pelan.

Sekali lagi, Fried mendaratkan tinjunya kuat-kuat. Dan hari pun berakhir dengan cepat.
Segera pandangan mata Gnome berkunang-kunang. Dia melihat Tom, dia melihat mantan istrinya, juga Lukas yang menyebalkan. Dan yang tak pernah dia lihat sekali pun adalah, bagaimana Waterloo dan Suez Canal dapat dilipat seperti papan catur. Sampai akhirnya Fried melayangkan tendangannya ke punggung Gnome, semuanya lekas menghilang.
Dan hari pun berakhir dengan cepat.

***
2011
Delvi Yandra, menulis cerpen, esai, resensi dan puisi. Sesekali menulis laporan jurnalistik dan terjemahan. Tinggal di Dumai. Saat ini bekerja di sebuah rumah makan.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/