26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Memeluk Sepi Danau Toba

Cerpen  Tova Zen

Langit yang tadinya masam dalam kelabunya mendung, tiba-tiba muntah mengeluarkan ribuan gerimis air serupa jarum yang menusuk bumi. Di tengah hujan yang kian pongah menumpahkan ribuan kubik air dalam sekali guyur, sosok gadis bertubuh mungil terus mengayuh sampan menuju tengah danau.

Tubuhnya menggigil, giginya gemelatuk, dan bulu romanya kian merinding di tusuk dingin. Tangan mungilnya menyebar jala, menangkap ikan     di tengah Toba, tapi ribuan ikan tak mau di bodohi untuk masuk dalam perangkap jalanya. Hanya teri-teri tolol yang masuk perangkap jalanya. Kali ini kerja kerasnya harus di bayar kehampaan. Seharian mengapung di tengah Toba, bahkan hingga hujan mengguyur, tangkapannya masih lah teri-teri yang meloncat-loncat di atas perahu sampannya.

Namanya Rohana. Gadis kumal berkulit langsat. Hidupnya tak lebih sebagai pesuruh yang selalu patuh. Saat tubuhnya di rejam rasa letih, Rohana terduyung-duyung mengayuh sampannya untuk menepi. Danau Toba adalah teman sejatinya, yang mendengarkan setiap keluh dan kesahnya. Saat sepi memeluk erat jiwanya, Toba datang menawarkan berjuta keindahan dalam silau biru airnya. Dengan terampil ia tarik sampannya ke darat dan ia ikat sampan itu di sebatang pohon. Pohon itu hanya mengangguk dalam hempasan angin malam serta siraman hujan, rasanya pohon itu selalu menunduk sedih melihat derita hidup Rohana. Kadang pohon itu menangis dengan rontok daun yang berguguran, saat Rohana bersandar di batangnya yang kokoh sambil berleleran air mata.

Malam ini sang pohon berharap Rohana tak lagi menangis, agar daun-daunnya tak jatuh dan membuatnya gundul. Bagaimana bisa sang pohon tak di rundung sedih, saat melihat sepasang mata bocah kecil yang berkaca-kaca pilu, lalu serpihan kaca yang keluar dari pelupuk mata bocah itu menggelinding dan pecah bercipratan di akar-akarnya. Kadang Rohana menangis menggerung-gerung sambil memeluk batangnya. Anak kecil yang malang dan sebatang kara. Saking malangnya, pohon itu pun rela menjadi ibu bisu baginya. Di danau itu lah Rohana memeluk sepi, bercengkrama dalam riak airnya, dan bergelut dalam gelombang teduh arusnya.

Langit masih murka, bahkan kemurkaannya semakin menjadi-jadi dengan melontarkan umpatan petir yang berteriak keras membelah malam dalam dentum keras guruhnya. Kian terseok-seok tubuh Rohana yang terus menggigil kedinginan. Langkahnya terseret-seret dalam becek tanah Samosir. Tangan kanannya menggenggam gagang ember yang berisi ikan kecil hasil tangkapannya.  Langkah Rohana terhenti di depan pintu. Ya, itu adalah rumah majikan Rohana. Majikan yang merasa punya hak memperbudak Rohana, kerena sejak orok dia lah yang memberikan suapan nasi pada Rohana. Pak Rojaya namanya. Seorang pemalas yang hanya mengandalkan perasan keringat dari anak buahnya dan Rohana merupakan salah satu anak buahnya. Dalam guyuran hujan yang tak henti menderas, tangan kecil Rohana mengetuk pintu kayu. Ingin rasanya ia segera meringkuk dalam kehangatan kamar.
Pak Rojaya muncul, badannya yang tinggi besar seperti raksasa yang siap menelan hidup-hidup tubuh mungil Rohana. Kumis tebalnya ia plintir, dan matanya menyipit tajam memandang isi ember yang di bawa Rohana dengan tangan gemetar di gigil rasa dingin. “Plakk”. Sekali tampar langsung membuat tubuh Rohana terlempar jatuh ke tanah becek. Tubuhnya kian kotor seperti kerbau yang berkubang di becek lumpur. Ember dalam ganggaman tumpah,  di sambung langkah pak Rojaya yang menendang ember hingga melayang di tengah hujan. “Brakk”. Ikan kecil yang dikumpulkan dengan tetes keringat berjingkrat-jingkrat di becek lumpur.

“Kemana saja kau seharian ini Rohana, ha! Aku menyuruhmu mencari ikan tawes, mujair, gurameh. Eh! Kau malah mencari kecil ini. Tak punya otak kau bocah! Kalau saja istriku tak memungut kau yang digenangkan di tengah Toba saat kau orok dulu. Mana sudi aku rawat kau, jijik aku liat kau itu. Paling-paling kau anak jadah, yang di buang ibu kau yang selingkuh dengan manusia setan! Anak setan kau! Pergi sana! Jangan masuk ke rumahku”. Perkataan Rojaya sangat kasar, melebihi umpatan preman pasar. Bahkan di telinga Rohana, suara keras pak Rojaya lebih keras dari pada guruh. Sungguh suara pak Rojaya bukan hanya kasar, tapi tajam dan mengiris-iris hati kecil Rohana.

Andai saja istri Rojaya masih hidup, mungkin Rohana akan mendapatkan perlindungan darinya. “Oh, ibu! Aku kangen sekali padamu bu”, pekik Rohana lirih saat bangkit dari becek tanah. Namanya ibu Tukena, istri pak Rojaya yang telah memungut tubuh bayi Rohana  dari dalam kardus yang digenangkan di tengah Toba. Rasa sayang Tukena pada bayi yang di pungutnya dari Toba, sungguh amatlah besar. Bahkan nama Rohana di ambil dari nama yang mirip sekali dengan suaminya, Rojaya. Saat Rohana berumur dua tahun, ibu Tukena melahirkan anak pertama yang mengakhiri hidupnya dalam persalinan. Pak Rojaya merasa ini adalah kutukan yang dihantamkan padanya. Pak Rojaya merasa anak yang di pungut istrinya pembawa sial, dan sejak itu rasa sayang pak Rojaya pada Rohana berubah murka.

Rohana tahu bahwa dirinya lahir dari Toba. Bu Tukena sering bercerita tentang asal-usul Rohana dan secara jujur bu Tukena mengatakan pada Rohana bahwa dirinya bukan ibu kandungnya, tapi kasih sayangnya menyamai ibu kandung. Tukena bercerita merdu pada tubuh mungil Rohana yang mulai bisa berceloteh kala itu, bahwa Rohana anak Toba. Sejak saat itu Rohana yang baru bisa berjalan mulai memahami kiasan dirinya yang berinduk ke Toba. Dalam kesepian hati dan kepiluan jiwa, danau Toba selalu bisa memeluknya hangat, seperti ibu Tukena yang dulu pernah menimangnya dalam gendongan. “Anakku sayang,  anakku riang, tidurlah sayang, tidur dalam pelukan ibu Toba…..”.

“Braak!!”, pintu rumah di tutup rapat. Rohana bangkit berdiri, guruh kian bergelegar dan rasanya ia ingin sekali tersambar. Merasa hidupnya tiada arti lagi untuk bertahan. Tidak! Rohana selalu bisa menguatkan perasaannya. Bocah cilik itu punya seribu cita untuk      di perjuangkan. Mengubah nasib yang tak pernah berbelas kasih padanya. Mengharap iba yang tak pernah mempedulikannya. Kini ia makin terlena dalam duka. Rindu memilin jiwanya, ia pun mendongak ke langit. Memandang muram langit masam yang masih muntah. Kini ia menangis dan langit pun serasa ikut menangis dalam derai derasnya hujan.

Kepada siapa lagi ia ingin berpulang selain kepelukan ibu. Ibunya menunggu untuk memeluknya. Rohana pun mulai melangkah dengan menyeret kaki-kakinya, menuju ibu Toba yang sudi memeluknya dalam sepi. Kakinya menginjak-injak tanah becek, tangan kanannya memegang pipinya yang masih terasa panas menjalar kulit muka. Leleran air mata kian derasnya, bercampur dengan guyuran hujan yang membuat basah kuyub tubuhnya. Rohana masih berjalan menuju pohon di tepi danau toba. Kali ini pun ia ingin menangis di keheningan malam, dan akan merasa nyaman saat riak air Toba menjilat kakinya.

Sesampainya di pohon besar itu, Rohana duduk di akar-akar yang telah lama menyembul ke permukaan tanah. Sang pohon tahu, kali ini ia akan melindungi si bocah dalam keteduhan dedaunannya yang rimbun. Rohana tidur meringkuk di cekungan akar pohon, menangis sesegukan sambil memeluk erat kaki-kakinya. Sampan yang ia ikatkan pada pohon kini berisi penuh air hujan. Andaikan tak hujan, pastilah Rohana mengayuh sampannya untuk datang ke pelukan ibu Tobanya itu. Malang, malam ini hujan begitu deras, ia pun harus dipeluk sepi dalam dinginnya hujan, dan dinyanyikan lagu sebelum tidur oleh gelegar langit.

“Kak…kak Rohana”, suara samar membuat Rohana membuka kelopak matanya. Dalam samar di kegelapan malam ia melihat bocah cilik berpayung di tengah hujan tak jauh dari tempatnya meringkuk. Bocah cilik itu menenteng plastik di tangan kirinya.

“Kak, ini aku bawakan makanan untuk kau”. Suara polos bocah itu menyejukkan hati Rohana. Barulah ia tahu, bahwa sosok kecil yang datang menghampirinya adalah Rohman, adiknya dari rahim ibu Tukena.

Mata Rohana berbinar melihat kepolosan sang adik terhadapnya. Rohman masih kecil, tapi seperti tahu belas kasih ketimbang Rojaya yang tua bangkotan yang tak mengenal rasa kasih.

Rohman membuka bungkusan plastik yang berisi segenggam nasi dan seongok ikan asin. Dengan lahap Rohana melalap habis makanan yang tak seberapa itu. Rohman tersenyum simpul melihat rona kebahagiaan di wajah kakaknya.

“Kak, besok aku ikut kau ya ke Toba. Aku ingin menjala ikan kayak kau”. Rohana menatap polos wajah Rohman. Mulutnya masih berjubal nasi yang ganas ia kunyah.

“Jangan dik, nanti ayah kau itu marah lagi sama kakak”. Rohana mulai mengusap rambut adiknya dengan sayang.
“Tapi kak, aku ingin seperti kau yang gigih menjala ikan. Aku ingin mendayung    di tengah Toba kak”.
“Rohman, adikku. Kakak masih punya tujuan hidup yang mesti kakak perjuangkan. Kakak terlalu sedih di sini dan Toba selalu mendamaikan hati kakakmu ini. Mungkin kakak harus pergi merantau ke Medan”.

“Kakak mau pergi dari rumah bapak ya? Lalu siapa yang mau Rohman ajak main kak. Aku tak suka bapak. Kadang mabuknya sering kumat dan aku sering digampar juga kak”.
Rohana memeluk Rohman dengan sayang. “Dik, kakak mengerti. Pak Rojaya masih sayang padamu dik, kau anak kandungnya. Beda denganku yang hanya anak Toba. Kau akan baik-baik saja bersama ayahmu itu”.
“Kakak mau pergi ya?”. Rohana mengangguk.
“Kakak sayang kau, dik. Kakak akan kembali membawa jajan dan mainan untuk kau. Kakak juga akan sering-sering menjenguk kau, dan kita bercengkrama lagi di tepi danau Toba ini”.
Rohman menatap wajah kakaknya yang berkaca-kaca. Tiba-tiba tangan mungil Rohman mengusap air mata Rohana. “Kakak jangan menangis lagi ya”.
Lagi-lagi Rohana hanya mengangguk. Ternyata di dunia ini masih ada orang yang menyayanginya, selain ibu Toba dan pohon tua ini. Rohman berdiri dan melangkah pergi dengan berpayung. Kecipak-kecipuk bunyi becek tanah yang di pijak kaki kecil Rohman.
Rohman menoleh ke arah Rohana, dan tangan kecilnya melambai ke Rohana.    Lagi-lagi Rohana menangis, kali ini ia menangis haru dengan perhatian yang polos dan begitu tulus dari seorang bocah kecil macam Rohman.
Keesokan paginya, langkah kecil mendatangi pohon tua di pinggir Toba. Sinar pagi menerawang menembus dedaunan pohon. Mata kecilnya terpanah rindu saat menatap kosong sampan yang terikat di pohon. Bocah kecil itu tak lain adalah Rohman yang menunggu setiap fajar dengan duduk di sampan Rohana. Berharap kakaknya datang kembali padanya. Kakaknya yang penuh sayang terhadapnya, kakaknya yang menjadi teman bermainnya, dan kakaknya  malang yang selalu memeluk sepi danau Toba.(*)

 

Cerpen  Tova Zen

Langit yang tadinya masam dalam kelabunya mendung, tiba-tiba muntah mengeluarkan ribuan gerimis air serupa jarum yang menusuk bumi. Di tengah hujan yang kian pongah menumpahkan ribuan kubik air dalam sekali guyur, sosok gadis bertubuh mungil terus mengayuh sampan menuju tengah danau.

Tubuhnya menggigil, giginya gemelatuk, dan bulu romanya kian merinding di tusuk dingin. Tangan mungilnya menyebar jala, menangkap ikan     di tengah Toba, tapi ribuan ikan tak mau di bodohi untuk masuk dalam perangkap jalanya. Hanya teri-teri tolol yang masuk perangkap jalanya. Kali ini kerja kerasnya harus di bayar kehampaan. Seharian mengapung di tengah Toba, bahkan hingga hujan mengguyur, tangkapannya masih lah teri-teri yang meloncat-loncat di atas perahu sampannya.

Namanya Rohana. Gadis kumal berkulit langsat. Hidupnya tak lebih sebagai pesuruh yang selalu patuh. Saat tubuhnya di rejam rasa letih, Rohana terduyung-duyung mengayuh sampannya untuk menepi. Danau Toba adalah teman sejatinya, yang mendengarkan setiap keluh dan kesahnya. Saat sepi memeluk erat jiwanya, Toba datang menawarkan berjuta keindahan dalam silau biru airnya. Dengan terampil ia tarik sampannya ke darat dan ia ikat sampan itu di sebatang pohon. Pohon itu hanya mengangguk dalam hempasan angin malam serta siraman hujan, rasanya pohon itu selalu menunduk sedih melihat derita hidup Rohana. Kadang pohon itu menangis dengan rontok daun yang berguguran, saat Rohana bersandar di batangnya yang kokoh sambil berleleran air mata.

Malam ini sang pohon berharap Rohana tak lagi menangis, agar daun-daunnya tak jatuh dan membuatnya gundul. Bagaimana bisa sang pohon tak di rundung sedih, saat melihat sepasang mata bocah kecil yang berkaca-kaca pilu, lalu serpihan kaca yang keluar dari pelupuk mata bocah itu menggelinding dan pecah bercipratan di akar-akarnya. Kadang Rohana menangis menggerung-gerung sambil memeluk batangnya. Anak kecil yang malang dan sebatang kara. Saking malangnya, pohon itu pun rela menjadi ibu bisu baginya. Di danau itu lah Rohana memeluk sepi, bercengkrama dalam riak airnya, dan bergelut dalam gelombang teduh arusnya.

Langit masih murka, bahkan kemurkaannya semakin menjadi-jadi dengan melontarkan umpatan petir yang berteriak keras membelah malam dalam dentum keras guruhnya. Kian terseok-seok tubuh Rohana yang terus menggigil kedinginan. Langkahnya terseret-seret dalam becek tanah Samosir. Tangan kanannya menggenggam gagang ember yang berisi ikan kecil hasil tangkapannya.  Langkah Rohana terhenti di depan pintu. Ya, itu adalah rumah majikan Rohana. Majikan yang merasa punya hak memperbudak Rohana, kerena sejak orok dia lah yang memberikan suapan nasi pada Rohana. Pak Rojaya namanya. Seorang pemalas yang hanya mengandalkan perasan keringat dari anak buahnya dan Rohana merupakan salah satu anak buahnya. Dalam guyuran hujan yang tak henti menderas, tangan kecil Rohana mengetuk pintu kayu. Ingin rasanya ia segera meringkuk dalam kehangatan kamar.
Pak Rojaya muncul, badannya yang tinggi besar seperti raksasa yang siap menelan hidup-hidup tubuh mungil Rohana. Kumis tebalnya ia plintir, dan matanya menyipit tajam memandang isi ember yang di bawa Rohana dengan tangan gemetar di gigil rasa dingin. “Plakk”. Sekali tampar langsung membuat tubuh Rohana terlempar jatuh ke tanah becek. Tubuhnya kian kotor seperti kerbau yang berkubang di becek lumpur. Ember dalam ganggaman tumpah,  di sambung langkah pak Rojaya yang menendang ember hingga melayang di tengah hujan. “Brakk”. Ikan kecil yang dikumpulkan dengan tetes keringat berjingkrat-jingkrat di becek lumpur.

“Kemana saja kau seharian ini Rohana, ha! Aku menyuruhmu mencari ikan tawes, mujair, gurameh. Eh! Kau malah mencari kecil ini. Tak punya otak kau bocah! Kalau saja istriku tak memungut kau yang digenangkan di tengah Toba saat kau orok dulu. Mana sudi aku rawat kau, jijik aku liat kau itu. Paling-paling kau anak jadah, yang di buang ibu kau yang selingkuh dengan manusia setan! Anak setan kau! Pergi sana! Jangan masuk ke rumahku”. Perkataan Rojaya sangat kasar, melebihi umpatan preman pasar. Bahkan di telinga Rohana, suara keras pak Rojaya lebih keras dari pada guruh. Sungguh suara pak Rojaya bukan hanya kasar, tapi tajam dan mengiris-iris hati kecil Rohana.

Andai saja istri Rojaya masih hidup, mungkin Rohana akan mendapatkan perlindungan darinya. “Oh, ibu! Aku kangen sekali padamu bu”, pekik Rohana lirih saat bangkit dari becek tanah. Namanya ibu Tukena, istri pak Rojaya yang telah memungut tubuh bayi Rohana  dari dalam kardus yang digenangkan di tengah Toba. Rasa sayang Tukena pada bayi yang di pungutnya dari Toba, sungguh amatlah besar. Bahkan nama Rohana di ambil dari nama yang mirip sekali dengan suaminya, Rojaya. Saat Rohana berumur dua tahun, ibu Tukena melahirkan anak pertama yang mengakhiri hidupnya dalam persalinan. Pak Rojaya merasa ini adalah kutukan yang dihantamkan padanya. Pak Rojaya merasa anak yang di pungut istrinya pembawa sial, dan sejak itu rasa sayang pak Rojaya pada Rohana berubah murka.

Rohana tahu bahwa dirinya lahir dari Toba. Bu Tukena sering bercerita tentang asal-usul Rohana dan secara jujur bu Tukena mengatakan pada Rohana bahwa dirinya bukan ibu kandungnya, tapi kasih sayangnya menyamai ibu kandung. Tukena bercerita merdu pada tubuh mungil Rohana yang mulai bisa berceloteh kala itu, bahwa Rohana anak Toba. Sejak saat itu Rohana yang baru bisa berjalan mulai memahami kiasan dirinya yang berinduk ke Toba. Dalam kesepian hati dan kepiluan jiwa, danau Toba selalu bisa memeluknya hangat, seperti ibu Tukena yang dulu pernah menimangnya dalam gendongan. “Anakku sayang,  anakku riang, tidurlah sayang, tidur dalam pelukan ibu Toba…..”.

“Braak!!”, pintu rumah di tutup rapat. Rohana bangkit berdiri, guruh kian bergelegar dan rasanya ia ingin sekali tersambar. Merasa hidupnya tiada arti lagi untuk bertahan. Tidak! Rohana selalu bisa menguatkan perasaannya. Bocah cilik itu punya seribu cita untuk      di perjuangkan. Mengubah nasib yang tak pernah berbelas kasih padanya. Mengharap iba yang tak pernah mempedulikannya. Kini ia makin terlena dalam duka. Rindu memilin jiwanya, ia pun mendongak ke langit. Memandang muram langit masam yang masih muntah. Kini ia menangis dan langit pun serasa ikut menangis dalam derai derasnya hujan.

Kepada siapa lagi ia ingin berpulang selain kepelukan ibu. Ibunya menunggu untuk memeluknya. Rohana pun mulai melangkah dengan menyeret kaki-kakinya, menuju ibu Toba yang sudi memeluknya dalam sepi. Kakinya menginjak-injak tanah becek, tangan kanannya memegang pipinya yang masih terasa panas menjalar kulit muka. Leleran air mata kian derasnya, bercampur dengan guyuran hujan yang membuat basah kuyub tubuhnya. Rohana masih berjalan menuju pohon di tepi danau toba. Kali ini pun ia ingin menangis di keheningan malam, dan akan merasa nyaman saat riak air Toba menjilat kakinya.

Sesampainya di pohon besar itu, Rohana duduk di akar-akar yang telah lama menyembul ke permukaan tanah. Sang pohon tahu, kali ini ia akan melindungi si bocah dalam keteduhan dedaunannya yang rimbun. Rohana tidur meringkuk di cekungan akar pohon, menangis sesegukan sambil memeluk erat kaki-kakinya. Sampan yang ia ikatkan pada pohon kini berisi penuh air hujan. Andaikan tak hujan, pastilah Rohana mengayuh sampannya untuk datang ke pelukan ibu Tobanya itu. Malang, malam ini hujan begitu deras, ia pun harus dipeluk sepi dalam dinginnya hujan, dan dinyanyikan lagu sebelum tidur oleh gelegar langit.

“Kak…kak Rohana”, suara samar membuat Rohana membuka kelopak matanya. Dalam samar di kegelapan malam ia melihat bocah cilik berpayung di tengah hujan tak jauh dari tempatnya meringkuk. Bocah cilik itu menenteng plastik di tangan kirinya.

“Kak, ini aku bawakan makanan untuk kau”. Suara polos bocah itu menyejukkan hati Rohana. Barulah ia tahu, bahwa sosok kecil yang datang menghampirinya adalah Rohman, adiknya dari rahim ibu Tukena.

Mata Rohana berbinar melihat kepolosan sang adik terhadapnya. Rohman masih kecil, tapi seperti tahu belas kasih ketimbang Rojaya yang tua bangkotan yang tak mengenal rasa kasih.

Rohman membuka bungkusan plastik yang berisi segenggam nasi dan seongok ikan asin. Dengan lahap Rohana melalap habis makanan yang tak seberapa itu. Rohman tersenyum simpul melihat rona kebahagiaan di wajah kakaknya.

“Kak, besok aku ikut kau ya ke Toba. Aku ingin menjala ikan kayak kau”. Rohana menatap polos wajah Rohman. Mulutnya masih berjubal nasi yang ganas ia kunyah.

“Jangan dik, nanti ayah kau itu marah lagi sama kakak”. Rohana mulai mengusap rambut adiknya dengan sayang.
“Tapi kak, aku ingin seperti kau yang gigih menjala ikan. Aku ingin mendayung    di tengah Toba kak”.
“Rohman, adikku. Kakak masih punya tujuan hidup yang mesti kakak perjuangkan. Kakak terlalu sedih di sini dan Toba selalu mendamaikan hati kakakmu ini. Mungkin kakak harus pergi merantau ke Medan”.

“Kakak mau pergi dari rumah bapak ya? Lalu siapa yang mau Rohman ajak main kak. Aku tak suka bapak. Kadang mabuknya sering kumat dan aku sering digampar juga kak”.
Rohana memeluk Rohman dengan sayang. “Dik, kakak mengerti. Pak Rojaya masih sayang padamu dik, kau anak kandungnya. Beda denganku yang hanya anak Toba. Kau akan baik-baik saja bersama ayahmu itu”.
“Kakak mau pergi ya?”. Rohana mengangguk.
“Kakak sayang kau, dik. Kakak akan kembali membawa jajan dan mainan untuk kau. Kakak juga akan sering-sering menjenguk kau, dan kita bercengkrama lagi di tepi danau Toba ini”.
Rohman menatap wajah kakaknya yang berkaca-kaca. Tiba-tiba tangan mungil Rohman mengusap air mata Rohana. “Kakak jangan menangis lagi ya”.
Lagi-lagi Rohana hanya mengangguk. Ternyata di dunia ini masih ada orang yang menyayanginya, selain ibu Toba dan pohon tua ini. Rohman berdiri dan melangkah pergi dengan berpayung. Kecipak-kecipuk bunyi becek tanah yang di pijak kaki kecil Rohman.
Rohman menoleh ke arah Rohana, dan tangan kecilnya melambai ke Rohana.    Lagi-lagi Rohana menangis, kali ini ia menangis haru dengan perhatian yang polos dan begitu tulus dari seorang bocah kecil macam Rohman.
Keesokan paginya, langkah kecil mendatangi pohon tua di pinggir Toba. Sinar pagi menerawang menembus dedaunan pohon. Mata kecilnya terpanah rindu saat menatap kosong sampan yang terikat di pohon. Bocah kecil itu tak lain adalah Rohman yang menunggu setiap fajar dengan duduk di sampan Rohana. Berharap kakaknya datang kembali padanya. Kakaknya yang penuh sayang terhadapnya, kakaknya yang menjadi teman bermainnya, dan kakaknya  malang yang selalu memeluk sepi danau Toba.(*)

 

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/