30.6 C
Medan
Thursday, May 23, 2024

Serbung 1

Cerpen  Mawaidi D. Mas

Tentu saja, sekarang merupakan hari yang sial bagi Rohim. Sepekan sudah sampannya tak beruntung. Sedang sampan yang lain, seperti milik Agus, Rapi’e dan Rusdi selalu mujur. Dibuktikan kemarin saja sampan Rapi’e dan lainnya itu memperoleh sekuintal ikan teri. Itu bersihnya, lain dengan kepiting, serajut cumi-cumi, bangkotak dan kendui.

Murung muka Rohim. Dia yang hanya pengemudi sampan milik Jusup merasa tak enak hati. Tidak seperti biasanya sampan yang mempunyai julukan si Jalur itu seperti menewaskan diri dari rezeki laut. Sebab, pengeluaran dari juragan Jusup akan semakin bertambah, pengeluaran untuk solar tak keruan. Bayangkan, untuk menempuh perjalanan ke Sepudi dari Dungkek membutuhkan 14 liter solar. Harga solar per liter Rp5000,  itu berangkatnya, masih belum mereka pulangnya dari Sepudi. Tentunya akan berlipat ganda solar dari yang dianggarkan.

Sesampan, memuat lima orang sekawan, di antaranya Mat Sipul, Lakena Tus, Imam, Habi dan Rohim sendiri. Kali ini mereka sudah pulang dari tempat perantauan. Hasil yang diperoleh cuma 14 kilo. Yang lain sudah di tepian menuju rumah juragan Jusup, sedang Rohim masih mengemas segala perabot sampan yang tercecer. Ember dan co­kanco2 di taruh dalam eddikan3. Lalu, dia turun ke air, mengulur temali dan melabuhkan jangkar belakang. Menurut cerita laut, memasang jangkar depan dan jangkar belakang memastikan keselamatan sampan. Agar malam nanti ombak tak mengombang-ambingkan.
Rohim sudah di daratan berkumpul bersama rekan sesampan. Hasil penjualan hari ini diberikan kepada juragan Jusup. Kemudian, hasil penjualan itu dibagi-bagikan sesuai kesepakatan.

Rohim menyeduh kopi hangat di depannya. Bibir hitamnya bergetar karena kopi itu masih panas. Lalu, mewakili dari keempat rekannya dia berkata pada juragan Jusup seputar keluh hatinya yang menyerupai keluh ombak.

“Yang Kuasa sedang memberikan nasib pada kita. Saya sudah berusaha mencari tahu arah angin di pananggalan4 tentang ikan-ikan yang bersarang di minggu yang pahing ini.”

“Iya, begitulah nasib kehidupan orang melaut. Butuh perjuangan yang besar dan ketabahan. Hidup itu tak ubahnya air laut; ada surut dan pasang. Yang dua ini pasti saling mewarnai kehidupan. Orang tak kan merasakan enak jika tak pernah merasakan pahit. Begitu pula dengan kita, hidup perlu tata susun waktu yang tepat. Saling bergilir dan mengalir seperti gulungan ombak.” Juragan Jusup mengambil rokok. Api kecil membakar sebatang rokoknya. Asap meliuk lalu hilang ikut angin.

Seusai juragan Jusup membagi uang hasil sampan, Lakena Tus dan Imam pulang. Tinggal Mat Sipul dan Habi menunggu Rohim yang sedang berbincang-bincang kecil dengan juragan.

Siang menjelang sore itu laut mulai tenang. Ombak surut pada waktunya sehingga angin ceddu5. Sampan-sampan yang merantau pulang ke kampung halaman. Ada sampan yang merantau ke Gili Iyang, ke Sepudi dan ke Masa Lembu. Sebab, di laut Dungkek sendiri sudah tidak ada jejak-jejak ikan yang biasa ditangkap nelayan. Kalau ada hanya bagi orang-orang yang mancing yang berkedapatan.

Suasana sore meredupkan segala yang siang. Rohim sudah pulang. Mat Sipul dan Habi juga pulang. Rumah ketiga rekan sesampan itu tak terlalu jauh dibanding rumah Imam dan Lakena Tus. Rohim, setelah menghilangkan kerinduan pada bini dan anaknya memulai ajuman6 di amper7. Ayam-ayam berkotak turun dari patarangan8. Biasanya, itu pertanda ayam sudah bertelur. Sapi-sapi yang digembala di tegal masuk ke kandang. Rohim menyudahi ajumannya. Sore nyaris malam. Rohim maenom9 sapi.

Hari di Kampung Pesisir sudah malam. Senja di barat mengecil lalu hilang. Warna kuning emas juga berlalu. Dari timur bulan muncul dibalik pohon nyiur. Namun, malam tak menggelapkan tanah berpasir putih itu. Bila malam, tanah berpasir putih itu bersinar seperti kunang-kunang. Benih-benih pasir indah dipandang. Bulan terang. Pada saat itu merupakan waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Rohim dan istrinya ngobrol berdua di atas lincak amper rumahnya. Anaknya rebah dipangkuan Rohim. Dalam hati anaknya yang masih berumur 3 tahun itu, ia kangen pada ayahnya. Betapa tidak, ayahnya seringkali berangkat melaut sebulan sekali baru pulang.

Rum, bini Rohim menuturkan segala isi hatinya pada suaminya itu. Mulai dari hubungannya dengan Rohim yang tak mau jarak memisahkan, mengurusi Gigik, anaknya, dan segala urusan dapur yang saat ini mahal. Sedang pendapatan kian surut. Begitulah hidup orang bawah, penuh dengan oretan-oretan kenangan. Kenangan kelaparan, hidup yang melarat, senyum keberuntungan. Andai saja mereka tak sabar dan tak mau mensyukuri semua itu, mereka sudah tidak ada di Kampung Pesisir ini.

Tetangga-tetangga satu persatu mulai lenyap pindah ke kota, ke Banyuwangi, ke Bali dan ada yang ke Malaysia. Sebab, muasal mereka pindah ke sana disebabkan tergerusnya keyakinan bahwa laut adalah tempat mencari rezeki yang menyimpan manfaat besar. Namun, bagi Rohim, ia tak perlu menghindari segala kekurangan dan segala tetek bengek berkehidupan di Kampung Pesisir. Ia sudah punya Tuhan sang Pemilik Laut.

Dul Aji, rekan melaut yang sesampan dengan Rohim, tiga bulan yang lalu, pindah ke Banyuwangi. Terdengar kabar, dia sudah membuka toko dan berjualan alat-alat rumah tangga. Menarik sekali, gumam Rohim. Tentunya kehidupannya sekarang tidak lagi berkawan dengan panasnya matahari. Mukanya pasti bersinar cerah, tidak suram seperti muka Rohim sendiri. Apa boleh buat, hidup itu pilihan. Setiap pilihan adalah tanggung jawab. Dalam hati Rohim, laut baginya adalah kasur hidup untuk menemukan kenikmatan yang hakiki untuk membahagiakan Rum.

Hari sudah malam. Bincang-bincang di setiap rumah ditunda ke esok. Rohim dan Rum berpelukan malam itu, melepas rindu yang kian kental. Sedang Gigik sudah tidur.
***
Pagi-pagi, Rohim kedatangan Bahri. Ia mengutarakan maksudnya untuk meminjam uang. Bahri sekarang punya tengka10 kepada Rapi’e. Dua hari lagi dia akan menggelar gabay11. Bahri sudah setahun yang lalu menggelar gabay. Dan tengka pengembalian tetap berjalan sesuai data buku catatan miliknya.
Pengaduan itu diterima dengan ramah oleh Rohim. Ia juga meminta maaf atas ketidaksanggupannya membantu tengka Bahri.

“Benar, Lek. Aku pulang dari Sepudi tidak membawa uang banyak. Sesampan rata-rata dapat bagian empat puluh ribuan. Dan di sini, Rum sudah menggunakan uang itu untuk membayar utang selama aku tinggal pergi merantau.” Rohim menjulurkan rokok sigaret kretek di depan Bahri. Mereka berhadapan duduk di atas lincak. Ruang tamu yang berukuran kecil di rumah Rohim hanya cukup memuat lincak sebagai tempat berkunjung tamu. Kursi tidak terlalu dibutuhkan bagi Rohim, karena rumahnya terlalu sempit.

“Kepada siapa lagi aku pinjam uang kalau tidak sama kamu?” Bahri memaksa.

“Aku harus jujur bagaimana sama kamu, Lek. Benar-benar aku sekarang tidak memegang uang banyak. Untuk makan seminggu saja aku harus melirik ayam ternakku,” begitu bijak Rohim.

Bahri tertawa. Tampaknya dia merasa dibohongi oleh Rohim. Bahri yang sudah kebingungan mencari pinjaman uang itu tak sabar menerima apapun yang sedang menimpa dirinya. Seolah ia akan dikecam sebagai laki-laki tak bertanggung jawab dalam keluarga.

“Kalau begitu, bagaimana kalau sapimu dijual? Aku terdesak sekarang. Aku akan menggantinya tak kan lama,” kata Bahri dengan wajah agak serius.
“Duh, aku tidak sanggup jika harus mengeluarkan sapiku dari kandang. Bulan depan sapi itu sudah kuniatkan untuk disembelih di hari ke seratus mertuaku. Maaf, Lek. Aku minta maaf, semoga sampean menemukan rezeki yang lain.”

Rohim tak enak hati pada Bahri. Walau begitu ia harus jujur, sapinya itu akan disembelih di hari ke seratus dari kematian ibunya Rum. Dan Rohim tahu bagaimana sifat Bahri ketika mempunyai utang. Janji sekan menjadi barang jualan yang cepat basi di mulutnya.

Bahri pamit pulang. Bajunya berkibar ketika angin dari arah laut menerpa. Tanah berpasir putih pagi-pagi sudah dirasakan panas oleh Bahri. Ia membawa wajah sengit setelah hilang dari pandangan Rohim. Hatinya mengumpat pada Rohim, bahwa ia kelak juga tak kan pernah meminjamkan uang miliknya.
Di jalan mulutnya terus meletupkan sumpah serapah. Sesekali menoleh ke belakang ke arah rumah Rohim yang berada di ujung jalan. Bahri pulang lewat bibir pantai menuju rumahnya.

Rohim tidak mengatakan hal itu pada Rum. Sebab, perempuan terlalu mudah mengumbarkan ke orang lain jika menemukan berita asyik untuk digunjingkan. Sebenarnya, Rum bukan perempuan seperti itu. Tapi, menjaga kemungkinan sebab itu pula adalah urusan laki-laki.
***
Ada kabar yang tak mengenakkan. Setelah berlangsungnya gabay di rumah Rapi’e, Bahri didatangi keluarga Rapi’e dengan membawa sepotong kuping sapi yang sudah disembelih. Bahri tidak mempunyai muka dihadapan orang-orang. Sepotong kuping sapi itu menyimbolkan sebuah utang yang tak terbayarkan sesuai waktunya. Yang mempedihkan lagi, Bahri tidak usah mengembalikan tengka itu. Sebentuk ucapan yang menyinggung bagi Bahri, perkataan seperti itu menandakan bahwa Bahri selamanya tak kan bisa melunasi utang itu.

Bahri terpuruk. Kerap kali ia marah-marah pada bininya. Semua yang dilihatnya merasa menjijikkan. Tak lupa pada Rohim. Dirinya yang mendera kacau itu tak lepas dari kepelitan Rohim untuk meminjamkan uang. Di mata Bahri, segala apa pun pada diri Rohim adalah jelek. Begitulah ketika orang sudah tak kontrol emosi. Segala yang dipandang bukan cerminan.
***
Sehari sebelum keberangkatan sampannya, Rohim sudah menyiapkan bekal untuk dijadikan sangu. Begitulah peran seorang kemudi sampan. Pagi itu, Rohim menjenguk sampannya. Ia hendak menguras air dan membereskan keperluan seperti menaburkan bunga-bunga ke sampan. Di tengah laut, setelah ia naik ke atas sampan, matanya berkaca-kaca dengan dada yang berdegup panik. Sampan yang mempunyai julukan si jalur itu mesinnya lenyap. Jurung12nya terkoyak-koyak bersalbutan. Eddikan sampan kocar-kacir. Rohim tergagap ngomong. Ia melolong ke tepian yang jauh. Suaranya yang dipaksa memantul-mantul. Tangannya dikibas-kibaskan.

Ia merasa bersalah pada juragan Jusup yang telah mempercayainya, pada bininya yang berjanji sewaktu bincang-bincang di atas ranjang akan pulang membawa udang. Itulah permintaan Gigik ketika Rum yang menyampaikan.

Rohim diam di atas sampan. Menatap kelenjar laut pada ombak yang berkejaran. Mukanya yang suram makin petang. Seluruh kekuatan di tubuhnya seolah tercerabut dengan kecerobohan sendiri. Hidungnya merasakan sesuatu. Tercium busuk bangkai yang tiba-tiba mengusik. Matanya mencari di mana arah bangkai itu berada. Hidungnya di dengus-denguskan seperti kucing. Matanya tertuju ke atas tiang sampan, bangkai yang dibungkus plastik hitam tergantung di sana. Segera Rohim mengambil bungkusan itu dengan hidung ditutup. Perlahan ia membuka dengan jijik dan ngeri. Dan tahulah, sepotong kuping sapi berulat tergolek dan makin menyeruap baunya.
Dahi Rohim merut. Tebersit Bahri di kelopak matanya yang merah.

Siang mulai ngambang. Dengan tubuh yang masih bergetar, matanya menyapu seisi sampan yang tak karuan. Rohim membongkar eddikan. Kepalanya masuk sedikit ke dalam, lalu keluar. Rohim mendesah, serbung yang dia cari ternyata ditemukan di bagian belakang sampan. Rohim mengambilnya. Ia menghadap ke daratan dengan berdiri. Di tangannya serbung sudah siap ditiup. Mulutnya menyepah lubang serbung dan memejamkan mata.
“Wuuung….” Sebuah hasil bunyi yang baik. Serbung memantul.

“Wuuung….” Bunyi serbung kembali menggaung. Di daratan seolah ada yang meniru-niru bunyi itu. Gemerisik angin beku sejenak. Ombak makin tenang. Anak-anak bangau tercengang, lalu berlarian.

Dalam satu letupan, bunyi serbung menghasilkan tiga kali gaungan. Namun, itu tak semuanya begitu, masih ada serbung yang lebih kecil dan setiap letupan menghasilkan satu kali gaungan saja.

Orang-orang menyembul satu-satu di daratan dan tampak di mata Rohim. Ada yang melambaikan tangan, ada yang berteriak mengolok namanya. Di antara orang-orang itu, tampak Juragan Jusup dengan kopiah hitam memakukan tubuhnya di tepian. Rohim bergegas pulang ke daratan. (*)
Yogyakarta, 2012

Footnotes

  1.  Serbung adalah keong raksasa yang sudah tak berisi yang dipakai sebagai alat pemanggil oleh nelayan.
  2. Alat penguras air di sampan.
  3. Bilahan kayu yang difungsikan sebagai lantai penutup ruang dalam sampan.
  4. Almanak khusus.
  5. Angin ceddu biasanya di istilahkan angin sehabis hujan; sehabis datangnya siang yang semula angin kencang, tenang, lirih, sepoi-sepoi.
  6. Mengerjakan perbaikan pada setiap mata jaring yang kubang.
  7. Beranda.
  8. Sarang.
  9. Memberi minum.
  10. Sumbangan berbentuk beras atau apapun. Namun, sumbangan gabay ini wajib dikembalikan ketika penyumbang itu menggelar gabay juga; balas jasa.
  11. Acara pengantenan anak.
  12. Jaring besar penangkap ikan.

 

 

Cerpen  Mawaidi D. Mas

Tentu saja, sekarang merupakan hari yang sial bagi Rohim. Sepekan sudah sampannya tak beruntung. Sedang sampan yang lain, seperti milik Agus, Rapi’e dan Rusdi selalu mujur. Dibuktikan kemarin saja sampan Rapi’e dan lainnya itu memperoleh sekuintal ikan teri. Itu bersihnya, lain dengan kepiting, serajut cumi-cumi, bangkotak dan kendui.

Murung muka Rohim. Dia yang hanya pengemudi sampan milik Jusup merasa tak enak hati. Tidak seperti biasanya sampan yang mempunyai julukan si Jalur itu seperti menewaskan diri dari rezeki laut. Sebab, pengeluaran dari juragan Jusup akan semakin bertambah, pengeluaran untuk solar tak keruan. Bayangkan, untuk menempuh perjalanan ke Sepudi dari Dungkek membutuhkan 14 liter solar. Harga solar per liter Rp5000,  itu berangkatnya, masih belum mereka pulangnya dari Sepudi. Tentunya akan berlipat ganda solar dari yang dianggarkan.

Sesampan, memuat lima orang sekawan, di antaranya Mat Sipul, Lakena Tus, Imam, Habi dan Rohim sendiri. Kali ini mereka sudah pulang dari tempat perantauan. Hasil yang diperoleh cuma 14 kilo. Yang lain sudah di tepian menuju rumah juragan Jusup, sedang Rohim masih mengemas segala perabot sampan yang tercecer. Ember dan co­kanco2 di taruh dalam eddikan3. Lalu, dia turun ke air, mengulur temali dan melabuhkan jangkar belakang. Menurut cerita laut, memasang jangkar depan dan jangkar belakang memastikan keselamatan sampan. Agar malam nanti ombak tak mengombang-ambingkan.
Rohim sudah di daratan berkumpul bersama rekan sesampan. Hasil penjualan hari ini diberikan kepada juragan Jusup. Kemudian, hasil penjualan itu dibagi-bagikan sesuai kesepakatan.

Rohim menyeduh kopi hangat di depannya. Bibir hitamnya bergetar karena kopi itu masih panas. Lalu, mewakili dari keempat rekannya dia berkata pada juragan Jusup seputar keluh hatinya yang menyerupai keluh ombak.

“Yang Kuasa sedang memberikan nasib pada kita. Saya sudah berusaha mencari tahu arah angin di pananggalan4 tentang ikan-ikan yang bersarang di minggu yang pahing ini.”

“Iya, begitulah nasib kehidupan orang melaut. Butuh perjuangan yang besar dan ketabahan. Hidup itu tak ubahnya air laut; ada surut dan pasang. Yang dua ini pasti saling mewarnai kehidupan. Orang tak kan merasakan enak jika tak pernah merasakan pahit. Begitu pula dengan kita, hidup perlu tata susun waktu yang tepat. Saling bergilir dan mengalir seperti gulungan ombak.” Juragan Jusup mengambil rokok. Api kecil membakar sebatang rokoknya. Asap meliuk lalu hilang ikut angin.

Seusai juragan Jusup membagi uang hasil sampan, Lakena Tus dan Imam pulang. Tinggal Mat Sipul dan Habi menunggu Rohim yang sedang berbincang-bincang kecil dengan juragan.

Siang menjelang sore itu laut mulai tenang. Ombak surut pada waktunya sehingga angin ceddu5. Sampan-sampan yang merantau pulang ke kampung halaman. Ada sampan yang merantau ke Gili Iyang, ke Sepudi dan ke Masa Lembu. Sebab, di laut Dungkek sendiri sudah tidak ada jejak-jejak ikan yang biasa ditangkap nelayan. Kalau ada hanya bagi orang-orang yang mancing yang berkedapatan.

Suasana sore meredupkan segala yang siang. Rohim sudah pulang. Mat Sipul dan Habi juga pulang. Rumah ketiga rekan sesampan itu tak terlalu jauh dibanding rumah Imam dan Lakena Tus. Rohim, setelah menghilangkan kerinduan pada bini dan anaknya memulai ajuman6 di amper7. Ayam-ayam berkotak turun dari patarangan8. Biasanya, itu pertanda ayam sudah bertelur. Sapi-sapi yang digembala di tegal masuk ke kandang. Rohim menyudahi ajumannya. Sore nyaris malam. Rohim maenom9 sapi.

Hari di Kampung Pesisir sudah malam. Senja di barat mengecil lalu hilang. Warna kuning emas juga berlalu. Dari timur bulan muncul dibalik pohon nyiur. Namun, malam tak menggelapkan tanah berpasir putih itu. Bila malam, tanah berpasir putih itu bersinar seperti kunang-kunang. Benih-benih pasir indah dipandang. Bulan terang. Pada saat itu merupakan waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Rohim dan istrinya ngobrol berdua di atas lincak amper rumahnya. Anaknya rebah dipangkuan Rohim. Dalam hati anaknya yang masih berumur 3 tahun itu, ia kangen pada ayahnya. Betapa tidak, ayahnya seringkali berangkat melaut sebulan sekali baru pulang.

Rum, bini Rohim menuturkan segala isi hatinya pada suaminya itu. Mulai dari hubungannya dengan Rohim yang tak mau jarak memisahkan, mengurusi Gigik, anaknya, dan segala urusan dapur yang saat ini mahal. Sedang pendapatan kian surut. Begitulah hidup orang bawah, penuh dengan oretan-oretan kenangan. Kenangan kelaparan, hidup yang melarat, senyum keberuntungan. Andai saja mereka tak sabar dan tak mau mensyukuri semua itu, mereka sudah tidak ada di Kampung Pesisir ini.

Tetangga-tetangga satu persatu mulai lenyap pindah ke kota, ke Banyuwangi, ke Bali dan ada yang ke Malaysia. Sebab, muasal mereka pindah ke sana disebabkan tergerusnya keyakinan bahwa laut adalah tempat mencari rezeki yang menyimpan manfaat besar. Namun, bagi Rohim, ia tak perlu menghindari segala kekurangan dan segala tetek bengek berkehidupan di Kampung Pesisir. Ia sudah punya Tuhan sang Pemilik Laut.

Dul Aji, rekan melaut yang sesampan dengan Rohim, tiga bulan yang lalu, pindah ke Banyuwangi. Terdengar kabar, dia sudah membuka toko dan berjualan alat-alat rumah tangga. Menarik sekali, gumam Rohim. Tentunya kehidupannya sekarang tidak lagi berkawan dengan panasnya matahari. Mukanya pasti bersinar cerah, tidak suram seperti muka Rohim sendiri. Apa boleh buat, hidup itu pilihan. Setiap pilihan adalah tanggung jawab. Dalam hati Rohim, laut baginya adalah kasur hidup untuk menemukan kenikmatan yang hakiki untuk membahagiakan Rum.

Hari sudah malam. Bincang-bincang di setiap rumah ditunda ke esok. Rohim dan Rum berpelukan malam itu, melepas rindu yang kian kental. Sedang Gigik sudah tidur.
***
Pagi-pagi, Rohim kedatangan Bahri. Ia mengutarakan maksudnya untuk meminjam uang. Bahri sekarang punya tengka10 kepada Rapi’e. Dua hari lagi dia akan menggelar gabay11. Bahri sudah setahun yang lalu menggelar gabay. Dan tengka pengembalian tetap berjalan sesuai data buku catatan miliknya.
Pengaduan itu diterima dengan ramah oleh Rohim. Ia juga meminta maaf atas ketidaksanggupannya membantu tengka Bahri.

“Benar, Lek. Aku pulang dari Sepudi tidak membawa uang banyak. Sesampan rata-rata dapat bagian empat puluh ribuan. Dan di sini, Rum sudah menggunakan uang itu untuk membayar utang selama aku tinggal pergi merantau.” Rohim menjulurkan rokok sigaret kretek di depan Bahri. Mereka berhadapan duduk di atas lincak. Ruang tamu yang berukuran kecil di rumah Rohim hanya cukup memuat lincak sebagai tempat berkunjung tamu. Kursi tidak terlalu dibutuhkan bagi Rohim, karena rumahnya terlalu sempit.

“Kepada siapa lagi aku pinjam uang kalau tidak sama kamu?” Bahri memaksa.

“Aku harus jujur bagaimana sama kamu, Lek. Benar-benar aku sekarang tidak memegang uang banyak. Untuk makan seminggu saja aku harus melirik ayam ternakku,” begitu bijak Rohim.

Bahri tertawa. Tampaknya dia merasa dibohongi oleh Rohim. Bahri yang sudah kebingungan mencari pinjaman uang itu tak sabar menerima apapun yang sedang menimpa dirinya. Seolah ia akan dikecam sebagai laki-laki tak bertanggung jawab dalam keluarga.

“Kalau begitu, bagaimana kalau sapimu dijual? Aku terdesak sekarang. Aku akan menggantinya tak kan lama,” kata Bahri dengan wajah agak serius.
“Duh, aku tidak sanggup jika harus mengeluarkan sapiku dari kandang. Bulan depan sapi itu sudah kuniatkan untuk disembelih di hari ke seratus mertuaku. Maaf, Lek. Aku minta maaf, semoga sampean menemukan rezeki yang lain.”

Rohim tak enak hati pada Bahri. Walau begitu ia harus jujur, sapinya itu akan disembelih di hari ke seratus dari kematian ibunya Rum. Dan Rohim tahu bagaimana sifat Bahri ketika mempunyai utang. Janji sekan menjadi barang jualan yang cepat basi di mulutnya.

Bahri pamit pulang. Bajunya berkibar ketika angin dari arah laut menerpa. Tanah berpasir putih pagi-pagi sudah dirasakan panas oleh Bahri. Ia membawa wajah sengit setelah hilang dari pandangan Rohim. Hatinya mengumpat pada Rohim, bahwa ia kelak juga tak kan pernah meminjamkan uang miliknya.
Di jalan mulutnya terus meletupkan sumpah serapah. Sesekali menoleh ke belakang ke arah rumah Rohim yang berada di ujung jalan. Bahri pulang lewat bibir pantai menuju rumahnya.

Rohim tidak mengatakan hal itu pada Rum. Sebab, perempuan terlalu mudah mengumbarkan ke orang lain jika menemukan berita asyik untuk digunjingkan. Sebenarnya, Rum bukan perempuan seperti itu. Tapi, menjaga kemungkinan sebab itu pula adalah urusan laki-laki.
***
Ada kabar yang tak mengenakkan. Setelah berlangsungnya gabay di rumah Rapi’e, Bahri didatangi keluarga Rapi’e dengan membawa sepotong kuping sapi yang sudah disembelih. Bahri tidak mempunyai muka dihadapan orang-orang. Sepotong kuping sapi itu menyimbolkan sebuah utang yang tak terbayarkan sesuai waktunya. Yang mempedihkan lagi, Bahri tidak usah mengembalikan tengka itu. Sebentuk ucapan yang menyinggung bagi Bahri, perkataan seperti itu menandakan bahwa Bahri selamanya tak kan bisa melunasi utang itu.

Bahri terpuruk. Kerap kali ia marah-marah pada bininya. Semua yang dilihatnya merasa menjijikkan. Tak lupa pada Rohim. Dirinya yang mendera kacau itu tak lepas dari kepelitan Rohim untuk meminjamkan uang. Di mata Bahri, segala apa pun pada diri Rohim adalah jelek. Begitulah ketika orang sudah tak kontrol emosi. Segala yang dipandang bukan cerminan.
***
Sehari sebelum keberangkatan sampannya, Rohim sudah menyiapkan bekal untuk dijadikan sangu. Begitulah peran seorang kemudi sampan. Pagi itu, Rohim menjenguk sampannya. Ia hendak menguras air dan membereskan keperluan seperti menaburkan bunga-bunga ke sampan. Di tengah laut, setelah ia naik ke atas sampan, matanya berkaca-kaca dengan dada yang berdegup panik. Sampan yang mempunyai julukan si jalur itu mesinnya lenyap. Jurung12nya terkoyak-koyak bersalbutan. Eddikan sampan kocar-kacir. Rohim tergagap ngomong. Ia melolong ke tepian yang jauh. Suaranya yang dipaksa memantul-mantul. Tangannya dikibas-kibaskan.

Ia merasa bersalah pada juragan Jusup yang telah mempercayainya, pada bininya yang berjanji sewaktu bincang-bincang di atas ranjang akan pulang membawa udang. Itulah permintaan Gigik ketika Rum yang menyampaikan.

Rohim diam di atas sampan. Menatap kelenjar laut pada ombak yang berkejaran. Mukanya yang suram makin petang. Seluruh kekuatan di tubuhnya seolah tercerabut dengan kecerobohan sendiri. Hidungnya merasakan sesuatu. Tercium busuk bangkai yang tiba-tiba mengusik. Matanya mencari di mana arah bangkai itu berada. Hidungnya di dengus-denguskan seperti kucing. Matanya tertuju ke atas tiang sampan, bangkai yang dibungkus plastik hitam tergantung di sana. Segera Rohim mengambil bungkusan itu dengan hidung ditutup. Perlahan ia membuka dengan jijik dan ngeri. Dan tahulah, sepotong kuping sapi berulat tergolek dan makin menyeruap baunya.
Dahi Rohim merut. Tebersit Bahri di kelopak matanya yang merah.

Siang mulai ngambang. Dengan tubuh yang masih bergetar, matanya menyapu seisi sampan yang tak karuan. Rohim membongkar eddikan. Kepalanya masuk sedikit ke dalam, lalu keluar. Rohim mendesah, serbung yang dia cari ternyata ditemukan di bagian belakang sampan. Rohim mengambilnya. Ia menghadap ke daratan dengan berdiri. Di tangannya serbung sudah siap ditiup. Mulutnya menyepah lubang serbung dan memejamkan mata.
“Wuuung….” Sebuah hasil bunyi yang baik. Serbung memantul.

“Wuuung….” Bunyi serbung kembali menggaung. Di daratan seolah ada yang meniru-niru bunyi itu. Gemerisik angin beku sejenak. Ombak makin tenang. Anak-anak bangau tercengang, lalu berlarian.

Dalam satu letupan, bunyi serbung menghasilkan tiga kali gaungan. Namun, itu tak semuanya begitu, masih ada serbung yang lebih kecil dan setiap letupan menghasilkan satu kali gaungan saja.

Orang-orang menyembul satu-satu di daratan dan tampak di mata Rohim. Ada yang melambaikan tangan, ada yang berteriak mengolok namanya. Di antara orang-orang itu, tampak Juragan Jusup dengan kopiah hitam memakukan tubuhnya di tepian. Rohim bergegas pulang ke daratan. (*)
Yogyakarta, 2012

Footnotes

  1.  Serbung adalah keong raksasa yang sudah tak berisi yang dipakai sebagai alat pemanggil oleh nelayan.
  2. Alat penguras air di sampan.
  3. Bilahan kayu yang difungsikan sebagai lantai penutup ruang dalam sampan.
  4. Almanak khusus.
  5. Angin ceddu biasanya di istilahkan angin sehabis hujan; sehabis datangnya siang yang semula angin kencang, tenang, lirih, sepoi-sepoi.
  6. Mengerjakan perbaikan pada setiap mata jaring yang kubang.
  7. Beranda.
  8. Sarang.
  9. Memberi minum.
  10. Sumbangan berbentuk beras atau apapun. Namun, sumbangan gabay ini wajib dikembalikan ketika penyumbang itu menggelar gabay juga; balas jasa.
  11. Acara pengantenan anak.
  12. Jaring besar penangkap ikan.

 

 

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/